Lompat ke isi

Orang Jawa Suriname

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Suku Jawa di Suriname)
Jawa-Suriname
Jumlah populasi
ca 80.000[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Paramaribo: 23,670 (10%) · Wanica: 21,175 (18%) · Commewijne: 14,829 (47%)
Bahasa
Jawa · Belanda · Sranan Tongo · Indonesia
Agama
Mayoritas:
Islam (khususnya Islam Sunni) 64.21%

Minoritas yang signifikan:
Kristen 14.46%

Minoritas:
Kejawen 5.59%, Hindu 1.23%, Tidak beragama 1.82%, Lainnya 3.25%, Tidak diketahui 9.27%, Tidak menjawab 0.13%
Kelompok etnik terkait
Jawa · Jawa Guyana Prancis
Pertunjukan wayang kulit di Suriname

Orang Jawa Suriname disingkat Jawa-Suriname adalah Suku Jawa yang berada di Suriname sejak akhir abad ke-19, di mana angkatan pertamanya dibawa oleh kolonis Belanda dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Sebagian keturunan mereka ada yang tinggal di Belanda. Sampai sekarang, mereka tetap menuturkan bahasa Jawa.

Imigran Jawa dari Hindia Belanda, foto diambil antara 1880-1900.

Jauh sebelum Pemerintah Republik Indonesia mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, Pemerintah Kerajaan Belanda sejak tahun 1890 s/d 1939 telah mengirimkan 32.956 orang tenaga kerja asal Pulau Jawa ke Suriname. Kedudukan Suriname dan Indonesia pada waktu itu, adalah sama-sama Negara Jajahan di bawah Pemerintah Kerajaan Belanda.

Maksud dan tujuan pengiriman tenaga kerja itu adalah untuk menambah kekurangan tenaga kerja di beberapa perkebunan yang ada di Suriname. Kekurangan tenaga kerja itu sendiri adalah akibat dihapus dan dibebaskannya sistem perbudakan pada tanggal 1 Juli 1863. Dampaknya, banyak perkebunan tidak terurus, sehingga terlantar. Perekonomian Suriname yang semula tergantung dari hasil perkebunan, turun drastis.

Pertimbangan lain dari Pemerintah Kerajaan Belanda yang mengirimkan tenaga kerja ke Suriname saat itu adalah karena rendahnya perekonomian penduduk di pulau Jawa, yang disebabkan oleh bencana alam meletusnya gunung berapi dan padatnya jumlah penduduk. Akan tetapi menurut disertasi Prof. DR. Yusuf Ismail di Universitas Leiden di Belanda tahun 1949 menyatakan: Bukan kelebihan penduduk yang menjadi alasan untuk beremigrasi ke Suriname, melainkan kemelaratan yang sangat, yang diderita penduduk dibeberapa daerah di Jawa pada satu pihak dan kepentingan perkebunan-perkebunan di Suriname pada lain pihak. Oleh karenanya, maka kebanyakan para tenaga kerja itu berasal dari Jawa Tengah, ada juga dari Jawa Timur dan yang paling sedikit dari Jawa Barat.

Sekilas tentang kegiatan pengiriman tenaga kerja ke Suriname

[sunting | sunting sumber]

Gelombang pertama pengiriman tenaga kerja itu diberangkatkan dari Batavia (Jakarta) pada tanggal 21 Mei 1890 dengan kapal SS Koningin Emma. Setelah singgah di Negeri Belanda, akhirnya kapal tiba di Suriname pada tanggal 9 Agustus 1890. Oleh sebagian masyarakat Indonesia baik yang sekarang masih tinggal di Suriname maupun yang tinggal di Negeri Belanda, selalu mengenang dan memperingati tanggal 9 Agustus sebagai suatu tanggal yang sangat bersejarah.

Tenaga kerja gelombang pertama sebanyak 94 orang, terdiri dari 61 orang pria, 31 orang wanita dan dua orang anak dan ditempatkan di perkebunan tebu dan pabrik gula Marienburg. Tenaga kerja gelombang kedua sebanyak 582 orang, tiba di Suriname pada tanggal 16 Juni 1894 dengan kapal SS Voorwaarts. Karena muatan kapal kedua ini melebihi kapasitas, menyebabkan kapal tidak memenuhi syarat sebagai kapal angkut personil.

Akibatnya 64 orang penumpang kapal meninggal dunia dan 85 orang harus dirawat di rumah sakit, setelah kapal tiba di pelabuhan Paramaribo, Suriname. Kejadian yang menyedihkan ini tidak ada tanggapan dari Pemerintah Belanda, bahkan begitu saja dilupakan. Mungkin Pemerintah Kerajaan Belanda beranggapan bahwa yang meninggal itu hanya para pekerja miskin, sehingga tidak perlu ada tindakan apa-apa. Meskipun demikian, pengiriman tenaga kerja ini berjalan terus sepanjang tahun sampai dengan pengiriman terakhir sebanyak 990 orang yang tiba di Suriname pada tanggal 13 Desember 1939.

