Anschluss

aneksasi wilayah Austria oleh Jerman Nazi

Anschluss atau Anschluß (Jerman: [ˈʔanʃlʊs] , secara harfiah berarti "sambungan") adalah aneksasi wilayah Austria oleh Jerman Nazi yang berlangsung pada 12 Maret 1938. Anschluss merupakan bagian dari upaya Pemimpin Jerman Adolf Hitler (yang sendirinya berasal dari Austria) untuk mendirikan sebuah Reich yang menyatukan wilayah-wilayah berbahasa Jerman. Setelah berhasil mengambil alih Austria, Jerman Nazi memperoleh Sudetenland (yang dihuni orang-orang berbahasa Jerman) dari Cekoslowakia pada September 1938.

Simbol artikel pilihan
Artikel ini telah dinilai sebagai artikel pilihan pada 3 Maret 2023 (Pembicaraan artikel)

Artikel ini tersedia dalam versi lisan
Dengarkan versi lisan dari artikel ini (1 jam 11 menit)
noicon
Ikon Wikipedia Lisan
Berkas suara ini dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal 17 Oktober 2022 (2022-10-17), sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.
Pos lintas batas negara Austria yang tengah dibongkar setelah peristiwa Anschluss
Wilayah Austria (merah) dan Jerman Nazi (merah jambu) pada 12 Maret 1938
Kerumunan menyambut kedatangan pasukan Jerman Nazi di kota Wina

Sebelum peristiwa Anschluss, kelompok Nazi di Jerman dan Austria menginginkan penyatuan kedua negara tersebut karena menurut mereka rakyat Jerman dan Austria adalah satu bangsa yang menuturkan bahasa yang sama, yaitu bahasa Jerman. Di sisi lain, Kanselir Austria Kurt Schuschnigg berupaya mempertahankan kemerdekaan negaranya meskipun terus menerus menerima tekanan dari kelompok Nazi. Schuschnigg merencanakan sebuah referendum pada 13 Maret 1938 dengan harapan bahwa rakyat Austria akan menunjukkan hasrat mereka untuk tetap merdeka. Namun, ultimatum dari Jerman Nazi memaksa Schuschnigg untuk mundur. Referendum 13 Maret pun dibatalkan.

Angkatan bersenjata Jerman yang disebut Wehrmacht kemudian memasuki wilayah Austria pada 12 Maret 1938 untuk menganeksasi negara tersebut. Wehrmacht tidak menghadapi perlawanan sama sekali. Pasukan Jerman dan Hitler malah mendapatkan sambutan yang hangat. Pada 13 Maret 1938, Jerman mengesahkan undang-undang yang meresmikan Anschluss. Sekitar satu bulan kemudian, pada 10 April 1938, rezim Nazi menyelenggarakan sebuah plebisit agar rakyat Austria dapat "mengesahkan" undang-undang tersebut. Hasil plebisit tersebut menunjukkan bahwa 99,75% pemilih di Austria mendukung penyatuan. Sekutu pemenang Perang Dunia I seharusnya bertanggung jawab menegakkan ketentuan Perjanjian Versailles dan Perjanjian Saint-Germain-en-Laye yang melarang penyatuan Austria dengan Jerman. Namun, negara-negara Sekutu malah tidak mengambil tindakan sama sekali.

Akibat Anschluss, masyarakat Austria mengalami proses nazifikasi, sementara negara Austria sendiri bubar hingga kekalahan Jerman Nazi dalam Perang Dunia II pada 1945. Sebuah pemerintahan sementara dibentuk di Austria pada 27 April 1945, dan wilayah Austria lalu dibagi menjadi empat zona pendudukan Sekutu, masing-masing dikelola oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, Britania Raya, dan Prancis. Kedaulatan Austria baru dikembalikan pada tahun 1955 setelah ditandatanganinya Perjanjian Negara Austria.

Terkait peran Austria dalam Perang Dunia II, Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Britania menandatangani Deklarasi Moskwa pada 30 Oktober 1943 yang menyatakan bahwa Austria adalah "negara pertama yang menjadi korban agresi Hitler". Pemerintahan sementara Austria pada tahun 1946 juga menyebarluaskan mitos Austria sebagai "korban pertama Nazi" dengan menerbitkan Buku Merah-Putih-Merah (Rot-Weiß-Rot-Buch). Mitos ini terus dianut di Austria hingga berlangsungnya skandal internasional pada tahun 1986 yang menjerat Presiden Austria Kurt Waldheim akibat keterlibatannya sebagai aide-de-camp (pembantu pribadi) di Wehrmacht. Kini mitos "korban pertama Nazi" sudah ditinggalkan, dan pemerintah Austria sendiri juga telah mengakui keterlibatan Austria dalam kejahatan Nazi.

Istilah "Anschluss"

Kata "Anschluss" dalam bahasa Jerman secara harfiah berarti "sambungan", "koneksi", atau "kontak".[1] Terdapat sumber yang menyebut Anschluss sebagai "penyatuan".[2] Namun, berbagai sumber modern juga mendeskripsikan Anschluss sebagai sebuah "aneksasi".[3] Dalam bahasa Jerman, peristiwa Anschluss biasanya ditulis dengan tanda kutip („Anschluss“) oleh para sejarawan. Menurut sejarawan Austria Florian Wenninger, hal ini dimaksudkan untuk menjaga jarak dari istilah yang digunakan oleh propaganda Nazi untuk menutupi fakta bahwa pengambilalihan kekuasaan di Austria dilakukan dengan kekerasan. Namun, tidak semua sejarawan mengikuti praktik ini; sejarawan Austria Kurt Bauer tidak menggunakan tanda kutip tersebut demi keterbacaan tulisan. Menurutnya, relasi historis dari Anschluss bisa dilihat dari konteksnya, dan ia juga merasa bahwa praktik penggunaan tanda kutip menyebar karena dianggap sudah menjadi kebiasaan dan tidak menyinggung.[4]

Latar belakang

 
Peta yang menggambarkan keanekaragaman etnis di Austria-Hungaria pada tahun 1910. Persebaran etnis Jerman ditandai dengan warna merah jambu
 
Peta yang menunjukkan dampak dari pembubaran Austria-Hungaria.
  Perbatasan Austria-Hungaria tahun 1914
  Perbatasan tahun 1914
  Perbatasan tahun 1920
  Kekaisaran Austria pada tahun 1914
  Kerajaan Hungaria pada tahun 1914
  Bosnia-Herzegovina pada tahun 1914

Dari abad ke-19 hingga akhir 1920-an

Upaya untuk menyatukan semua orang Jerman di bawah satu panji telah menjadi subjek perdebatan tanpa akhir sejak pembubaran Kekaisaran Romawi Suci pada tahun 1806. Pada 1848, Parlemen Frankfurt mengemukakan cita-citanya untuk menyatukan semua orang Jerman di bawah satu negara, termasuk orang Jerman Austria. Parlemen Frankfurt juga menolak konsep monarki multinasional Wangsa Habsburg.[5] Pada 1850, Austria bergabung dengan Konfederasi Jerman, tetapi setelah kemenangan Prusia dalam perang melawan Austria, Austria dikeluarkan dari konfederasi tersebut oleh Kanselir Prusia Otto von Bismarck pada tahun 1866.[5]

Pada tahun-tahun sesudahnya, penggabungan Austria dengan Kekaisaran Jerman didukung oleh Gerakan Nasional Jerman (Deutschnationale Bewegung) yang merupakan gerakan minoritas di Austria.[5] Jerman pada saat itu tidak mendukung gerakan semacam ini, dan malah takut bahwa Austria-Hungaria akan mendirikan koalisi anti-Jerman, sehingga Bismarck sejak tahun 1870 mengambil kebijakan yang berusaha menenangkan Austria. Ia menyatakan pada 7 Februari 1871 bahwa aspirasi sebagian fraksi yang menginginkan penggabungan Austria dengan Jerman tidak sejalan dengan kebijakan Jerman.[6] Austria kembali membina hubungan dekat dengan Jerman pada Oktober 1879 setelah Austria menandatangani perjanjian persekutuan militer dengan Jerman.[7] Persekutuan ini memicu keraguan di Austria-Hungaria, terutama akibat peran Jerman yang lebih mendominasi.[8]

Di sisi lain, dari sudut pandang ideologi, anggota gerakan völkisch menentang solusi Jerman Kecil yang diterapkan oleh Bismarck dan menyerukan agar Austria disatukan dengan Jerman. Teoretikus politik Jerman Paul de Lagarde bahkan menganggap penggabungan Austria dengan Jerman sebagai langkah pertama dalam mewujudkan konsep Mitteleuropa. Ia mengusulkan rencana penyatuan Kekaisaran Jerman dengan Dwimonarki Austria-Hungaria, dan langkah pertamanya adalah perumusan perjanjian persekutuan yang tidak bisa dibatalkan. Setelah itu, Lagarde menginginkan pengusiran penduduk yang tidak berbahasa Jerman dan mereka akan dibatasi di wilayah baru mereka. Selain itu, Lagarde mengusulkan pendirian lembaga-lembaga bersama yang terilhami oleh pandangan konservatif serta suatu serikat pabean. Rencana Lagarde juga memberi ruang untuk pembentukan sebuah uni personal.[9]

Setelah runtuhnya Austria-Hungaria akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I, wilayah Eropa mengalami reorganisasi sesuai dengan Empat Belas Pasal yang dicetuskan Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson. Pada saat itu, banyak orang Austria berbahasa Jerman yang menginginkan penyatuan Jerman dengan Austria. Namun, Pasal 80 Perjanjian Versailles, begitu pula dengan Perjanjian Saint-Germain-en-Laye, melarang penyatuan Jerman dengan Austria kecuali jika sudah mendapatkan izin dari Liga Bangsa-Bangsa.[10] Akibat tekanan Sekutu Perang Dunia I, nama negara baru Austria, yaitu Republik Jerman-Austria, harus diganti menjadi Republik Austria.[10] Dunia politik Austria sendiri pada saat itu terbelah ketika berhadapan dengan isu penyatuan: walaupun beberapa anggota kelompok demokrat sosial (yang dipimpin oleh Otto Bauer) menginginkan penyatuan, kaum demokrat Kristen menentangnya karena mereka takut akan dominasi agama Protestan di Jerman.[11]

