Aobai (Hanzi: 鰲拜)(?-1669) atau Oboi adalah seorang pejabat semasa awal Dinasti Qing dari klan Guwalgiya. Dia berasal dari golongan prajurit yang tergabung dalam Pasukan Bendera Kuning, salah satu cabang dari Pasukan Delapan Bendera yang dibanggakan oleh bangsa Manchu. Sejak masa Kaisar Huang Taiji, namanya telah menonjol dalam pertempuran-pertempuran melawan tentara Ming. Pamornya menanjak dan menerima penghargaan dari kaisar setelah dengan gagah berani menyelamatkan Kaisar Shunzhi dalam suatu pertempuran. Dia menerima gelar baturu (pahlawan dalam bahasa Manchu) dan ditunjuk sebagai menteri oleh kaisar.

Oboi
Potret Oboi
Wali Dinasti Qing
Masa jabatan
1661–1669
Menjabat bersama Sonin, Ebilun, Suksaha
Penguasa monarkiKaisar Kangxi
Informasi pribadi
Lahirc. 1610
Meninggal1669
Orang tuaGuwalgiya Uici ((ayah)
KabinetEmpat Wali Kaisar Kangxi
Nama anumertaChaowu (超武)
Karier militer
Masa dinas1637-1646
Pertempuran/perangDefeated Zhang Xianzhong
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Wali negara

sunting

Setelah Kaisar Shunzhi mangkat, Aobai bersama Suoni, Ebilong, dan Sukesaha diangkat sebagai wali negara untuk membantu Kaisar Kangxi yang saat itu hanya berumur delapan tahun untuk menjalankan roda pemerintahan hingga sang kaisar berumur enam belas tahun. Namun empat wali negara ini tidak kompak dan saling bersaing untuk memperebutkan kekuasaan. Setelah kematian Suoni tahun 1667, Aobai memaksa kaisar untuk menghukum mati Sukesaha dengan 24 pasal tuduhan. Sukesaha akhirnya menjalani hukuman gantung di dalam kurungan penjara.

Dengan kekuasaannya, Aobai semakin sombong dan sewenang-wenang. Suatu hari ketika tahun baru pada tahun ke delapan pemerintahan Kangxi para pejabat berkumpul di aula kerajaan untuk memberi ucapan selamat pada kaisar. Dalam kesempatan itu, Aobai hadir dengan memakai jubah kuning (tradisi pada saat itu tidak memperbolehkan siapapun memakai jubah kuning selain kaisar sendiri) dengan corak dan kualitas yang sama dengan jubah kekaisaran, yang membedakan hanya di topi Aobai hanya memakai hiasan wol merah, sedangkan pada mahkota Kangxi berhiaskan mutiara. Pada kesempatan lain Aobai pernah berpura-pura sakit dan ketika Kangxi mengunjunginya dia melihat sebuah belati tersembunyi di ranjangnya. Menurut aturan kerajaan, seseorang tidak diperbolehkan membawa senjata ketika menerima kehadiran kaisar. Maka hal ini dapat dikatakan meremehkan wibawa dan penghinaan terhadap kaisar.

Gerah dengan sepak terjang Aobai, tahun 1669 Kangxi memutuskan untuk menyingkirkannya dan mengambil alih tahta lebih cepat dari waktu yang ditetapkan, waktu itu dia baru berumur 14 tahun. Namun Aobai mempunyai banyak kroni dalam tubuh pemerintahan sehingga kaisar harus menghadapinya dengan hati-hati. Mula-mula kaisar bersikap seolah-olah tunduk padanya sambil menyingkirkan satu-persatu kaki tangannya. Kangxi juga menghimpun sekelompok jago silat untuk mengadakan penyergapan terhadap Aobai. Rencana ini berhasil dengan gemilang, mereka membunuh para pengawal Aobai dan meringkusnya hidup-hidup. Kaisar Kangxi mendakwanya dengan tiga puluh tuduhan dan memvonisnya dengan hukuman mati. Belakangan hukumannya diubah menjadi penjara seumur hidup karena mempertimbangkan jasa-jasanya dimasa lalu. Dia meninggal di penjara tak lama setelah itu.

Tahun 1713, Kangxi mengampuni kesalahannya dan merehabilitasi namanya secara anumerta. Kaisar selanjutnya, Yongzheng juga secara anumerta mengangkatnya sebagai adipati kelas atas dan gelar kehormatan Chaowu (超武), tetapi Kaisar Qianlong menurunkan pangkat anumertanya menjadi baron kelas atas setelah mempertimbangkan jasa dan kesalahannya.

Aobai dalam budaya populer

sunting

Dalam novel The Deer and the Cauldron (鹿鼎記)/ di Indonesia lebih dikenal dengan judul Pangeran Menjangan karya Jin Yong yang menggabungkan fiksi dengan sejarah, Aobai muncul sebagai tokoh antagonis yang berniat merebut tahta dari Kangxi. Tokoh utamanya, Wei Xiaobao berteman dekat dengan kaisar muda itu dan atas usulnyalah Aobai ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Di penjara secara tak sengaja dia membunuh Aobai.

Pranala luar

sunting

Cheng Qinhua, Tales of the Forbidden City, Bejing: Foreign Languages Press, 1997.