Dari tahun 1890 hingga 1914, rute pelayaran ke Suriname selalu singgah di Negeri Belanda, selebihnya tidak. Pengiriman para tenaga kerja itu menggunakan 77 buah kapal laut, dilaksanakan oleh Perusahaan Pelayaran Swasta, De Nederlandsche Handel Maatschappij. Tetapi sejak tahun 1897 pengiriman tenaga kerja dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Hindia Belanda.


Ternyata program pengiriman tenaga kerja ke Suriname ini, telah mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Atas dasar itu maka pada bulan November 1905 Pemerintah Kerajaan Belanda memindahkan 155 kepala keluarga (KK) asal Pulau Jawa (dari Keresidenan Kedu, yaitu dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen dan Purworejo ke daerah Gedong Tataan di Keresidenan Lampung, Sumatera Selatan Ini adalah awal mula Sejarah Transmigrasi di Indonesia pada zaman Belanda dengan nama Kolonisasi.

Geografi Republik Suriname

[sunting | sunting sumber]

Lokasi Republik Suriname berada di benua Amerika, bagian Timur Laut Amerika Selatan.

  1. Sebelah Selatan berbatasan dengan Brasil,
  2. Sebelah Timur berbatasan dengan Guyana Prancis,
  3. Sebelah Barat berbatasan dengan Guyana Inggris,
  4. Sebelah Utara berbatasan langsung dan berada ditepi pantai Lautan Atlantik.

Oleh karenanya, Prof. DR. Yusuf Ismael, menamakan Suriname dengan sebutan “Indonesia” pada pantai Lautan Atlantik. Wilayah Republik Suriname berbentuk segi empat. Panjang sekitar 400 km dan lebar juga sekitar 400 km. Beriklim tropis, sama dengan di Indonesia, karena lokasinya sama-sama disekitar Garis khatulistiwa. Beda waktu antara Jakarta dengan Paramaribo 10 jam. Misalnya, waktu di Jakarta menunjukan pukul 00.00 tengah malam tanggal 2 Januari, maka waktu di Paramaribo menunjukan pukul 14.00 siang hari tanggal 1 Januari. Jadi beda waktu dan ketinggalan 10 jam

Lapangan kerja dan pengupahan

[sunting | sunting sumber]

Pada waktu itu di Suriname sudah ada tenaga kerja yaitu orang-orang Creole asal Afrika yang dibawa ke Suriname pada awal abad 16 sebagai budak belian. Kemudian datang orang-orang Tionghoa yang dibawa ke Suriname pada tahun 1853 dan orang-orang Hindustan asal Calcuta, India yang tiba di Suriname pada tanggal 04 Juni 1873. Orang-orang Creole asal Afrika yang tidak tahan bekerja sebagai budak, banyak yang melarikan diri ke dalam hutan, sehingga ada Creole Kota dan Creole Hutan. Semula Creole Hutan ini disebut “Djoeka” tetapi sekarang mereka telah menamakan diri suku Marron dan jumlahnya menempati urut No.3 setelah orang-orang Creole dan Hindustan.

Sampai dengan tahun 1930 para TKI itu dipekerjakan di perkebunan tebu, cacao (coklat), kopi dan pertambangan bauxite di bawah Poenale Sanctie. Sesudah tahun itu mereka bekerja sebagai buruh merdeka, tetapi faktanya masih harus bekerja dengan syarat-syarat Poenale Sanctie.

Gaji yang diterima oleh pekerja laki-laki usia diatas 16 tahun sebesar 60 sen sehari dan pekerja wanita usia diatas 10 tahun sebesar 40 sen sehari. Berdasarkan perjanjian, para tenaga kerja itu harus bekerja (kontrak) selama 5 tahun. Dengan ketentuan, mereka harus bekerja selama 6 hari dalam satu minggu. Setiap hari harus bekerja selama 8 jam di perkebunan atau 10 jam di pabrik. Setelah masa kontrak berakhir, mereka diberi hak untuk pulang kembali ke Indonesia atas biaya Pemerintah Belanda.

Menurut catatan, antara tahun 1890 dan 1939 sebanyak 8.130 orang TKI telah menggunakan haknya kembali ke Indonesia, yaitu:

  • Tahun 1897 sebanyak 18 orang, terdiri dari 08 orang pria, 08 orang wanita dan 02 orang anak.
  • Tahun 1900 sebanyak 36 orang, terdiri dari 18 orang pria, 13 orang wanita dan 05 orang anak.
  • Tahun 1903 sebanyak 99 orang, terdiri dari 61 orang pria, 27 orang wanita dan 11 orang anak.
  • Tahun 1904 sebanyak 137 orang, terdiri dari 84 orang pria, 39 orang wanita dan 14 orang anak.
  • Tahun 1905 sebanyak 149 orang, terdiri dari 94 orang pria, 34 orang wanita dan 21 orang anak.
  • Tahun 1906 sebanyak 339 orang, terdiri dari 230 orang pria, 69 orang wanita dan 40 orang anak.
  • Tahun 1907 sebanyak 200 orang, terdiri dari 139 orang pria, 42 orang wanita dan 19 orang anak.
  • Tahun 1908 sebanyak 217 orang, terdiri dari 144 orang pria, 49 orang wanita dan 24 orang anak.
  • Tahun 1909 sebanyak 219 orang, terdiri dari 124 orang pria, 62 orang wanita dan 33 orang anak.
  • Tahun 1910 sebanyak 223 orang, terdiri dari 138 orang pria, 53 orang wanita dan 32 orang anak.
  • Tahun 1912 sebanyak 413 orang, terdiri dari 235 orang pria, 118 orang wanita dan 60 orang anak.
  • Tahun 1914 sebanyak 395 orang, terdiri dari 235 orang pria, 112 orang wanita dan 49 orang anak.
  • Tahun 1920 sebanyak 338 orang, terdiri dari 218 orang pria, 96 orang wanita dan 24 orang anak.
  • Tahun 1923 sebanyak 205 orang, terdiri dari 138 orang pria, 60 orang wanita dan 07 orang anak.
  • Tahun 1928 sebanyak 657 orang, terdiri dari 310 orang pria, 260 orang wanita dan 87 orang anak.
  • Tahun 1929 sebanyak 452 orang, terdiri dari 246 orang pria, 162 orang wanita dan 44 orang anak.
  • Tahun 1930 sebanyak 607 orang, terdiri dari 343 orang pria, 190 orang wanita dan 74 orang anak.
  • Tahun 1931 sebanyak 667 orang, terdiri dari 333 orang pria, 224 orang wanita dan 110 orang anak.
  • Tahun 1935 sebanyak 893 orang, terdiri dari 398 orang pria, 319 orang wanita dan 176 orang anak.
  • Tahun 1936 sebanyak 556 orang, terdiri dari 249 orang pria, 199 orang wanita dan 108 orang anak
  • Tahun 1937 sebanyak 422 orang, terdiri dari 203 orang pria, 138 orang wanita dan 81 orang anak.
  • Tahun 1938 sebanyak 442 orang, terdiri dari 220 orang pria, 146 orang wanita dan 89 orang anak.
  • Tahun 1939 sebanyak 446 orang, terdiri dari 216 orang pria, 144 orang wanita dan 86 orang anak.

Pada tahun 1947 terjadi lagi gelombang Repatriasi berikutnya sekitar 700 orang, menggunakan kapal Tabian. Selebihnya memilih tetap tinggal di Suriname, walaupun hubungan kerja kontrak dengan para pemilik perkebunan sudah berakhir. Mereka yang memilih tetap tinggal di Suriname, dan tidak ingin pulang ke Indonesia, memperoleh pembagian sebidang tanah garapan serta menerima penggantian uang Repatrasi sebesar 100 gulden Suriname per orang. Pada masa kejayaan perkebunan tebu mulai merosot, banyak pekerja Indonesia yang beralih profesi menjadi pekerja pertambangan bauxit di Moengo, Paranam dan Biliton. Akibatnya beberapa daerah yang semula dikenal sebagai “district orang-orang Jawa” yang bertani dan bercocok tanam, antara lain di district Commewijne, Saramacca, Coronie dan Nickerie, terasa semakin berkurang jumlahnya.

Selama Perang Dunia II

[sunting | sunting sumber]

Selama Perang Dunia II, kondisi perekonomian masyarakat Suriname agak membaik. Ini berkat adanya lapangan kerja pada pembangunan Instalasi Militer Sekutu di Paramaribo dan sekitarnya yang berhasil menyerap banyak tenaga kerja. Tetapi, setelah Tentara Sekutu menghentikan pembangunan Instalasi militernya, kondisi perekonomian terutama “masyarakat bawah” kembali memprihatinkan.

Hasil KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag, Suriname memperoleh status Pemerintahan Otonom, di mana hak dan kewajibannya disamakan dengan provinsi-provinsi yang di Negeri Belanda. Akibatnya di Suriname muncul partai politik. Pada tahun 1946 berdiri Partai Politik (Parpol) milik wong Jowo, PBIS (Pergerakan Bangsa Indonesia Suriname) pimpinan Bapak Soediono Soeriwisastro, yang kemudian digantikan oleh Bapak Salikin Mardi Hardjo. Pada tahun 1947 berdiri Parpol wong Jowo lain, KTPI (Kaum Tani Persatuan Indonesia) pimpinan Bapak Iding Soeminta. Dampaknya, masyarakat Indonesia “pecah” menjadi dua kelompok yang berbeda pendapat dan saling bertentangan. Kecuali itu, karena adanya beberapa suku bangsa yang tinggal di Suriname, maka persaingan antar etnispun, tidak bisa dihindarkan. Posisi jabatan dalam Pemerintahan, banyak didominasi oleh orang-orang Creol.

Kondisi yang memprihatinkan ini menarik perhatian seorang sosiolog Indonesia, Prof. DR. Yusuf Ismael, yang pada bulan Maret 1951 mengadakan studi ke Suriname dan menulis sebuah buku yang diberi judul “Indonesia” pada pantai Lautan Atlantik. Dalam buku itu beliau mengupas tuntas tentang kedudukan ekonomi dan sosial kemasyarakatan orang-orang Indonesia di Suriname.