Sejak tahun 1920, Partai Nazi di Jerman menyerukan penyatuan semua orang berbahasa Jerman di bawah satu negara. Pada tahun 1925, pemimpin Nazi Adolf Hitler mengemukakan pernyataan yang lebih eksplisit dalam bukunya, Mein Kampf:

Jerman-Austria harus kembali ke tanah air Jerman Raya, dan ini bukan karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Bukan, bukan: sekalipun penyatuan macam itu tidak penting secara ekonomi, sekalipun berdampak buruk, itu harus dilakukan. Satu darah menuntut satu Reich.[12]

Di sisi lain, Austria juga menginginkan penyatuan dengan Jerman. Plebisit tidak resmi yang diselenggarakan di negara bagian Salzburg dan Tirol pada musim semi tahun 1921 menunjukkan bahwa mayoritas absolut ingin menjadi bagian dari Jerman.[13]

Dari 1930 hingga 1938

 
Engelbert Dollfuss, Diktator Austria yang melarang aktivitas kelompok komunis maupun Nazi

Pada 18 Maret 1931, Jerman dan Austria bersepakat untuk membentuk sebuah serikat pabean yang disebut "Rencana Schober-Curtius". Rencana ini dinamai dari Menteri Luar Negeri Austria Johann Schober dan Menteri Luar Negeri Jerman Julius Curtius. Namun, Prancis menentang rencana ini. Pada 3 September 1931, kedua menteri ini mengumumkan di hadapan Komite Urusan Eropa Liga Bangsa-Bangsa bahwa proyek tersebut dibatalkan. Pada 5 September 1931, Mahkamah Internasional di Den Haag menyatakan bahwa serikat pabean ini bertentangan dengan Pasal 88 Perjanjian Saint-Germain-en-Laye dan Protokol Jenewa 4 Oktober 1922.[14]

Pada dasawarsa 1930-an, kelompok Nazi Austria semakin menguat di tingkat elektoral. Mereka memperoleh sekitar 112.000 suara pada pemilihan umum legislatif Austria 1930, dan kemudian pada pemilu di tingkat negara bagian di Wina, Salzburg, dan Steiermark pada tahun 1932, mereka mendapatkan sekitar 230.000 suara.[15] Sebagai kelompok oposisi, kelompok Nazi Austria melancarkan strategi yang memicu ketegangan dan juga melakukan terorisme. Akhirnya, setelah terjadinya upaya pembunuhan terhadap anggota Turner Katolik (kelompok militer yang mendapatkan pelatihan militer lewat persatuan olahraga), Partai Nazi Austria secara resmi dilarang pada 19 Juni 1933.[16]

Austria sendiri pada saat itu dilanda oleh ketegangan antara kelompok sosialis, yang didukung oleh milisinya yang disebut Schutzbund, melawan kelompok Katolik, yang juga didukung oleh milisinya yang bernama Heimwehr. Pada 4 Maret 1933, kanselir yang berasal dari Partai Sosial Kristen, Engelbert Dollfuss, membubarkan parlemen dan mendirikan sebuah kediktatoran satu partai yang dikenal dengan sebutan austrofasisme.[17] Setelah berkuasa, Dollfuss membubarkan Partai Komunis.[18] Ia juga membubarkan milisi Schutzbund dan berusaha membersihkan Austria dari sosialisme. Kelompok Demokrat Sosial melancarkan pemberontakan pada 12 Februari 1934. Pemerintahan Dollfuss bersama dengan Heimwehr memberangus pemberontakan ini dalam kurun waktu beberapa hari setelahnya.[19]

 
Pemimpin fasis Italia Benito Mussolini bersama dengan Kanselir Jerman Nazi Adolf Hitler pada tahun 1937

Hanya berselang beberapa bulan setelah pemberontakan kelompok sosialis, pada 25 Juli 1934, kelompok Nazi Austria melancarkan kudeta dan berhasil membunuh Dollfuss.[20] Pembunuhan ini tampaknya diperintahkan oleh Adolf Hitler.[21] Namun, kudeta ini mengalami kegagalan. Jerman Nazi tidak melakukan intervensi karena pemerintahan fasis di Italia yang dipimpin oleh Benito Mussolini pada saat itu masih melindungi kemerdekaan Austria.[20] Walaupun Hitler telah menulis dalam bukunya Mein Kampf pada tahun 1925 bahwa orang-orang Jerman harus memperjuangkan penyatuan Jerman dengan Austria,[22] kegagalan kudeta di Austria dan perlindungan dari Italia memaksa Hitler untuk mengambil sikap yang tidak terkesan agresif. Dalam pidatonya yang ia sampaikan di hadapan anggota Reichstag pada 21 Mei 1935, Hitler menegaskan bahwa Jerman tidak memiliki niat maupun hasrat untuk melakukan campur tangan terhadap urusan dalam negeri Austria ataupun mencaplok wilayah Austria.[23] Namun, persetujuan Liga Bangsa-Bangsa terhadap hasil referendum tanggal 13 Januari 1935 mengenai penyatuan kembali wilayah Saar dengan Jerman, ditambah dengan bergemingnya negara-negara Sekutu terhadap remiliterisasi Rheinland pada Maret 1936, memungkinkan Hitler untuk memperkuat tekanan terhadap Austria dan memaksa penerus Dollfuss, Kurt Schuschnigg, untuk memulai perundingan dengan Duta Besar Jerman untuk Austria, Franz von Papen, perihal penyatuan kedua negara tersebut.[24]

Dari tahun 1934 hingga 1938, Schuschnigg menggencarkan diplomasi dengan Italia, Prancis, dan Britania Raya untuk melindungi kemerdekaan Austria,[25] sementara Kepala Staf Angkatan Darat Austria Alfred Jansa menyusun rencana untuk melawan agresi militer Jerman.[26] Awalnya Britania Raya, Italia, dan Prancis membentuk Front Stresa yang melindungi kemerdekaan Austria pada April 1935. Namun, setelah Italia menyerang Etiopia pada Oktober 1935 dan menuai kecaman internasional, front ini bubar.[27] Britania Raya sendiri juga menerapkan kebijakan pemuasan (appeasement) terhadap Hitler.[28]

Pada 11 Juli 1936, Jerman menandatangani sebuah perjanjian dengan Austria yang menegaskan kembali pemeliharaan kemerdekaan Austria, tetapi Austria disebut sebagai negara Jerman kedua dan Austria menyatakan komitmennya untuk melaksanakan kebijakan luar negeri yang sejalan dengan kepentingan pan-jermanisme dan mengizinkan kegiatan politik Partai Nazi.[29] Schuschnigg meyakini bahwa perjanjian ini seharusnya dapat mengakhiri ketegangan antara Austria dengan Jerman, tetapi bagi Hitler perjanjian tersebut hanyalah solusi sementara sembari menunggu kesempatan untuk mengambil alih Austria.[30] Pada musim panas tahun 1937, Hitler memberitahukan kepada Menteri Propagandanya, Joseph Goebbels, bahwa ia ingin menyelesaikan permasalahan Austria secara paksa. Hal ini didasari tidak hanya oleh alasan-alasan ideologis, strategis, ataupun militer, tetapi juga oleh motif ekonomi, mengingat Austria memiliki cadangan emas dan mata uang asing, tenaga kerja, dan sumber daya alam yang penting.[31] Motif ekonomi ini dapat menjelaskan peranan penting Menteri Rencana Empat Tahun Hermann Göring dalam mempersiapkan pelaksanaan Anschluss.[32][a] Pada Agustus 1937, Italia memperingatkan kepada Austria bahwa sisa waktu Austria hanya "tinggal dua puluh bulan lagi."[28] Setelah Italia bergabung dengan Pakta Anti-Komintern (persetujuan antara Jerman Nazi dan Kekaisaran Jepang yang menyatakan perlawanan terhadap komunisme internasional) pada 6 November 1937, ia menyatakan kepada Menteri Luar Negeri Jerman Joachim von Ribbentrop bahwa ia akan membiarkan peristiwa-peristiwa di Austria berjalan dengan sendirinya. Dengan ini Italia tidak lagi melindungi kedaulatan Austria,[33] sementara Prancis dan Britania Raya tidak menunjukkan niatnya untuk mempertahankan kemerdekaan Austria.[34]

Anschluss

Tindakan-tindakan pertama Hitler

 
Dari kiri ke kanan, di barisan depan: Arthur Seyss-Inquart dan Hitler; di barisan di belakang Hitler: Martin Bormann, Ernst Kaltenbrunner, Heinrich Himmler, dan Reinhard Heydrich (1938)

Hitler bertemu dengan Schuschnigg di Berchtesgaden, Bayern, pada 12 Februari 1938. Schuschnigg disambut di perbatasan oleh Franz von Papen (yang telah diturunkan dari jabatannya sebagai duta besar sejak 4 Februari 1938). Von Papen mengumumkan kepada Schuschnigg bahwa pertemuannya dengan Hitler juga akan dihadiri oleh kepala Oberkommando der Wehrmacht yang baru Wilhelm Keitel, panglima angkatan darat di zona Austria-Bayern Walter von Reichenau, dan penanggungjawab Luftwaffe (Angkatan Udara) di wilayah yang sama Hugo Sperrle. Von Papen mengklaim bahwa ketiga perwira militer ini "tiba secara kebetulan".[35] Hitler tidak menyambut Schuschnigg dengan ramah, tetapi malah melontarkan berbagai ancaman. Ia terus berbicara sepanjang pagi dan memberikan tekanan terhadap Schuschnigg.[36]

