Miss Riboet atau lebih dikenal dengan nama Miss Riboet Orion adalah nama sebuah perkumpulan Opera Komedi Stambul yang terkenal di Jakarta pada era 1920-an. Berdiri pada tahun 1925, nama tokohnya yang paling terkenal adalah Miss Riboet itu sendiri. Hingga tahun 1930-an Opera tersebut masih terkenal di bawah pimpinan Tio Tik Djien, yang tidak lain adalah suami dari Miss Riboet. Menurut Matthew Isaac Cohen dalam bukunya The Komedie Stamboel, menyatakan pertunjukan Miss Riboet bukan lagi Komedi Stambul melainkan adalah Toneel Melajoe (dalam ejaan Belanda) atau Drama Melayu.

Makam Miss Riboet

Biografi

sunting

Miss Riboet termasuk opera yang paling terkenal sampai masa PD II, disamping pesaing kuatnya seperti Rombongan Opera Dardanella, Rombongan Opera Union Dhalia dan lain-lain. Disebut Orion karena letak gedung yang sering digunakan lokasinya di awal Jalan Mangga Besar, Jakarta. Di tangan Tio Tik Djien, yang pemuda Tionghoa inilah kemudian repertoar opera Komedi Stambul mulai berubah. Apalagi Tio Tik Djien pandai mnedekati kalangan wartawan pada masa itu dan sekaligus memiliki tangan kanan yang seorang wartawan, penulis skenario, sutradara dan juga pengarang cerita handal seperti Njoo Cheong Seng. Keahlian Njoo Cheong Seng adalah kemampuannya dalam menyederhanakan jumlah babak yang akan ditampilkan. Bahkan ia sering bereksplorasi dalam membuat repertoar baru dengan suasana yang sesuai dengan masa itu, antara lain karya-karyanya seperti Saidja, Gagak Solo, Barisan Tengkorak, Gagak Lodra, dan Panji Semirang. Hal inipun diakui oleh Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film Indonesia dari tahun 1900-1950.[1]

Tio Tek Djin memimpin opera Miss Riboet-nya menjadi sebagai perkumpulan seni dan olahraga, sesuatu hal yang jarang-jarang terjadi pada masa itu.Ia membuat tradisi baru dalam dunia kesenian, bahwa setiap seniman musik dan teater yang ingin bergabung dalam perkumpulan seninya itu, haruslah menguasai seni, juga sekaligus olahraga sepak bola. Dalam waktu tertentu, pemain-pemain operanya harus ikut bertanding dan harus menang dalam kejuaraan sepak bola yang diselenggarakannya. Mengawinkan seni dan olahraga itulah yang menyebabkan mengapa sampai sekarang di Jakarta sering terlihat toko-tako yang menjual alat musik sekaligus alat olahraga. Dalam kedudukannya sebagai kumpulan seni, Opera Miss Riboet terbilang menonjol di antara opera-opera yang lain. Selain memainkan musik secara serius, kelompok tersebut dikenal juga sebagai entertainer paling laku. Miss Riboet sendiri juga banyak mengeluarkan rekaman piringan hitam, selain sebagai pemain tetap dalam kumpulan itu. Lagu-lagunya dianggap sebagai tren yang menyatukan selera nyai-nyai dengan neng-neng pada masa itu. Diantaranya yang terkenal antara lain adalah Mina Mana Kondemu, Koki Naik Taxi, Rudjak Uleg, dan Item Putih. Dari kelompok musik itu kelak juga menurunkan seorang musikus berbobot sekelas Jack Lesmana. Riboet juga terkenal dengan permainan pedangnya, Ia sangat menonjol ketika berperan menjadi perampok perempuan, sebagai Juannita de Vega karya Antoinette de Zema.[2]

Tak lama setelah Miss Riboet naik daun, muncullah Opera Dardanella dibawah pimpinan A. Piedro (seorang Rusia yang bernama asli Willy Klimanoff, - Ramadhan KH, 1984: 58). Dua rombongan Tonil ini mencetak sukses besar, namun demikian, Miss Riboet juga tetap berjaya. Ia bahkan menjadi bintang dalam produk-produk rekaman. Sementara Dardanella menjadi babak penting munculnya teater modern Indonesia. Kelebihan Miss Riboet adalah, rombongan Opera ini membuat perbedaan besar dalam fokus alur cerita, di mana di antara adegan jalan ceritanya disisipi selingan musik.[1]