Dari penulisan buku itu pula, Pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian terhadap nasib sekitar 40.000 orang Warga Negara Indonesia yang tinggal di Suriname dan membuka Kantor Komisariat di Paramaribo. Komisariat itu telah berkembang menjadi Konsulat Jenderal dan saat ini telah berubah menjadi Kedutaan Besar. Sebagai Komisaris RI yang pertama adalah Bapak Soedarto Hadinoto.

Repatriasi dan gerakan “Mulih nDjowo”

[sunting | sunting sumber]

Tahun 1950 di Suriname diadakan pemilihan umum (Pemilu). Setelah terbentuk Lembaga Legislatif hasil Pemilu, Suriname menjadi Daerah Otonom di bawah Kerajaan Belanda.

Secara otomatis seluruh penduduk Suriname menjadi Warga Negara Belanda. Ketentuan ini ditentang oleh sekitar 75% masyarakat Indonesia. Mereka menolak menjadi warga negara Belanda dan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia serta ingin pulang ke Indonesia, meskipun dengan biaya sendiri. Akhirnya mereka berhasil mengirimkan delegasi ke Indonesia, menghadap Presiden Republik Indonesia untuk menyampaikan keinginannya itu. Pada tanggal 15 Oktober 1951 mereka mendirikan Yayasan Tanah Air (YTA) yang dipimpin Salikin Hardjo[2] dengan tujuan utama “Mulih nDjowo”. Karena padatnya penduduk di Pulau Jawa, awalnya Pemerintah Republik Indonesia berencana akan menempatkan para Repatrian itu di daerah Metro, Provinsi Lampung. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya Pemerintah memutuskan dan menempatkan para Repatrian Suriname itu di Desa Lingkin Baru (Tongar), Kabupaten Pasaman, Sumatra Tengah (pada waktu itu) yang jaraknya 180 km dari Kota Padang.[3]

Berkat usaha dan perjuangan yang gigih itu, maka pada tanggal 04 Januari 1954 dengan menumpang sebuah kapal cargo (kapal angkut barang) MS Langkoeas, rombongan pertama Repatrian Suriname itu pulang ke Indonesia sebagai Repatrian. Saat kapal sedang mengadakan persiapan akan meninggalkan pelabuhan Paramaribo, ribuan penduduk Suriname baik orang-orang Creol, India, Tionghoa, dll. terutama para wong Jowo yang masih tinggal, datang dari berbagai daerah di Suriname, ke Paramaribo, berjubel dipinggir jalan sekitar pelabuhan untuk menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Ratusan perahu bermotor dan perahu dayung mengelilingi kapal untuk memberi penghormatan dengan cara membakar mercon/petasan dan mengibarkan bendera. Hampir semua orang, baik yang ada di pelabuhan maupun yang ada di dalam kapal semuanya sedih dan menangis sambil mengucapkan selamat berpisah, selamat jalan dan sampai ketemu lagi pada gelombang berikutnya.

Suasana pada waktu itu sangat amat mengharukan, sehingga sangat sulit untuk melukiskannya. Ada suami yang meninggalkan isteri, ada pula isteri yang meninggalkan suami. Banyak keluarga yang terpaksa berpisah. Banyak anak yang meninggalkan orang tua dan saudara-saudaranya, antara lain seperti yang dialami oleh penulis makalah ini.

Untuk mewujudkan perhelatan besar mulih nDjowo itu, semua konskuensi biaya yang timbul, ditanggung sendiri oleh para Repatrian. Antara lain ongkos perjalanan laut dari Suriname ke Indonesia untuk orang dewasa dan remaja yang telah berusia 10 tahun keatas membayar Sf 375,- per orang dan anak-anak yang berusia antara 1 s/d 9 tahun membayar Sf 187,50 per orang. Anak-anak yang berusia di bawah 1 tahun, tidak membayar. Disamping membayar tiket kapal, para Repatrian membawa bahan pangan berupa beras 35 ton, alat-alat pertanian, kendaraan bermotor, mesin-mesin diesel dan alat-alat berat lainnya untuk persiapan tinggal di tanah harapan Sumatra.

Rombongan pertama Repatrian Suriname itu sebanyak 316 kepala keluarga (KK) atau 1.018 orang, dengan rincian sebagai berikut:

  1. 368 orang dewasa yang lahir di Indonesia,
  1. 247 orang dewasa yang lahir di Suriname,
  1. 399 orang remaja dan anak-anak yang lahir di Suriname (termasuk penulis makalah ini)
  1. 4 orang bayi yang lahir dikapal selama pelayaran dari Suriname ke Indonesia. Salah satu di antara anak yang lahir itu perempuan. Oleh Nakhoda kapal, bayi perempuan yang baru lahir itu diberi nama Langsinem, sesuai dengan nama kapal yaitu Langkoeas.