Anda telah melakukan segalanya untuk menghentikan kebijakan yang bersahabat […]. Sejarah Austria hanyalah suatu tindakan pengkhianatan tingkat tinggi yang tak terputus. […] Paradoks sejarah ini sekarang harus diakhiri, dan seharusnya sudah sejak lama dihentikan. Dan saya bisa menegaskan kepada Anda di sini, tuan Schuschnigg: saya sepenuhnya bertekad untuk menghentikan ini. Reich Jerman adalah salah satu negara besar dan tidak akan ada yang berani untuk mengangkat suara jika Jerman memutuskan untuk mengurus masalah perbatasannya.[35]

Pada siang hari, Joachim von Ribbentrop mempersembahkan di hadapan Schuschnigg sebuah rancangan "perjanjian" yang tidak dapat dirundingkan lagi.[35] Pelarangan terhadap kegiatan kelompok Nazi di Austria harus dicabut, dan anggota-anggotanya yang dijebloskan ke penjara harus diberi amnesti. Seorang pengacara Nazi yang bernama Arthur Seyss-Inquart harus diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri dengan wewenang atas kepolisian dan keamanan. Tokoh Nazi yang lain Edmund Glaise-Horstenau juga harus diangkat sebagai Menteri Perang.[37] Angkatan Bersenjata Jerman dan Austria harus membina hubungan yang erat, dan sistem ekonomi Austria harus diintegrasikan dengan Jerman.[35] Pada saat pertemuan kedua Schuschnigg dengan Hitler, Hitler mengancam akan melakukan intervensi militer apabila Schuschnigg menolak rancangan tersebut. Schuschnigg akhirnya menuruti kemauan Hitler,[35] dan hal ini mengilhami Hitler untuk berkomentar "Kanonen sprechen eine gute Sprache" (secara harfiah: "meriam-meriam selalu berbicara bahasa yang baik").[38]

Pemerintah Austria pun mengumumkan amnesti kepada orang-orang Nazi yang dipenjara, termasuk para pembunuh Dollfuss.[39] Seyss-Inquart diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri dan Keamanan, dan Glaise-Horstenau juga masuk kabinet.[40] Pada 18 Februari 1938, Sturmabteilung (organisasi paramiliter Nazi) berbaris dengan mengenakan seragam dan bendera swastika di kota Linz. Kemudian, pada 1 Maret 1938, Seyss-Inquart mengunjungi kota Graz. Menurut seorang wartawan Britania, kota tersebut tampak seperti kota di Jerman Nazi: sebagian besar orang di jalanan mengenakan lambang swastika, lencana logam, atau simbol resmi Partai Nazi Jerman, sementara para pemuda memberi hormat Nazi dan sebagian menyanyikan lagu Nazi Horst-Wessel-Lied.[41]

Walaupun Austria sudah menerima perjanjian tersebut, Hitler masih tetap menyampaikan pidato yang bernada keras di hadapan anggota Reichstag pada 20 Februari 1938:

Lebih dari sepuluh juta orang Jerman tinggal di dua negara yang memiliki perbatasan dengan kita. Bagi suatu kekuatan tingkat dunia, tidak tertahankan untuk mengetahui bahwa di sampingnya ada saudara satu ras yang senantiasa mengalami penderitaan terkejam karena mereka merasa solider dengan seluruh bangsa, dalam persatuan dengannya, dengan takdir dan pandangan dunianya. Adalah tugas Reich Jerman untuk melindungi bangsa Jerman yang tidak dapat mengamankan, dengan usaha mereka sendiri, di sepanjang perbatasan kita, kebebasan politik dan kejiwaan mereka.[39]

Empat hari sesudahnya, dalam pidatonya yang disampaikan di hadapan Dewan Nasional, Schuschnigg menjawab pidato tersebut dengan pernyataan bahwa "Austria berkomitmen untuk berkonsesi hingga saat ketika kita harus berhenti, kita tidak akan memberikan lebih dari itu." Ia juga menegaskan bahwa Austria tidak akan pernah melepaskan kemerdekaannya.[39] Pernyataan Schuschnigg yang disampaikan di radio memicu tindakan kekerasan dari kelompok Nazi Austria. Di Graz, dua puluh ribu Nazi menyerbu alun-alun Balai Kota, menghancurkan pengeras suara, dan mengganti bendera Austria dengan bendera Jerman Nazi. Pihak kepolisian yang tunduk kepada wewenang Seyss-Inquart tidak mengambil tindakan sama sekali.[39]

Minggu-minggu setelahnya, Schuschnigg berupaya mencari dukungan dari kelompok buruh. Schuschnigg sendiri masih mempertahankan pelarangan serikat-serikat pekerja dan Partai Demokrat Sosial Austria yang ditetapkan oleh Dollfuss pada tahun 1934. Walaupun begitu, kelompok sosialis menyatakan dukungan mereka kepada pemerintah Austria untuk mempertahankan kemerdekaan negara. Mereka menyelenggarakan pertemuan akbar pada 4 Maret 1938 dan menuntut pencabutan pelarangan kegiatan politik mereka, seperti yang telah dilakukan untuk kelompok Nazi Austria.[39]

Rencana referendum dan pengunduran diri Schuschnigg

 
Kurt Schuschnigg pada tahun 1936

Pada 9 Maret 1938, Schuschnigg melancarkan manuver terakhirnya untuk mempertahankan kemerdekaan Austria. Saat sedang berpidato di Innsbruck, ia mengumumkan tanpa sepengetahuan menteri-menterinya bahwa ia akan menyelenggarakan sebuah referendum[b] pada 13 Maret 1938.[42] Ia menyerukan rakyat untuk mendukung "Austria yang bebas dan Jerman, merdeka dan sosial, Kristen dan bersatu, demi kebebasan dan pekerjaan, dan demi kesetaraan di antara semua yang menyatakan mendukung ras dan tanah air."[43] Untuk memastikan kemenangan, ia menetapkan batas usia minimal 24 tahun, sehingga ia mengesampingkan para pemuda yang kebanyakan mendukung nazisme.[42][44] Penyelenggaraan referendum ini merupakan kebijakan yang amat berisiko bagi masa depan politik Schuschnigg. Hitler menganggapnya sebagai pelanggaran Perjanjian Berchtesgaden tanggal 12 Februari 1938, dan ia memanggil Göring dan Goebbels untuk mencari cara mencegah referendum ini.[45] Dari sore 9 Maret hingga awal 10 Maret 1938, Hitler berkonsultasi dengan pejabat-pejabat politik dan militer Nazi, dan kemudian memerintahkan Keitel pada pagi 10 Maret 1938 untuk menyerang Austria pada hari Sabtu 12 Maret 1938. Keitel, Ludwig Beck, dan Erich von Manstein pun mempersiapkan operasi ini pada 10 dan 11 Maret 1938 dan mengirimkan perintah mobilisasi kepada satuan-satuan terkait dari tanggal 11 Maret 1938 sekitar pukul 18.30.[42] Pada saat itu, Hitler mengirim surat kepada Mussolini untuk menyampaikan keputusannya untuk "mengembalikan hukum dan ketertiban di negara kelahiran[nya]". Hitler melaporkan bahwa kekacauan tengah merajalela di Austria, dan bahkan ia mengklaim bahwa Austria dan Cekoslowakia tengah mempersiapkan dua puluh juta orang untuk menyerang Jerman. Menurut sejarawan William L. Shirer, klaim-klaim ini hanyalah kebohongan belaka.[42]

 
Para pendukung Kanselir Kurt Schuschnigg mengibarkan bendera Vaterländische Front (Barisan Tanah Air) saat kampanye referendum pada Maret 1938

Pada 11 Maret 1938, panggilan telepon dari kepala kepolisian Austria membangunkan Schuschnigg dari tidurnya pada pukul 5.30. Sang kepala kepolisian melaporkan penutupan perbatasan di Salzburg, penghentian transportasi kereta api antara Jerman dan Austria, serta berkumpulnya pasukan Jerman. Pada pukul 10.00, Seyss-Inquart dan Glaise-Horstenau menyampaikan tuntutan Hitler kepada Schuschnigg untuk membatalkan rencana penyelenggaraan referendum; jika tidak, Jerman akan menyerang Austria.[46] Walaupun awalnya akan kedaluwarsa pada tengah hari, tenggat ultimatum ini diperpanjang hingga pukul 14.00.[37] Pada saat itulah Schuschnigg memutuskan untuk membatalkan referendum. Setelah diberitahukan mengenai keputusan ini oleh Seyss-Inquart, dan sesudah berbincang dengan Hitler, Göring menyampaikan tuntutan baru, yaitu agar Schuschnigg mengundurkan diri dan digantikan oleh Seyss-Inquart.[47] Ia juga berpesan kepada Seyss-Inquart agar ia mengirimkan sebuah telegram yang meminta kepada Jerman untuk mengirim pasukan ke Austria demi mengembalikan tata tertib.[46]

Untuk pertama kalinya, Presiden Austria Wilhelm Miklas menolak pengunduran diri seorang kanselir. Göring mendengar kabar ini dari Seyss-Inquart lewat telepon.[47] Sesudah itu, Göring mendatangi Hitler. Setelah perundingan selama setengah jam, ia memperoleh izin untuk mengirim Angkatan Darat ke-8 ke Austria pada fajar 12 Maret 1938.[47] Akibat tekanan yang semakin menguat, Miklas akhirnya menerima pengunduran diri Schuschnigg, tetapi ia menolak mengangkat Seyss-Inquart sebagai kanselir.[46]

Schuschnigg mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul 19.30 di radio:

Pemerintah Jerman hari ini telah memberikan ultimatum kepada Presiden Miklas dan memerintahkan kepadanya dalam kurun waktu yang telah dipaksakan untuk mengangkat sebagai kanselir seseorang yang telah ditunjuk oleh pemerintah Jerman; apabila menolak, pasukan Jerman akan menyerang Austria. […] Presiden Miklas meminta kepada saya untuk memberitahukan kepada rakyat Austria bahwa kami terpaksa menyerah karena kami menolak, bahkan pada saat yang mengerikan ini, untuk menumpahkan darah. Maka kami memutuskan untuk memerintahkan kepada pasukan Austria untuk tidak memberikan perlawanan. Oleh sebab itu saya pamit dengan rakyat Austria, dengan menyampaikan salam perpisahan Jerman ini, diucapkan dari lubuk hati saya yang paling dalam: Tuhan memberkati Austria.[48]

Seusai pengumuman ini, terjadi kerusuhan di kota Wina. Jendela toko-toko milik orang Yahudi dihancurkan, dan orang Yahudi juga menjadi sasaran. Menurut seorang wartawan yang melaporkan kejadian ini, "kota berubah menjadi mimpi buruk yang dilukis oleh Hieronymus Bosch. […] Yang sedang dilepaskan di Wina saat ini adalah semburan keirian, kecemburuan, kegetiran, kebutaan, keinginan jahat untuk membalas dendam."[49].