Persaingan dengan Dardanella

sunting
 
Gambar salah satu iklan Opera Dardanella

Persaingan untuk meraih perhatian publik antara Miss Riboet Orion dengan Dardanella terjadi di Batavia pada tahun 1931. Sebenarnya persaingan Miss Riboet Orion dengan Dardanella sudah mulai terlihat ketika dua perkumpulan ini memperebutkan “pengakuan nama” dari salah satu pemainnya, yaitu Riboet. Dalam dua perkumpulan ini ada satu pemain yang namanya sama. Ketika itu Dardanella yang sedang bermain di Surabaya, didatangi dan dituntut oleh Tio Tik Djien, pemimpin Miss Riboet Orion, karena Dardanella mempergunakan nama Riboet juga untuk seorang pemainnya. Tio berkata kepada Piedro ;

Kami tidak senang Tuan mempergunakan nama yang sama, nama Riboet juga untuk pemain Tuan…kami menyampaikan gugatan, Miss Riboet hanya ada satu dan dia sekarang sedang bermain di Batavia. Akhir dari perseteruan ini adalah mengalahnya Piedro kepada Tio dan mengubah nama Riboet yang ada di Dardanella menjadi Riboet II

— Ramadhan KH, 1982: 72.[3]

Memang lazim terjadi persaingan antar perkumpulan opera, terutama di kota besar seperti Batavia. Sebelum persaingan dengan Dardanella, Miss Riboet Orion juga pernah bersaingan dengan Dahlia Opera, pimpinan Tengkoe Katan dari Medan, persaingan ini berakhir dengan kemenangan pihak Orion (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 11). Wujud dari persaingan antara Miss Riboet Orion dan Dardanella ini adalah pecahnya perang reklame. Dardanella memajukan Dr. Samsi sebagai lakon andalan mereka, sedangkan Miss Riboet Orion dengan Gagak Solo. Dalam persaingan ini, Dardanella mengandalkan A. Piedro, Andjar Asmara, dan Tan Tjeng Bok, sedangkan Miss Riboet Orion mengandalkan Tio Tik Djien, Njoo Cheong Seng, dan A. Boellaard van Tuijl, sebagai pemimpinnya (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 12). Kedua wartawan dalam perkumpulan-perkumpulan itu bekerja dan memutar otak untuk membuat reklame propaganda yang, sedapat-dapatnya, memengaruhi pikiran publik.[3] Akhirnya Miss Riboet Orion harus menyerah kepada Dardanella. Riwayat Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion berakhir pada tahun 1934, ketika penulis naskah mereka Njoo Cheong Seng dan Fifi Young, pindah ke Dardanella.[3]

Dardanella menjadi semakin besar dengan hadirnya anggota-anggota baru seperti Ratna Asmara, Bachtiar Effendi, Fifi Young, dan Henry L. Duarte (seorang Amerika yang dilahirkan di Guam). Dalam Dardanella juga berkumpul tiga penulis lakon ternama, seperti A. Piedro, Andjar Asmara, dan Njoo Cheong Seng, di samping itu, perkumpulan ini diperkuat oleh permainan luar biasa dari bintang-bintang panggungnya seperti Miss Dja, Ferry Kock, Tan Tjeng Bok, Astaman, dan Riboet II.[3]

Pada tahun 1935, Piedro memutuskan untuk mengadakan perjalanan ke Siam, Burma, Sri Lanka, India, dan Tibet, untuk memperkenalkan pertunjukan-pertunjukan mereka. Perjalanan ini disebut "Tour d’Orient". Dalam perjalanan itu tidak dipentaskan sandiwara, melainkan tari-tarian Indonesia seperti Serimpi, Bedoyo, Golek, Jangger, Durga, Penca Minangkabau, Keroncong, Penca Sunda, Nyanyian Ambon, dan tari-tarian Papua (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 13)[3]

Di akhir era 1930-an di saat film mulai banyak diproduksi, akhirnya rombongan-rombongan Opera Stambul, panggung-panggung drama, dan sandiwara mulai menyusut drastis popularitasnya. Miss Riboet dimakamkan di Museum Taman Prasasti, Tanah Abang, Jakarta. Tokoh lain yang juga anggota dari Miss Riboet adalah Fifi Young, yang menikah dengan Njoo Cheong Seng. Njoo inilah yang membimbing dan mengajarinya menjadi pemain teater pada saat itu. Dari panggung sandiwara Fifi kemudian melebarkan sayapnya ke panggung layar perak.

Referensi

sunting
  1. ^ a b Miss Riboet di Jakarta go.id Diarsipkan 2011-04-08 di Wayback Machine., Jakarta go.id, diakses 20 April 2011
  2. ^ Miss Riboet di Kompas.com Diarsipkan 2011-08-12 di Wayback Machine., Kompas.com, diakses 20 April 2011
  3. ^ a b c d e Miss Riboet di indonesiancinematheque, indonesiacinematheque.blogspot.com, diakses 20 April 2011

Pranala luar

sunting