Perjalanan laut dari Suriname ke Indonesia ini dipimpin oleh Wakil Ketua YTA Bapak Johannes Wagino Kariodimedjo. Beliau telah meninggal dunia pada tanggal 08 Juli 2007 dan dimakamkan di Pakem, Kaliurang, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dibantu oleh Sekretaris YTA Bapak Frans Ngatmin Soemopawiro, sekarang tinggal di Pekanbaru dan Bendahara YTA Bapak Atmidjan Sastro, sekarang tinggal di Jakarta. Sesuai rencana rombongan pertama ini akan diikuti oleh rombongan kedua, ketiga dan seterusnya. Sebagai akibat putusnya hubungan diplomatik antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda masalah Irian Barat, maka rombongan kedua dan seterusnya batal pulang ke Indonesia. Meskipun saat ini hubungan diplomatik antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia sudah baik, bahkan Suriname sudah membuka Kedutaan Besarnya di Jakarta, tetapi gagasan dan usaha untuk meneruskan gerakan mulih nDjowo, belum pernah ada lagi.

Keadaan setelah para Repatrian berada di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Setelah berlayar selama satu bulan dan sempat singgah di Cape Town, Afrika Selatan, akhirnya pada tanggal 05 Februari 1954 rombongan tiba di pelabuhan Teluk Bayur, Padang dengan selamat. Para Repatrian Suriname ini menyepakati tanggal 05 Februari 1954 sebagai suatu tanggal yang bersejarah, yang setiap tahunnya selalu diperingati.

Setelah istirahat beberapa hari di Padang, rombongan meneruskan perjalanan darat naik bis. Setelah menginap semalam di Lubuk Sikaping, pada tanggal 12 Februari 1954 para Repatrian tiba di desa Harapan Tongar dengan selamat.

Di desa Tongar ini para Repatrian ditampung dan tinggal dirumah-rumah los panjang, yang terbuat dari bedeng anyaman bambu yang disekat menjadi ruangan-ruangan kecil ukuran 3 x 3 meter. Tentunya kondisi ini sangat menyulitkan bagi keluarga yang mempunyai banyak anak.

Kondisi Tongar pada waktu itu masih hutan lebat. Sekolahan dan pasar belum ada. Pasar untuk menunjang kebutuhan pokok sehari-hari hanya ada di kota kecil Simpang Empat yang jaraknya sekitar 5 km dari Tongar.

Alat transportasi umum tidak ada, sehingga untuk belanja sekaligus “rekreasi” ke pasar Simpang Empat hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Disamping itu, kondisi Tongar waktu malam cukup mengerikan. Binatang buas seperti harimau kadang-kadang masih bebas berkeliaran. Setiap saat terdengar suara nyaring monyet hutan “siamang” yang memecah kesunyian baik siang maupun malam. Babi hutan “celeng” sering mengganggu tanaman yang ada. Semua itu membuat para Repatrian sedih dan ingin kembali ke Suriname atau setidak-tidaknya pindah ke daerah lain yang lebih aman dan nyaman.

Pada tanggal 15 Februari 1954 diadakan Upacara Penyambutan secara Adat Setempat oleh Wali Nagari beserta Ninik Mamak, Cerdik Pandai, Alim Ulama, para Sesepuh dan para Pemuka Masyarakat. Upacara ini dihadiri pula oleh Kepala Jawatan Transmigrasi Propinsi Sumatra Tengah, para Pejabat Kabupaten dan Kecamatan.

Pada waktu para Repatrian masih di Suriname, diperoleh informasi bahwa Pemerintah Republik Indonesia akan menyediakan dan memberikan tanah garapan sekaligus tanah untuk tempat tinggal seluas 2.500 HA per Kepala Keluarga. Kenyataannya tanah yang dibagi-bagikan pada tahun 1954 itu hanya sebidang tanah yang hanya cukup untuk membangun sebuah rumah ukuran 20 x 40 m. Sisanya belum dibagi dan kondisinya masih berujud hutan. Diareal tanah berukuran 20 x 40 m itulah setiap Kepala Keluarga membangun rumah pribadi dengan biaya sendiri sesuai kemampuannya masing-masing.

Mengingat lapangan pekerjaan yang memadai di sekitar Kabupaten Pasaman tidak ada, maka secara berangsur-angsur para Repatrian yang memiliki ketrampilan khusus, mulai meninggalkan Tongar untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.

Pada tahun 1958, tepatnya semasa pecah perang PRRI/Permesta, kehidupan para Repatrian di Tongar semakin sulit, maka exodus-pun tidak bisa dihindari. Akibatnya, “Proyek” Yayasan Tanah Air (YTA) di Tongar tidak berkembang, bahkan dapat dikatakan telah gagal dan berantakan. Para generasi muda dan angkatan kerja asal Tongar “hijrah” ke Pekanbaru, Padang, Medan, Jambi, Palembang, Jakarta dan daerah lainnya. Mereka yang masih tinggal di Tongar jumlahnya 34 orang yang rata-rata sudah berusia diatas 60 tahun, hidup bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Mereka ini pantas disebut “pahlawan”, walaupun kehidupan mereka sangat memprihatinkan. Sebab dengan kehidupan yang hanya mengandalkan lahan tanah pekarangan rumah ukuran 20 x 40 meter itu, mereka masih tetap “mempertahankan” Tongar. Mereka pasrah, karena memang tidak mempunyai kemampuan lain, kecuali menanam singkong, sayuran, pisang, papaya dan tanaman lainnya sekadar untuk mempertahankan hidupnya. Sebenarnya mereka dan keluarganya masih ingin memiliki dan menggarap lahan tanah yang pernah dijanjikan itu. Kenyataannya proses untuk mengurus surat-surat kepemilikan tanah-tanah itu, sangat sulit. Tetapi anehnya, lahan tanah itu sekarang telah dimiliki orang lain (bukan Repatrian) dan telah ditanami kelapa sawit oleh PT Tunas Rimba (TR).