Kelompok Nazi Austria yang terorganisasi dengan baik mengambil alih kekuasaan di negara bagian Kärnten dan Steiermark. Mereka juga menduduki bangunan publik dan stasiun kereta api di Innsbruck, Linz, Salzburg, Graz, Klagenfurt, dan Wina.[47] Penolakan Presiden Miklas untuk mengangkat Seyss-Inquart dan fakta bahwa telegram yang memanggil bantuan Jerman masih belum dikirim membuat marah Hitler. Pada pukul 20.45, Hitler pun secara resmi memerintahkan penyerangan Austria. Tiga menit sesudahnya, Göring mengirim naskah telegram yang meminta bantuan Jerman kepada Seyss-Inquart, tetapi Göring menyatakan bahwa Seyss-Inquart sudah tidak harus mengirimkannya ke Jerman; ia hanya perlu menyatakan persetujuannya dengan isi telegram tersebut.[50] Pada malam hari, naskah telegram ini[c] dikirim ke media Jerman dan diterbitkan pada pagi hari sesudahnya. Koran Nazi Völkischer Beobachter pun memasang tajuk berita "Austria Jerman diselamatkan dari kekacauan".[50] Sekitar tengah malam, Presiden Miklas akhirnya bersedia mengangkat Seyss-Inquart sebagai kanselir setelah kantor-kantor pemerintahan di Wina jatuh ke tangan kelompok Nazi Austria dan sebagian besar anggota pemerintahan ditangkap, dan juga mengingat Prancis, Britania Raya, Italia, dan Cekoslowakia tetap bergeming.[50] Seyss-Inquart berupaya menghentikan kedatangan pasukan Jerman dengan menelepon Reichskanzlei (Kantor Kanselir Jerman) dan Oberkommando der Wehrmacht (Komando Tinggi Angkatan Bersenjata Jerman). Namun, Hitler telah mengambil salah satu keputusannya yang sudah tidak dapat diganggu gugat. Ia tidak hanya meyakini bahwa membiarkan tentara sebanyak itu diam saja merupakan tindakan "tak bermoral", tetapi ia juga mempertimbangkan bahwa kelompok Nazi Austria tidak bisa dipercaya.[47]

Aneksasi

Warga Salzburg menyambut kedatangan pasukan Jerman

Pada pukul 5.30 12 Maret 1938, pasukan Wehrmacht melintasi perbatasan Jerman-Austria.[51] Militer Austria tidak memberikan perlawanan sama sekali.[37] Pasukan Jerman malah disambut oleh sorakan rakyat, salam Heil Hitler, bendera Nazi, dan bunga.[51] Setelah kedatangan satuan bermotor, infanteri Jerman memasuki Austria. Mereka tidak mengambil posisi tempur, tetapi malah berbaris dengan musik dan bendera militer.[52] Menurut seorang perwira, "tidak pernah pasukan Jerman disambut sebegitu hangat sejak pawai kemenangan Bismarck saat pendirian Kekaisaran."[52] Beberapa saat sebelum tengah hari, Divisi Infanteri Bermotor Kedua yang dipimpin oleh Heinz Guderian tiba di kota Linz. Di sana, Guderian bertemu dengan Heinrich Himmler, Seyss-Inquart, dan Glaise-Horstenau. Ketiganya memberitahukan kepada Guderian bahwa Hitler akan tiba sekitar pukul 15.00.[52]

Hitler memasuki Austria beberapa saat sebelum pukul 16.00. Ia mendatangi kota kelahirannya yang berada di perbatasan, Braunau am Inn. Akibat kerumunan di jalanan, ia baru tiba di Linz sekitar pukul 19.30, dan di situ ia juga disambut dengan hangat. Ketika ia berpidato di balkon balai kota, ia disambut sorak-sorak sekitar enam hingga delapan puluh ribu orang.[52] Di Salzburg, prajurit Jerman mendapati sebuah kota yang dihiasi dengan bendera Nazi, dan setibanya di Wina sekitar tengah malam, Guderian mendapatkan sambutan yang hangat.[53] Walaupun awalnya tidak ada rencana mengirim pasukan ke Steiermark dan Kärnten, Hitler mengubah rencananya sesudah menyaksikan sambutan hangat rakyat Austria terhadap prajurit Jerman. Pada 13 Maret, prajurit dari Resimen Parasut Kedua mendarat di Graz, ibu kota Steiermark. Di kedua negara bagian tersebut, satuan-satuan Jerman kembali "dibombardir dengan bunga, bahkan di dusun orang Slovenia di perbatasan dengan Yugoslavia."[53] Pada sore 14 Maret 1938, seluruh Austria telah diduduki Jerman.[53]

 
Infanteri bermotor Jerman memasuki kota Wina

Pada 14 Maret 1938, Hitler meninggalkan Linz dan berangkat ke Wina. Ia melewati kota Melk dan Sankt Pölten. Dari Sankt Pölten, ia memulai perjalanannya ke Wina dengan kecepatan dua puluh kilometer per jam demi menyenangkan kerumunan.[53] Tak lama sebelum pukul 18.00, Hitler memasuki kota Wina melalui Ringstrasse dan mendatangi Hotel Imperial untuk bertemu dengan anggota pemerintahan baru yang dipimpin Seyss-Inquart. Walaupun massa sudah diperingatkan bahwa Hitler terlalu lelah untuk bisa berpidato, ribuan orang berkumpul di luar gedung hotel. Hitler pun kemudian berpidato secara singkat di hadapan mereka, dan ia mengakhiri pidato tersebut dengan kalimat "Tidak ada lagi yang bisa memecah Reich Jerman dalam bentuk saat ini."[53]

 
Hitler sedang berpidato di hadapan kerumunan di Heldenplatz, Wina, tanggal 14 Maret 1938

Sehari sesudahnya, pada pertengahan hari, sekitar 250.000 orang mendatangi Heldenplatz di Wina. Hitler tiba di tempat tersebut sekitar pukul 11.00 dan disambut meriah oleh kerumunan massa. Menurut seorang pengamat dari Britania, kerumunan ini "terdiri dari orang-orang dari segala kelas sosial. Hanya pada saat inilah buruh dan borjuis berdiri bersampingan dengan antusiasme penuh. Kesan utama saya adalah [bahwa kerumunan tersebut terdiri dari] wajah-wajah muda dengan pakaian yang agak lusuh. Ini bukanlah kerumunan reaksioner yang berkumpul untuk merayakan kemenangan mereka. Apapun itu alasan mereka, yang berjejer di jalanan adalah rakyat Wina."[53] Belakangan, saat sedang berhadapan dengan media asing di Königsberg, Prusia Timur, Hitler berkomentar:

Beberapa surat kabar asing mengatakan bahwa kami menyerang Austria dengan cara-cara kejam. Saya hanya bisa berkata: bahkan saat sudah mati mereka tidak bisa berhenti berbohong. Selama perjuangan politik saya, saya telah mendapatkan begitu banyak cinta dari rakyat saya, tetapi ketika saya melintasi bekas perbatasan [Austria], di situ saya disambut dengan aliran cinta yang belum pernah saya alami sebelumnya. Kami datang bukan sebagai penguasa lalim, tetapi sebagai pembebas [...].[54]

Plebisit

 
Göring di Wina tanggal 27 Maret 1938
 
Surat suara untuk plebisit tanggal 10 April 1938 yang menanyakan: "Apakah Anda setuju dengan penyatuan kembali Austria dengan Reich Jerman yang ditetapkan pada 13 Maret 1938 dan apakah Anda memilih pemimpin kami Adolf Hitler?" Lingkaran besar menandai pilihan "ya", dan lingkaran kecil mengacu kepada pilihan "tidak"

Sehari setelah pasukan Jerman memasuki Austria, Anschluss dituangkan ke dalam produk undang-undang, tepatnya Undang-Undang mengenai Penyatuan Kembali Austria dengan Reich Jerman (Gesetz über die Wiedervereinigung Österreichs mit dem Deutschen Reich) tanggal 13 Maret 1938. Undang-undang ini ditulis oleh seorang pejabat senior Jerman di Berlin, disetujui oleh pemerintahan baru Austria, dan ditandatangani oleh Hitler.[55][56] Undang-undang ini masih harus disahkan melalui sebuah plebisit/referendum. Berdasarkan undang-undang ini, Austria berubah menjadi Provinsi Ostmark di Reich Jerman, dan Seyss-Inquart diangkat menjadi gubernur. Pada hari yang sama, Hitler menugaskan Gauleiter (kepala daerah) Westmark Josef Bürckel untuk menyelenggarakan plebisit yang "bebas dan dengan pemungutan suara secara rahasia" pada 10 April 1938.[57]

