Masjid Al-Mansur

masjid di Indonesia

Masjid Al-Mansur atau semula bernama Masjid Jami Kampung Sawah, adalah salah satu masjid tua di wilayah DKI Jakarta. Mengambil nama Guru Mansur (1878-1967), masjid yang terletak di Kelurahan Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, ini dibangun pada tahun 1717.

Sejarah

sunting

Menurut inskripsi yang terdapat pada menara masjid,[1] bangunan ini didirikan tahun 1130 H (1717 M). Pada saat itu disebut Masjid Kampung Sawah, rumah ibadah ini dibangun oleh Abdul Mihit (Abdul Mukhit, menurut sejarawan Ridwan Saidi), putera Pangeran Cakrajaya dari Mataram.[2]

Guru Mansur yang bernama lengkap Muhammad Mansur bin Imam Abdul Hamid adalah piut atau canggah[3] dari Abdul Mukhit pendiri Masjid Kampung Sawah tersebut. Guru adalah julukan yang diberikan orang-orang Betawi terhadap ulama yang diakui kepakaran dan kedalaman ilmunya, sehingga diakui otoritasnya untuk mengeluarkan fatwa.[4]:200-1

Bapak, kakek, dan buyut Guru Mansur adalah ulama-ulama Betawi yang diakui keilmuannya. Pada tanggal 4 Safar 1186 H, Masjid Kampung Sawah dikunjungi ulama besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, tatkala itu baru kembali dari Makkah dan singgah di Betawi, untuk bersilaturahim sekaligus diminta untuk mengoreksi arah kiblat masjid ini.[4]:203

Pada tahun 1937, Masjid Kampung Sawah direhabilitasi dan diperluas oleh Guru Mansur.

Berganti nama

sunting

Di samping ulama yang dimalui, Guru Mansur adalah pejuang dan penganjur kemerdekaan Indonesia yang gigih. Pada tahun 1925 ia menentang keras pembongkaran Masjid Al-Makmur di Cikini, meskipun pembongkaran itu telah disetujui oleh Pengadilan Agama Pemerintah Kolonial Belanda. Pembongkaran itu akhirnya dibatalkan. Pada masa-masa pendudukan NICA di Jakarta pada tahun 1948, Guru Mansur acap berurusan dengan Hoofdbureau (biro pusat) Kepolisian Belanda di Gambir karena mengibarkan bendera merah-putih di atas menara masjid. Meskipun berulang kali dibujuk hingga diintimidasi, Guru Mansur tetap bertahan.[4]:204-5

Untuk menghormati dan mengenang sumbangsih serta perjuangan Guru Mansur, setelah ia wafat pada tahun 1967 masjid ini diganti namanya menjadi Masjid Al-Mansur. Pada tahun 1980, masjid ini ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya di DKI Jakarta.[5]

Keadaan fisik

sunting

Arsitektur masjid ini merupakan perpaduan antara budaya Jawa, Tiongkok, Arab dan Betawi. Empat buah soko guru yang besar-besar namun pendek terdapat di ruang utama masjid, mengingatkan pada masjid-masjid kuno di Jawa Tengah. Demikian pula bentuk atapnya, yang merupakan limasan bersusun tiga. Bagian masjid yang tertua kiranya adalah ruang utama ini yang berukuran 12 × 14,40 m.

Pintunya berdaun dua, dengan ambang sebelah atas berbentuk bundar dihiasi gebyok berukir. Jendela-jendelanya berbentuk sederhana, dengan kusen persegi panjang dipasangi terali kayu dibubut, seperti pada Masjid Angke dan Masjid Said Na'um. Kini, tembok, jendela dan pintu di semua sisinya telah dimajukan sejauh 10 meter, untuk memberikan ruang yang lebih luas.

Menara masjid, kini dasarnya tercakup dalam ruangan baru di depan masjid lama, berbentuk silinder setinggi dua belas meter. Pada bagian keempat dan kelima dari menara itu terdapat teras yang berpagar besi. Sementara atap menara berbentuk kubah. Menara semacam ini mencerminkan pengaruh Arab Hadramaut.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Jakartapedia: Masjid Jami al-Mansyur Diarsipkan 2017-08-31 di Wayback Machine.. Diakses 31 Agustus 2017
  2. ^ Shahab, A. "Jembatan Lima, tempat dakwah Tumenggung Mataram". dalam Betawi, Queen of the East hlm. 106-8. Jakarta: Penerbit Republika.
  3. ^ KBBI Daring: canggah-2. Diakses 31 Agustus 2017
  4. ^ a b c Saidi, R. 1997. Profil orang Betawi; asal muasal, kebudayaan, dan adat istiadatnya. Jakarta: PT Gunara Kata.
  5. ^ Ensiklopedia Jakarta: Al-Mansur, Masjid Diarsipkan 2017-09-08 di Wayback Machine.. Diakses 31 Agustus 2017

Pranala luar

sunting


6°08′47″S 106°48′23″E / 6.1462671°S 106.8063998°E / -6.1462671; 106.8063998