Ditengah-tengah kehidupannya yang “sulit” itu, mereka berkeinginan untuk mendirikan masjid yang agak memadai. Panitia pembanguan masjid sudah dibentuk, tetapi dananya masih jauh dari cukup.

Wilayah Kabupaten Pasaman, sekarang telah “dipecah” menjadi Kabupaten Pasaman dengan ibu kota Lubuk Sikaping dan Kabupaten Pasaman Barat (termasuk Tongar) dengan ibu kota Simpang Empat. Khusus Kabupaten Pasaman Barat kondisinya cukup menjanjikan dan cepat berkembang. Pembangunan infra struktur sudah dimulai. Misalnya wilayah Pasaman Baru, yang lokasinya disekitar Simpang Empat dan jaraknya hanya 4 Km dari Tongar, sudah dibangun Kantor-Kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten Pasaman Barat, Hotel, Ruko dan Perguruan Tinggi Swasta.

Harga pasaran tanah di Simpang Empat dan sekitarnya sudah mencapai Rp. 2.000.000,- per m2. Apalagi sekarang, dengan telah dibukanya jalan baru yang melewati Manggopo, waktu tempuh dari Tongar ke Padang atau sebaliknya, menggunakan kendaraan sendiri sekali jalan hanya sekitar 3 jam.

Di sisi lain, kondisi para Repatrian yang telah lebih dahulu meninggalkan Tongar, telah membaur dengan masyarakat Indonesia lainnya. Kondisi sosialnya lebih baik, bisa menyekolahkan keluarganya kesekolah-sekolah yang lebih tinggi dan bisa berkembang, bahkan banyak di antara mereka yang menempati jabatan-jabatan strategis baik dibeberapa Perusahaan Swasta, Perusahaan Negara maupun di Pemerintahan R.I.

Keadaan menjelang Suriname merdeka pada tanggal 25 November 1975

[sunting | sunting sumber]

Menjelang kemerdekaan Suriname tahun 1975, telah terjadi exodus secara besar-besaran. Sekitar 150.000 orang penduduk Suriname termasuk beberapa orang Indonesia telah pindah ke Negeri Belanda. Sekitar 150 orang Indonesia pindah ke Guyana Prancis, sebuah Negara Jajahan Prancis yang lokasinya tepat disebelah Timur Suriname. Hal ini disebabkan oleh penindasan politis yang dilakukan oleh golongan Creole dan ketegangan hubungan antar etnis sejak kampanye pemilihan umum tahun 1973. Itulah sebabnya sejak 1975 sampai sekarang, lebih dari 25.000 orang Indonesia suku Jawa asal Suriname, telah tinggal menetap di Negeri Belanda, di Guyana Prancis dan di daerah lain, disekitar Suriname.

Sejak Suriname merdeka pada tanggal 25 Nopember 1975, telah muncul beberapa partai politik yang “berbau” Indonesia. Antara lain Pendawa Lima, Pertjajah Luhur, dll, yang telah berhasil “melahirkan” Pemimpin orang-orang Indonesia generasi kedua yaitu Bapak Willy Soemita (KTPI), Bapak Paul Somohardjo (Pertjajah Luhur), dll. Pada awal tahun 2000 muncul lagi beberapa Pemimpin muda lainnya, sehingga jumlah orang-orang Indonesia yang pernah menjadi anggota Parlemen (DPR) tercatat sebanyak 68 orang dan yang pernah Menteri sebanyak 30 orang.

Hasil sensus penduduk tanggal 02 Agustus 2004, jumlah penduduk Republik Suriname tercatat sebanyak 492.829 orang, dengan rincian sbb.:

  1. Orang Hindustani 135.117 orang,
  2. Orang Creole 87.202 orang,
  3. Orang Marron 72.553 orang.
  4. Orang Indonesia 71.879 orang,
  5. Campuran 61.524 orang,
  6. Tidak dikenal 32.579 orang,
  7. Lain-lain 31.975 orang.

Pertumbuhan penduduk khususnya di Ibu kota Paramaribo sekitar 2% sedangkan didaerah lainnya, lebih tinggi. Wilayah Suriname yang padat penduduknya hanya diwilayah Utara, yaitu wilayah sepanjang pantai Lautan Atlantik. Sedangkan diwilayah tengah dan diwilayah selatan yang berbatasan dengan Brasil, masih jarang bahkan dapat dikatakan belum berpenduduk.

Para penganut agama dan kepercayaan di Suriname

a. Agama Kristen jumlahnya sekitar 201 ribu orang,

b. Agama Hindu sekitar 98 ribu orang dan

c. Agama Islam sekitar 66 ribu orang.