Bürckel secara resmi memulai kampanye di kota Wina dengan menyampaikan pidato yang mengandung berbagai serangan antisemit; serangan-serangan ini disambut secara meriah. Beberapa hari sesudahnya, pemimpin-pemimpin Jerman Nazi, yaitu Hitler, Göring, Goebbels, dan Himmler, mengelilingi Austria untuk mendukung aneksasi.[57] Göring mengumumkan pada 26 Maret 1938 bahwa Jerman akan menginvestasikan enam puluh juta mark untuk pengembangan industri dan modernisasi agrikultur Austria. Beberapa hari sesudahnya, sistem jaminan sosial Jerman juga diberlakukan di Austria. Tanggung jawab pembayaran tunjangan untuk pengangguran diambil alih oleh Jerman, sementara sepuluh ribu anak sekolah dan dua puluh lima ribu orang dewasa diperbolehkan berlibur. Selain itu, pangan dibagikan untuk orang-orang miskin.[57]

Metode-metode brutal yang digunakan Hitler untuk memberangus kelompok oposisi di Jerman juga diterapkan di Austria berminggu-minggu sebelum plebisit diselenggarakan. Sebelum kedatangan Wehrmacht, Himmler sudah tiba di Wina pada 12 Maret 1938, dan ia diikuti oleh empat puluh ribu anggota Sicherheitspolizei (polisi keamanan).[57] Dalam kurun waktu yang memisahkan Anschluss dengan plebisit, tujuh puluh ribu orang ditangkap dan dijebloskan ke penjara atau dikirim ke kamp konsentrasi. Orang-orang yang menjadi korban berasal dari berbagai golongan, seperti Kristen demokrat (termasuk Richard Schmitz dan Leopold Figl), demokrat sosial, komunis, dan Yahudi.[37]

Plebisit akhirnya diselenggarakan pada 10 April 1938 di Jerman dan Austria. Hasilnya menunjukkan bahwa 99,08% orang Jerman dan 99,75% orang Austria mendukung penyatuan.[58] Meskipun para sejarawan sepakat bahwa hasil plebisit ini tidak dicurangi, proses pemilihannya tidak berlangsung secara bebas maupun rahasia.[57] Para pejabat hadir di sebelah bilik suara dan menerima secara langsung surat suara yang telah digunakan. Hal ini bertentangan dengan praktik pemungutan suara rahasia, yang mewajibkan surat suara dimasukkan oleh pemilih secara langsung ke dalam kotak suara yang disegel. Selain itu, celah yang besar juga disediakan di bilik suara untuk bisa melihat bagaimana pemilih menggunakan suaranya.[58] Menurut sejarawan Inggris Richard J. Evans, proses pemilihan telah menjadi subjek manipulasi dan intimidasi besar-besaran.[59] Kemenangan Nazi dalam plebisit ini mengesahkan Undang-Undang tanggal 13 Maret 1938, sehingga Austria secara resmi menjadi bagian dari Reich Jerman.[55]

Tanggapan awal

Austria

 
Foto keluarga Austria yang merayakan keberhasilan Anschluss

Menurut sejarawan Evan Burr Bukey, "tidak terdapat keraguan" bahwa sambutan hangat sebagian besar rakyat Austria terhadap Anschluss terbilang "sungguh-sungguh" dan "spontan". Bagi Bukey, sambutan tersebut bukan hasil manipulasi penyiar Nazi ataupun Menteri Propaganda Goebbels mengingat mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan sambutan semacam itu. Bukey juga menjabarkan beberapa faktor yang bisa menjelaskan sambutan hangat dari rakyat Austria. Peristiwa Anschluss berlangsung tanpa pertumpahan darah, dan kedatangan prajurit Jerman dianggap sebagai cara untuk menghindari perang saudara dan juga memberikan perlindungan dari agresi negara lain. Kekuatan ekonomi Jerman juga diharapkan dapat memperbaiki keadaan di Austria. Selain itu, orang-orang Austria menganggap kedatangan Jerman sebagai kesempatan untuk menyelesaikan "persoalan Yahudi". Bukey sendiri mengamati bahwa yang melakukan kekerasan terhadap orang Yahudi seusai pidato perpisahan Schuschnigg bukanlah pasukan Jerman, tetapi kelompok Nazi Austria dan kaki tangan mereka.[60]

 
Kardinal Theodor Innitzer sekitar tahun 1933

Setelah peristiwa Anschluss, Jerman berupaya memperoleh dukungan dari dua pilar masyarakat Austria pada saat itu, yaitu Gereja Katolik dan kelompok demokrat sosial. Kardinal Theodor Innitzer, yang juga merupakan salah satu tokoh gerakan Kristen-Sosial, menyatakan pada 12 Maret 1938 bahwa "Gereja Katolik Wina harus berterima kasih kepada Tuhan karena perubahan politik besar ini berlangsung tanpa pertumpahan darah, dan berdoa untuk masa depan yang agung bagi Austria. Sudah jelas bahwa semua harus mematuhi perintah lembaga-lembaga baru." Uskup-uskup Austria lainnya mengambil sikap yang sama dan berterima kasih kepada Jerman karena telah "menyelamatkan Austria dari ancaman Bolshevik."[37] Saat penerbitan deklarasi dukungan uskup-uskup Austria terhadap Anschluss pada 18 Maret 1938, Innitzer membubuhkan Heil Hitler di samping tanda tangannya.[61]

Di pihak kelompok demokrat sosial, Karl Renner, yang juga merupakan bapak pendiri Republik Austria Pertama, menyatakan dukungannya terhadap Anschluss. Pada 3 April 1938, ia bahkan menyatakan bahwa ia akan mendukung penyatuan dalam plebisit yang diselenggarakan Nazi.[61] Pada musim panas dan musim gugur tahun 1938, ia menulis sebuah buku setebal 80 halaman dengan judul Die Gründung der Republik Deutschösterreich, der Anschluss und die Sudetendeutschen (Pendirian Republik Jerman Austria, Anschluss, dan orang Jerman Sudeten).[62]

Mancanegara

 
Neville Chamberlain di München tanggal 29 September 1938

Reaksi dunia internasional terhadap Anschluss terbilang lemah.[63] Sikap resmi Britania Raya disampaikan oleh Perdana Menteri Neville Chamberlain di House of Commons pada 14 Maret 1938:

Kenyataan yang sulit diterima adalah — dan perihal kebenarannya masing-masing anggota dewan yang terhormat bisa menilai sendiri — bahwa tidak ada yang bisa menghentikan tindakan oleh Jerman ini kecuali kita atau pihak lain yang bersama kita siap untuk menggunakan kekuatan untuk mencegahnya. Saya bisa membayangkan bahwa, berdasarkan perangai masing-masing, peristiwa-peristiwa yang ada di pikiran kita saat ini akan mengakibatkan penyesalan, kesedihan, mungkin kemarahan. Peristiwa-peristiwa ini tidak bisa ditanggapi oleh pemerintah Sri Baginda dengan keacuhan atau ketenangan. Peristiwa-peristiwa ini akan memiliki dampak yang masih belum bisa dikira. Dampak langsungnya pasti akan memperhebat rasa ketidakpastian dan ketidakamanan di Eropa. Sayangnya, walaupun kebijakan pemuasan akan berujung pada pelonggaran tekanan ekonomi yang diderita banyak negara saat ini, yang baru saja terjadi pastinya akan memperlambat pemulihan ekonomi dan, memang benar, harus lebih berhati-hati untuk memastikan bahwa kemunduran tak akan terjadi.[64]

Tanggapan Britania Raya yang lunak merupakan konsekuensi dari kebijakan pemuasan yang diterapkan oleh negara tersebut.[65] Di hadapan House of Commons pada 14 Maret 1938, Winston Churchill memperingatkan dampak dari kebijakan ini: "Eropa dihadapkan oleh program agresi yang telah dipertimbangkan dan direncanakan dengan baik, berjalan tahap demi tahap, dan hanya ada satu pilihan saja, bukan hanya untuk kita, tetapi untuk negara-negara lain yang sayangnya juga terdampak – menyerah seperti Austria, atau mengambil tindakan-tindakan manjur saat masih ada waktu untuk menghindari bahaya dan, jika bahaya tidak bisa dihindari, untuk mengatasinya."[66]

Prancis sendiri sedang dilanda krisis pemerintahan pada saat berlangsungnya Anschluss. Perdana Menteri Prancis Camille Chautemps telah mengumumkan pengunduran dirinya pada 10 Maret 1938, dan Prancis tidak memiliki pemerintahan hingga pemerintahan Chautemps digantikan oleh pemerintahan sementara Léon Blum.[67] Dalam pidatonya yang disiarkan di radio pada 13 Maret 1938, Blum hanya menyebut soal "momen sejarah" yang "berbahaya". Walaupun Blum juga mengatakan soal komitmen pemerintahannya untuk "mengembalikan kepercayaan kepada Eropa yang damai" (rendre confiance à l'Europe pacifique), Prancis saat itu tampak tidak berkomitmen untuk membela Austria dan juga tidak memberikan tanggapan yang berarti terhadap peristiwa Anschluss.[68]

Satu-satunya negara yang bersuara menentang Anschluss adalah Meksiko. Utusan Meksiko Isidro Fabela mengirimkan sebuah nota protes di hadapan Liga Bangsa-Bangsa pada 19 Maret 1938. Nota protes ini secara terang-terangan menyatakan bahwa "Kematian politik Austria dalam bentuk dan keadaan yang telah diketahui merupakan pelanggaran serius terhadap Piagam Liga Bangsa-Bangsa dan asas-asas yang terkandung dalam hukum internasional."[69] Orang-orang Austria di luar negeri juga menyatakan penolakan mereka terhadap Anschluss. Sejumlah seniman Austria, yaitu Joseph Roth di Paris, Oskar Kokoschka di London, dan Stefan Zweig di Bath, mendirikan gerakan "Austria Merdeka". Pada tahun 1943, gerakan ini meliputi dua puluh tujuh organisasi yang terdiri dari lebih dari tujuh ribu anggota.[70]