Orang-orang Indonesia yang beragama Kristen jumlahnya sekitar 5 ribu orang, yang menganut kepercayaan tradisional sekitar 650 orang dan yang beragama Islam sekitar 24 ribu orang.

Masyarakat Indonesia di Suriname, khususnya yang memeluk agama Islam, cara sholatnya terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang satu sholatnya berkiblat ke arah Timur (secara geografis ini yang benar) dan kelompok yang satu lagi sholatnya berkiblat ke arah Barat (sesuai ajaran orangtuanya ketika masih di Indonesia). Hal ini tidak menimbulkan masalah, secara umum kehidupan beragama kedua kelompok ini baik-baik saja, rukun dan tidak saling bermusuhan, walaupun lokasi masjid kedua kelompok ini berseberangan yang hanya dibatasi oleh jalan raya.

Keadaan sosial dan budaya di Suriname sekarang ini

[sunting | sunting sumber]

Meskipun orang-orang Indonesia ini telah lebih dari 100 tahun tinggal di Suriname, kenyataannya mereka masih memiliki adat dan kebiasaan seperti di Pulau Jawa, antara lain masih ditemukan pesta tayuban, wayang kulit, wayang orang, ludruk, tarian jaran kepang, dll. Di District tertentu yang sebagian besar penduduknya orang-orang Indonesia, “suasana Jawa” masih terasa kental. Sayangnya, bahasa Indonesia belum dimengerti, karena memang belum diajarkan secara intensif.

Bahasa Jawangoko” masih digunakan terutama oleh para orang tua dan kalangan terbatas, khususnya di “District orang-orang Jawa”. Bahasa India juga masih digunakan dikalangan orang-orang India. Bahasa Nasional Suriname adalah Bahasa Belanda. Bahasa lain yang bisa dikatakan sebagai “Bahasa Nasional Kedua” adalah Sranangtongo atau Taki-Taki. Bahasa ini digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari dan dimengerti oleh mereka yang berasal dan dilahirkan di Suriname, termasuk penulis makalah ini.

Perkembangan dan kemajuan dalam sektor sosial budaya, membaik. Sektor pendidikan telah berkembang cukup maju. 88% dari jumlah penduduk tidak buta huruf. Pemerintah menyediakan anggaran pada sektor pendidikan sekitar 18%. Di sektor lain, Pemerintah melalui Kementerian Sosial, telah menyediakan biaya kesehatan secara cuma-cuma khususnya kepada mereka yang berpenghasilan rendah yang jumlahnya sekitar 250 ribu orang. Khusus bagi Pegawai Negeri dan anggota keluarganya yang jumlahnya sekitar 105 ribu orang telah diarahkan untuk mengikuti program asuransi kesehatan melalui Yayasan Kesehatan Negara (Staats Zieken Fonds). Sektor perumahan mengalami banyak kemajuan, karena Pemerintah telah menyediakan uang pinjaman kepada penduduk agar bisa membangun rumah baru atau memperbaiki rumah yang sudah ada dengan bunga yang rendah. Hampir setiap penghuni rumah yang pada umumnya sudah mapan itu, memiliki sebuah mobil sendiri bahkan ada yang lebih. Khusus sektor Pertanian sangat maju. Hal ini terbukti dengan adanya proyek pertanian padi di daerah Wageningan, yang sawah-sawahnya yang sangat luas. Sesayup-sayup mata memandang, terhampar menghijau tanaman padi sawah dengan irigasi yang sangat teratur. Tentunya manajemen dan teknologi pertanian di Wageningan ini telah maju dan dilakukan dengan baik sekali. Tidaklah berlebihan apabila Wageningen yang terletak didistrik Nickerie, disebut sebagai lumbung padi Suriname. Akan tetapi didaerah pedalaman, terutama yang berbatasan dengan Brasilia, saat ini ditemukan ada beberapa penduduk asal Brasilia yang masuk wilayah Suriname untuk menambang emas secara illegal. Pengangguran telah turun dari 16% menjadi 11%, ini disebabkan lapangan kerja meningkat, yaitu wanita dari 34% menjadi 37% dan pria dari 66% menjadi 73%. Setelah merdeka, Suriname telah memiliki mata uang sendiri yaitu Surinamese Dollar (SRD).

$ 1,- = sekitar SRD 3,- atau 1 SRD = sekitar Rp 3.000,-

Pada Pemilu tanggal 25 Mei 2005 telah berhasil memilih 8 orang Indonesia menjadi anggota DPR dan sekaligus berhasil memilih Bapak Paul Salam Soemohardjo sebagai Ketua Parlemen (DPR) Republik Suriname. Akan tetapi setelah Pemilu tahun 2010 Bapak Paul Somohardjo tidak lagi terpilih menjadi Ketua DPR dan hanya sebagai anggota DPR biasa.

Dari total 51 orang anggota DPR Republik Suriname hasil Pemilu tahun 2010, 9 (sembilan) orang diantaranya adalah wong Jowo, yaitu:

  1. Paul Salam Soemohardjo (PL)
  2. Hendrik Sakimin (PL)
  3. Ronny Tamsiran (PL)
  4. Soetimin Marsidin (PL)
  5. Marta Djojoseparto (PL)
  6. Oesman Wangsabesari (KTPI)
  7. Remy Karnadi (NDP)
  8. Jenny Warsodikromo (NDP)
  9. Refano Wongsoredjo (KTPI) yang kebetulan masih cucunya Sarmoedjie, penulis makalah ini.

Hasil Pemilu 2010 itu pula, telah berhasil memilih Letkol (Purn) Desi Desire Bouterse (Partai NDP), mantan Penguasa Perang sekaligus mantan Diktator Suriname beberapa waktu yang lalu, sebagai Presiden Republik Suriname dengan Wakil Presidennya Robert Amirali, seorang profesional yang diusung oleh Partai ACombinasi.

Dari Kabinet yang baru dilantik itu 6 orang Menterinya adalah Wong Jowo, yaitu

  1. Menteri Dalam Negeri (Binnenlandse Zaken), Drs. Soewarto Moestadja (PL)
  2. Menteri Pendidikan (Onderwijs & Volksontwikkeling), Mr. Raymond Sapoen (PL)
  3. Menteri Pertanian (Landbouw, Veeteelt & Visserij), Hendrik Setrowidjojo (PL)
  4. Menteri Kehutanan (Ruimte Ordening, Grond & Bosbeheer), Drs. Martinus Sastroredjo (KTPI)
  5. Menteri Tenaga Kerja, Teknologi & Lingkungan Hidup (Arbeit, Technologi, Ontwikkeling & Milieu), Ginmardo Kromosoeto, BSc (NDP)
  6. Menteri Perdagangan & Industri (Handel & Industrie), Michael Miskin (NDP).

Ini menunjukan bahwa kehidupan beragama, berpolitik, kondisi perekonomian, sosial dan kebudayaan orang-orang Indonesia di Suriname, telah jauh lebih baik.

Banyak di antara mereka yang berkunjung ke Indonesia untuk menelusuri sanak familinya maupun keperluan lainnya. Bahkan sudah ada hubungan dagang antara Suriname dengan Indonesia, walaupun sifatnya masih kecil-kecilan. Tercatat beberapa Pengusaha kondang yang Wong Jowo telah menjalin hubungan bisnis dengan Indonesia antara lain Bapak Willem Soedijono, Bapak Bob Saridin, Bapak Lincoln Amin Abas, dll. Pengiriman beberapa orang artis Indonesia ke Suriname, sumbangan gamelan Jawa oleh Bapak Sultan Hamengkubuwono X dan baru-baru ini Team Cabaret Suriname pimpinan Captain Does telah berkunjung dan uji coba pentas di Surabaya, Solo, DIY dan Bandar Lampung. Beberapa Mahasiswa yang notabene orang-orang Indonesia asal Suriname ada yang belajar di Indonesia, untuk memperoleh strata 1, strata 2 dan ada pula seorang Perwira Angkatan Darat Suriname, Mayor Lesly Nojodipo yang keturunan Jawa, telah selesai mengikuti Pendidikan Regular di Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI-AD di Bandung.

Hubungan sosial antara kedua masyarakatpun sudah terjalin. Dari Suriname diprakarsai oleh SIFA (Suriname Indonesia Friendship Association) Pimpinan Bapak Drs. Kadi Kartokromo dan dari Indonesia diwakili oleh Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI). Kedua organisasi yang baru dibentuk itu diberi nama Perhimpunan Warga Indonesia – Suriname (Pewaris).

Pewaris telah disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Bpk Drs. Fahmi Idris di Jakarta pada tanggal 24 Desember 2004, dihadiri oleh Dubes Suriname untuk Indonesia, Bapak Sayidi Rasam dan Dubes Indonesia untuk Suriname, Bapak Suparmin Sunjoyo. Sebagai Sekretaris Pewaris adalah Bpk Ir. Sugiarto Sumas, MT yang Jabatan strukturalnya sebagai Direktur Promosi, Investasi dan Kemitraan (PIK) Depnakertrans. Semoga, hubungan “mesra” kedua masyarakat yang sesuku dan serumpun, meskipun berlainan Warga Negara itu, terus maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan dan kemajuan zaman.

Kelihatannya orang-orang Indonesia, yang masih tinggal di Suriname maupun yang tinggal di Negeri Belanda, telah menjadikan Republik Suriname sebagai tanah airnya yang baru.

Mereka menyatakan lebih baik tidak pulang dan tinggal di Suriname daripada tinggal di Indonesia. Ini bisa dimengerti, karena mereka lebih mengenal Negeri Belanda dan Suriname daripada Indonesia. Berbeda dengan rekan-rekan mereka yang telah pulang ke Indonesia. Mereka telah menjadikan Indonesia sebagai tanah tumpah darahnya, meskipun banyak di antara mereka yang lahir di Suriname.

Dikutip dari tulisan Kolonel Laut (Purnawirawan) Drs. H. Sarmoedjie

Tokoh terkenal

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]