Dampak

Pemerintahan dan ekonomi

Dengan disahkannya Undang-Undang 13 Maret 1938 melalui plebisit 10 April 1938, Austria menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Reich Jerman, sehingga melahirkan sebutan Gross Deutchsland ("Jerman Raya").[55] Seusai Anschluss, Austria yang dipimpin oleh Seyss-Inquart masih mempertahankan sebagian dari identitasnya melalui nama Ostmark, walaupun parlemen Austria dibubarkan pada April 1939.[55] Sisa-sisa identitas ini sepenuhnya dihilangkan pada tahun 1942, setelah Ostmark dipecah menjadi dua kawasan di bawah Reich Jerman, yaitu Donau dan Alpen.[55] Selain berdampak terhadap politik dan pemerintahan, Anschluss juga mengubah kehidupan sehari-hari rakyat Austria. Sistem pos, kereta api, perbankan, mata uang nasional, dan lembaga-lembaga ekonomi Austria lainnya dihapuskan dan digantikan oleh sistem Jerman.[71]

Ekonomi Austria diintegrasikan secara paksa dengan ekonomi Jerman. Dua hari setelah aneksasi, Austria langsung diikutkan ke dalam Rencana Empat Tahun yang dirancang oleh Göring.[71] Perusahaan-perusahaan Austria yang manajemennya dianggap tidak memuaskan diambil alih oleh Jerman.[71] Para buruh Austria, yang digabungkan ke dalam Deutsche Arbeitsfront (Barisan Buruh Jerman), juga didorong untuk bekerja di Jerman, mengingat Jerman tengah mengalami kekurangan tenaga kerja pada saat itu.[71]

Pada saat yang sama, ekonomi Austria juga diuntungkan oleh modernisasi dan investasi besar-besaran dari Jerman. Kota Linz menjadi tempat didirikannya pabrik baja modern dan pabrik bahan kimia besar milik Reichswerke Hermann Göring. Pabrik pesawat terbesar di Jerman Nazi dibangun di Wiener Neustadt. Selain itu, Jerman Nazi memulai proyek-proyek pembangkit listrik tenaga air yang sebenarnya sudah direncanakan dari sebelumnya, tetapi tidak pernah diwujudkan akibat kekurangan dana. Ditambah lagi, Jerman Nazi mengelektrifikasi jalur kereta api serta membangun Autobahn (jalan raya) dari Salzburg ke Wina. Dalam waktu beberapa bulan setelah Anschluss, masalah pengangguran di Austria telah diselesaikan. Pertumbuhan ekonomi Austria turut didorong oleh pembangunan infrastruktur-infrastruktur militer di Jerman, mengingat wilayah Austria berada di luar jangkauan pesawat pengebom Sekutu hingga tahun 1943.[72]

Penindasan dan nazifikasi

 
Himmler mengunjungi kamp konsentrasi Mauthausen pada April 1941. Ia tengah berbicara dengan Franz Ziereis, panglima kamp. Mereka diapit oleh Ernst Kaltenbrunner (kiri) dan August Eigruber (kanan)

Kedatangan pasukan Jerman diiringi dengan penindasan terhadap mereka yang dianggap dapat menjadi ancaman: dari malam tanggal 12 hingga 13 Maret 1938, Gestapo (polisi rahasia Jerman Nazi) menangkap dua puluh satu ribu (terduga) oposisi, dan kamp konsentrasi Dachau diperbesar untuk bisa menampung mereka.[73] Selain itu, Jerman Nazi juga mendirikan kamp konsentrasi Mauthausen di Austria Hulu.[74]

Setelah Anschluss, masyarakat Austria mengalami nazifikasi secara mendalam.[d] Pada tahun 1945, ketika mantan Nazi harus mendaftar, terdapat sekitar enam ratus ribu yang tercatat; bersama dengan keluarga mereka, mereka mencakup sekitar sepertiga populasi Austria.[75] Meskipun populasi Austria hanya mencakup 8% populasi Jerman Raya, orang Austria meliputi 14% anggota Schutzstaffel dan 40% personil yang terkait dengan pelaksanaan Aksi T4 (program pembunuhan penderita kelainan genetika) dan Holocaust.[76]

Nazifikasi khususnya berlangsung di Universitas Wina. Dekan Fakultas Kedokteran yang juga merupakan seorang Nazi, Eduard Pernkopf, meminta semua pegawai universitas untuk membuktikan apakah mereka orang Arya atau bukan. Semua profesor juga diwajibkan bersumpah setia kepada Hitler, dan pada awal Mei 1938, Pernkopf melaporkan kepada atasannya daftar rekan-rekannya yang tidak melakukan sumpah tersebut. Dalam kurun waktu beberapa minggu, Fakultas Kedokteran Universitas Wina telah "dibersihkan" dari orang Yahudi, sementara 153 dari 197 (atau sekitar 78%) anggota Fakultas Kedokteran pada akhirnya dipecat. Fakultas lain juga terkena dampaknya walaupun tidak separah Fakultas Kedokteran: dari 770 profesor dan 221 asisten profesor, 322 (atau sekitar 45%) dipaksa untuk meninggalkan universitas dalam kurun waktu beberapa minggu setelah Anschluss.[77]

Tindakan-tindakan antisemit

 
Foto yang menunjukkan orang-orang Yahudi yang dipaksa menggosok trotoar sembari ditonton oleh kelompok Nazi Austria dan warga setempat

Peristiwa Anschluss diikuti oleh penindasan terhadap orang Yahudi Austria. Tindakan-tindakan antisemit sudah dimulai dari sore 11 Maret 1938 (sebelum kedatangan pasukan Jerman)[53] dan berlanjut selama beberapa hari. Kekerasan yang terjadi melebihi segala peristiwa antisemit lainnya di Jerman pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan Kepala Gestapo Reinhard Heydrich sampai mengusulkan pada 17 Maret 1938 agar orang Nazi Austria yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan ini ditangkap.[78] Kekerasan baru mereda pada 29 April 1938 setelah pejabat Sturmabteilung Austria diancam akan dipecat jika luapan kekerasan tetap berlanjut.[78]

Salah satu orang terkenal yang harus mengungsi setelah Anschluss adalah psikoanalis Sigmund Freud. Setelah Gestapo merazia rumahnya sebanyak dua kali dan menginterogasi putrinya Anna selama sehari, Freud diizinkan meninggalkan kota Wina asalkan ia membayar "pajak pelarian" dan juga setelah sebagian harta bendanya disita.[79] Aryanisasi harta benda Yahudi sendiri telah dilaksanakan besar-besaran dari pertengahan Mei 1938.[80][e] Pada 20 Agustus 1938, Kantor Pusat Emigrasi Yahudi (Zentralstelle für Jüdische Auswanderung) dibentuk di bawah kepemimpinan de facto Adolf Eichmann dengan tujuan untuk mempercepat emigrasi paksa orang Yahudi Austria.[81] Dari Maret hingga November 1938, hanya lima ribu orang Yahudi yang berhasil meninggalkan Austria.[82]

Saat terjadinya Kristallnacht (kerusuhan besar-besaran yang menyasar orang Yahudi di Jerman Nazi) pada malam 9 November 1938, kerusuhan antisemit terparah berlangsung di kota Wina. Terdapat empat puluh dua sinagoge yang dibakar, dua puluh tujuh orang Yahudi dibunuh, dan delapan puluh delapan terluka parah.[83][84] Bahkan penyiar radio pada malam tersebut menceritakan pembakaran Sinagoge Leopoldstadt seolah-olah seperti suatu kabar gembira.[83] Pada periode kekuasaan Nazi secara keseluruhan, terdapat sekitar 128.000 orang Yahudi Austria yang terpaksa meninggalkan Austria, sementara 65.459 lainnya menjadi korban Holocaust.[85]

Dampak jangka menengah

 
Wilayah Jerman Nazi (termasuk Austria) pada akhir tahun 1942

Di Jerman, keberhasilan Anschluss melejitkan kepopuleran Hitler.[86] Hitler sendiri juga dibuat semakin percaya diri oleh keberhasilan ini. Bahkan menurut sejarawan Richard J. Evans, Hitler menjadi yakin bahwa ia telah dipilih oleh Tuhan, dan bahwa ia tidak dapat melakukan kesalahan.[87] Lunaknya reaksi dari negara-negara lain juga mendorong Hitler untuk menyimpulkan bahwa ia dapat menggunakan cara yang lebih agresif demi memperluas wilayah Jerman Nazi. Kelak ia akan menggunakan pendekatan yang agresif untuk memperoleh Sudetenland dari Cekoslowakia.[87]

Peristiwa Anschluss telah menunjukkan bahwa Britania Raya menerapkan kebijakan pemuasan untuk berurusan dengan Hitler, dan bahwa Prancis tidak dapat melakukan campur tangan. Akibatnya, Anschluss bisa dikatakan telah membuka jalan bagi Persetujuan München pada September 1938 yang menyerahkan Sudetenland kepada Jerman Nazi serta pendudukan wilayah Cekoslowakia lainnya pada tahun 1939.[88]

Perang Dunia II dan Anschluss "batal demi hukum"

 
Churchill menyatakan pada Februari 1942 bahwa Austria adalah "korban pertama agresi Nazi"

Setelah meletusnya Perang Dunia II, Austria yang berada di bawah Jerman Nazi bertarung di pihak Blok Poros melawan negara-negara Sekutu.[89] Pihak Sekutu pun harus mempertimbangkan pendekatan yang tepat untuk masalah Austria.[90] Winston Churchill yang telah menjadi Perdana Menteri Britania Raya berjanji untuk berjuang demi "pembebasan Austria" dalam pidatonya di Mansion House, London, pada November 1940.[90][91] Pada Desember 1941, setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet bergabung dengan Sekutu, pengembalian kedaulatan Austria menjadi salah satu tujuan yang ingin dicapai setelah perang. Churchill juga mengatakan pada Februari 1942 bahwa Austria adalah "korban pertama agresi Nazi".[90]

Pada 30 Oktober 1943, Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Britania Raya menandatangani Deklarasi Moskwa. Di dalam deklarasi ini juga terkandung "Deklarasi mengenai Austria":[92][90]

Pemerintah Britania Raya, Uni Soviet, dan Amerika Serikat sepakat bahwa Austria, negara pertama yang menjadi korban agresi Hitler, akan dibebaskan dari dominasi Jerman.

Mereka menganggap aneksasi yang dipaksakan kepada Austria oleh Jerman pada 15 Maret 1938 batal demi hukum. Mereka menyatakan tidak terikat dengan perubahan apapun yang diberlakukan di Austria sejak tanggal tersebut. Mereka mendeklarasikan bahwa mereka ingin agar Austria yang bebas dan merdeka didirikan kembali dan dengan ini membuka jalan bagi bangsa Austria sendiri, serta bagi negara-negara tetangga yang akan menghadapi masalah serupa, untuk menemukan keamanan politik dan ekonomi yang merupakan satu-satunya landasan perdamaian abadi.

Austria tetapi diingatkan bahwa ia memiliki tanggung jawab, yang tidak bisa ia hindari, atas keterlibatan dalam perang di pihak Jerman Hitler, dan dalam penyelesaian terakhir, pertimbangan pastinya akan diberikan terhadap sumbangsihnya untuk pembebasannya.[93]

Paragraf terakhir dimaksudkan untuk memicu perlawanan di Austria. Awalnya, Britania Raya mengusulkan agar paragraf terakhir ini menggunakan kata "bangsa Austria", tetapi Uni Soviet bersikeras agar istilah "Austria" yang dipakai supaya bisa menjadi landasan hukum untuk meminta pertanggungjawaban negara Austria suatu saat nanti.[94]

 
Karl Renner, mantan Kanselir Demokrat Sosial Austria yang awalnya mendukung Anschluss, menjadi kepala pemerintahan sementara Austria pada 27 April 1945

Pada musim semi tahun 1945, Jerman Nazi telah mengalami kekalahan. Hitler bunuh diri di bunkernya di Berlin pada 30 April 1945, dan penggantinya, Laksamana Karl Donitz, menandatangani penyerahan tanpa syarat Jerman pada 7 Mei 1945.[95] Kota Wina sendiri jatuh ke tangan Uni Soviet pada 13 April 1945,[95] dan wilayah Austria dan Kota Wina dibagi menjadi empat zona pendudukan oleh Amerika Serikat, Britania Raya, Uni Soviet, dan Prancis.[96] Pemerintahan sementara Austria dibentuk di bawah kepemimpinan Karl Renner yang dahulu sempat mendukung Anschluss.[97] Pemerintahan sementara ini mengeluarkan Proklamasi Republik Austria Kedua pada 27 April 1945. Menurut Pasal 2 Proklamasi, "Anschluss yang dipaksakan terhadap bangsa Austria pada tahun 1938 batal demi hukum." Pasal 4 juga menjabarkan bahwa "Dari tanggal pengumuman Proklamasi Kemerdekaan ini, semua sumpah militer, kepegawaian, atau pribadi yang pernah dinyatakan oleh orang Austria terhadap Reich Jerman dianggap batal demi hukum."[98] Namun, Renner tetap mempertahankan dukungan yang pernah ia berikan kepada Anschluss. Ia bahkan mengatakan "bagi kami tidak ada yang tersisa selain melepaskan gagasan Anschluss, [walaupun] bagi banyak orang itu mungkin sulit."[85]

Wilayah Austria diduduki oleh Sekutu hingga ditandatanganinya Perjanjian Negara Austria pada 15 Mei 1955 di Istana Belvedere, Wina.[99] Perjanjian ini mengembalikan Austria sebagai sebuah negara yang merdeka, demokratis, dan berdaulat, dengan batas wilayah yang sama seperti pada tanggal 1 Januari 1938.[100] Pasal 4 Perjanjian Negara Austria juga mengandung pelarangan Anschluss dengan Jerman.[101] Walaupun Deklarasi Moskwa awalnya menyebut soal tanggung jawab Austria, pasal mengenai hal ini pada akhirnya dihapus dari rancangan perjanjian.[99] Tiga bulan sesudah perjanjian ini ditandatangani, semua pasukan Sekutu sudah meninggalkan Austria. Kemudian, pada 26 Oktober 1955, Parlemen Austria mengeluarkan Deklarasi Kenetralan (Neutralitätserklärung) yang menyatakan bahwa Austria akan selalu menjadi negara yang netral.[102]

Dampak terhadap identitas Austria dan mitos "korban pertama Nazi"

 
"Buku Merah-Putih-Merah" yang diterbitkan oleh Kementerian Luar Negeri Austria pada tahun 1946. Kumpulan dokumen ini menyebarkan mitos bahwa Austria adalah "korban Nazi", dan bahwa rakyat Austria telah melakukan perlawanan besar-besaran terhadap "penjajahan" Nazi

Setelah Austria dilepaskan dari kendali Jerman, berkembang narasi di Austria bahwa Austria merupakan "korban pertama agresi Nazi". Pemerintah Austria menyebarluaskan mitos ini dengan menerbitkan Buku Merah-Putih-Merah (Rot-Weiß-Rot-Buch) pada tahun 1946.[103] Buku ini merupakan koleksi dokumen yang dimaksudkan untuk meyakinkan Sekutu bahwa orang Austria memusuhi rezim Jerman Nazi. Narasi yang dikembangkan buku ini adalah bahwa Jerman telah menjajah wilayah Austria, dan bahwa rakyat Austria telah mengobarkan perlawanan besar-besaran.[47] Namun, upaya untuk menerbitkan volume kedua tidak berhasil; walaupun sudah mencari ke seluruh negeri, Kementerian Luar Negeri Austria tidak dapat menemukan cukup bahan untuk membuktikan bahwa Austria telah melakukan perlawanan besar-besaran.[103]

Republik Austria Kedua sendiri didasarkan pada mitos pendirian bahwa Austria telah "dibebaskan" pada tahun 1945, sementara periode tahun 1945 hingga 1955 dianggap sebagai "periode pendudukan", dan 1955 adalah tahun ketika Austria menjadi "merdeka". Menurut sejarawan Steven Beller, "Sekutu-Sekutu Barat bisa diyakinkan atas kebenaran mitos ini, karena merekalah yang menciptakannya, untuk membujuk orang Austria agar menjauhi Jerman dan mendapatkan dukungan mereka dalam Perang Dingin yang tengah berkembang." Mitos ini juga bermanfaat bagi Austria; selain membantu Austria menghindari tanggung jawabnya sebagai pendukung Nazi, mitos "korban pertama Nazi" juga merupakan sebuah Lebenslüge (kebohongan hidup), yaitu kebohongan yang genting bagi jati diri negara Austria.[104] Menurut sejarawan Ernst Bruchmüller, "peran korban (Opferrolle) menjadi suatu prasyarat untuk pembentukan identitas nasional kontemporer."[105]

 
Kurt Waldheim, mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mencalonkan diri sebagai Presiden Austria pada tahun 1986. Kemunculan informasi mengenai keterlibatannya dalam Angkatan Bersenjata Jerman Nazi memicu skandal internasional yang memaksa Austria untuk mempertimbangkan ulang mitos "korban pertama Nazi"

Mitos Austria sebagai "korban pertama Nazi" masih tetap populer hingga tahun 1980-an, ketika Austria dipaksa untuk menghadapi masa lalunya.[106] Peristiwa yang benar-benar mendorong Austria untuk mempertimbangkan ulang masa lalunya (yang dikenal dengan sebutan Vergangenheitsbewältigung) adalah skandal Kurt Waldheim pada tahun 1986.[107] Ketika mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ini menjadi calon Presiden Austria, muncul informasi bahwa ia pernah menjadi aide-de-camp (pembantu pribadi) Jenderal Alexander Löhr di Wehrmacht; Löhr sendiri telah dieksekusi sebagai seorang penjahat perang.[108] Waldheim membela diri dan mengatakan bahwa "Apa yang saya lakukan selama perang tidak lebih dari yang dilakukan ratusan ribu orang Austria lainnya, yaitu memenuhi kewajiban saya sebagai tentara."[109] Pada akhirnya Waldheim terpilih sebagai presiden, tetapi negara-negara Barat menolak pertemuan dengan Waldheim, dan pada masa kepresidennya, ia hanya pernah mengunjungi Vatikan, Siprus, dan beberapa negara Arab.[110]

Skandal Waldheim menimbulkan keraguan terhadap narasi "korban pertama Nazi", mengingat Austria saat itu seharusnya "ditaklukan" oleh Jerman Nazi, tetapi Waldheim "memenuhi kewajibannya" bukan kepada Austria, tetapi kepada Jerman Nazi. Kewajiban hanya dapat "dipenuhi" kepada pemegang wewenang yang sah.[111] Pemerintah Austria akhirnya tidak lagi menganut mitos ini pada tahun 1990-an. Pemerintah Austria tidak lagi menampik keterlibatan Austria dalam kejahatan Nazi, dan keterlibatan ini turut diajarkan di sekolah.[112] Selain itu, pemerintah Austria bersedia memberikan ganti rugi kepada korban-korban periode Nazi, termasuk orang Yahudi dan Ostarbeiter (pekerja budak dari Eropa Tengah dan Timur).[113] Hasil penelitian Komisi Sejarah Austria (Österreichische Historikerkommission) yang dibentuk oleh pemerintah Austria pada November 1998[114] juga berujung pada temuan bahwa "aryanisasi" ekonomi yang dilaksanakan di Austria pada periode Nazi terkait dengan Holocaust.[115]

Catatan penjelas

  1. ^ Saat persidangan, Hermann Göring menyatakan bahwa "bukan sang Führer, tetapi saya secara pribadi yang mengatur lajunya dan, dengan mengesampingkan keragu-raguan sang Führer, memberikan sentuhan terakhir" (Kershaw 2001, hlm. 145).
  2. ^ Gagasan ini sudah ia pikirkan pada Juli 1937, tetapi tidak ditindaklanjuti, mengingat Italia dan Britania Raya menganggap inisiatif tersebut tidak relevan terhadap pertimbangan jangka panjang mereka. Terkait hal ini, lihat Lassner 2003, hlm. 179
  3. ^ Agen khusus Jerman di Austria, Wilhelm Keppler, memastikan bahwa Seyss-Inquart telah memberikan persetujuannya kepada isi telegram ini tanpa mengirimkannya ke Jerman. Namun, kebenaran pernyataan ini tampaknya terbantah oleh sikap Seyss-Inquart sendiri. Pada 12 Maret 1938 sekitar pukul 2.00, ia masih meminta agar pasukan Jerman tidak memasuki Austria (Shirer 1990, hlm. 372).
  4. ^ Menurut jajak pendapat yang dilaksanakan pada tahun 1985, 50% responden Austria menyatakan bahwa pengalaman hidup di bawah Nazi sama-sama memiliki aspek positif maupun negatif (Bukey 2000, hlm. 230).
  5. ^ Contoh properti yang diaryanisasi adalah Riesenrad (kincir raksasa) di kawasan Prater, Wina; wahana permainan ini disita dari pemilik Yahudinya, dan sang pemilik tewas di kamp konsentrasi Auschwitz pada tahun 1944 (Beller 2006, hlm. 251).

Catatan kaki

  1. ^ PONS Wörterbuch.
  2. ^ Beller 2006, hlm. 1, 200.
  3. ^ Encyclopaedia Britannica.
  4. ^ Klimpfinger 2018.
  5. ^ a b c Bérenger 1994, hlm. 53-62.
  6. ^ Gall 1984, hlm. 529-530.
  7. ^ Bérenger 1994, hlm. 76.
  8. ^ Gall 1984, hlm. 629.
  9. ^ Stern 1990, hlm. 89-91.
  10. ^ a b Bérenger 1994, hlm. 89.
  11. ^ Bérenger 1994, hlm. 94-95.
  12. ^ Kershaw 2001, hlm. 129.
  13. ^ Beller 2006, hlm. 207.
  14. ^ Gerwarth 2005, hlm. 135-136.
  15. ^ Cullin & Kreissler 1972, hlm. 74.
  16. ^ Cullin & Kreissler 1972, hlm. 75.
  17. ^ Beller 2006, hlm. 222.
  18. ^ Crouzet 1957, hlm. 207.
  19. ^ Beller 2006, hlm. 223.
  20. ^ a b Beller 2006, hlm. 225.
  21. ^ Bérenger 1994, hlm. 104.
  22. ^ Shirer 1990, hlm. 305.
  23. ^ Shirer 1990, hlm. 313.
  24. ^ Shirer 1990, hlm. 323-324.
  25. ^ Lassner 2003, hlm. 164-165.
  26. ^ Lassner 2003, hlm. 169.
  27. ^ Beller 2006, hlm. 226.
  28. ^ a b Beller 2006, hlm. 227.
  29. ^ Cullin & Kreissler 1972, hlm. 79.
  30. ^ Evans 2009, hlm. 727.
  31. ^ Kershaw 2001, hlm. 101-102.
  32. ^ Kershaw 2001, hlm. 133.
  33. ^ Shirer 1990, hlm. 330.
  34. ^ Shirer 1990, hlm. 353.
  35. ^ a b c d e Shirer 1990, hlm. 354-360.
  36. ^ Kershaw 2001, hlm. 136-137.
  37. ^ a b c d e Badia 1975, hlm. 84-87.
  38. ^ Kershaw 2001, hlm. 139.
  39. ^ a b c d e Shirer 1990, hlm. 360-364.
  40. ^ Beller 2006, hlm. 229.
  41. ^ Bukey 2000, hlm. 25.
  42. ^ a b c d Shirer 1990, hlm. 360-366.
  43. ^ Kershaw 2001, hlm. 141.
  44. ^ Evans 2009, hlm. 732.
  45. ^ Evans 2009, hlm. 732-733.
  46. ^ a b c Shirer 1990, hlm. 367-372.
  47. ^ a b c d e f Bukey 2000, hlm. 26.
  48. ^ Shirer 1990, hlm. 371.
  49. ^ Bukey 2000, hlm. 27-28.
  50. ^ a b c Shirer 1990, hlm. 372-376.
  51. ^ a b Evans 2009, hlm. 734.
  52. ^ a b c d Bukey 2000, hlm. 28.
  53. ^ a b c d e f g Bukey 2000, hlm. 30-32.
  54. ^ Shirer 1990, hlm. 379.
  55. ^ a b c d e Evans 2009, hlm. 735.
  56. ^ Bukey 2000, hlm. 29.
  57. ^ a b c d e Bukey 2000, hlm. 34-38.
  58. ^ a b Shirer 1990, hlm. 380.
  59. ^ Evans 2009, hlm. 737-738.
  60. ^ Bukey 2000, hlm. 33.
  61. ^ a b Evans 2009, hlm. 736.
  62. ^ Timms 1998, hlm. 51-53.
  63. ^ Lassner 2003, hlm. 180.
  64. ^ Keyserlingk 1990, hlm. 197.
  65. ^ Kershaw 2001, hlm. 140-141.
  66. ^ Parlemen Britania Raya.
  67. ^ Pasteur 1991, hlm. 115.
  68. ^ Pasteur 1991, hlm. 116.
  69. ^ ORF 2018.
  70. ^ Timms 1998, hlm. 55-56.
  71. ^ a b c d Evans 2009, hlm. 738.
  72. ^ Beller 2006, hlm. 237.
  73. ^ Evans 2009, hlm. 739.
  74. ^ Maršálek 2006, hlm. 14.
  75. ^ Bukey 2000, hlm. 228.
  76. ^ Bukey 2000, hlm. 43.
  77. ^ Ernst 1995, hlm. 790.
  78. ^ a b Evans 2009, hlm. 741.
  79. ^ Friedländer 2008, hlm. 305.
  80. ^ Friedländer 2008, hlm. 307.
  81. ^ Friedländer 2008, hlm. 309.
  82. ^ Friedländer 2008, hlm. 310.
  83. ^ a b Beller 2006, hlm. 235.
  84. ^ Botz 1989, hlm. 216-217.
  85. ^ a b Bukey 2000, hlm. 227.
  86. ^ Evans 2009, hlm. 746.
  87. ^ a b Evans 2009, hlm. 747.
  88. ^ Shirer 1990, hlm. 383-384.
  89. ^ Beller 2006, hlm. 241-243.
  90. ^ a b c d Beller 2006, hlm. 245.
  91. ^ Keyserlingk 1990, hlm. 19.
  92. ^ Cullin & Kreissler 1972, hlm. 85.
  93. ^ The Moscow Conference 1943.
  94. ^ Beller 2006, hlm. 245-246.
  95. ^ a b Beller 2006, hlm. 244.
  96. ^ Beller 2006, hlm. 249.
  97. ^ Beller 2006, hlm. 247.
  98. ^ Cullin & Kreissler 1972, hlm. 89.
  99. ^ a b Beller 2006, hlm. 261.
  100. ^ Kunz 1955, hlm. 536.
  101. ^ Kunz 1955, hlm. 537.
  102. ^ Beller 2006, hlm. 260.
  103. ^ a b Bischof 2004, hlm. 19.
  104. ^ Beller 2006, hlm. 250.
  105. ^ Bruchmüller 1998, hlm. 89.
  106. ^ Bischof 2004, hlm. 21-22.
  107. ^ Bischof 2004, hlm. 22-23.
  108. ^ Beller 2006, hlm. 287.
  109. ^ Beller 2006, hlm. 7.
  110. ^ Beller 2006, hlm. 290-291.
  111. ^ Beller 2006, hlm. 7-8.
  112. ^ Bischof 2004, hlm. 26.
  113. ^ Karn 2015, hlm. 100–101.
  114. ^ Karn 2015, hlm. 90.
  115. ^ Karn 2015, hlm. 94.

Daftar pustaka

Buku

  • Badia, Gilbert (1975), Histoire de l'allemagne contemporaine tome 2 - 1933-1962, Paris: Éditions sociales 
  • Beller, Steven (2006), A Concise History of Austria, Cambridge: Cambridge University Press 
  • Bérenger, Jean (1994), Histoire de l'Autriche, Paris: Presses Universitaires de France 
  • Bukey, Evan Burr (2000), Hitler's Austria: Popular Sentiment in the Nazi Era, 1938-1945, Chapel Hill: The University of North Carolina Press 
  • Cullin, Michel; Kreissler, Félix (1972), L'Autriche contemporaine, Paris: Armand Colin 
  • Evans, Richard J. (2009), Le Troisième Reich : 1933-1939, Paris: Flammarion 
  • Friedländer, Saul (2008), Les années de persécution - L'Allemagne nazie et les Juifs, 1933-1939, Paris: Seuil 
  • Gall, Lothar (1984), Bismarck, diterjemahkan oleh Jeanne-Marie Gaillard-Paquet, Paris: Fayard 
  • Gerwarth, Robert (2005), The Bismarck Myth: Weimar Germany and the Legacy of the Iron Chancellor, Oxford: Oxford University Press 
  • Karn, Alexander (2015), Amending the Past: Europe's Holocaust Commissions and the Right to History, Madison, Wisconsin: University of Wisconsin Press 
  • Kershaw, Ian (2001), Hitler, 1936-1945, Paris: Flammarion 
  • Keyserlingk, Robert H. (1990), Austria in World War II: An Anglo-American Dilemma, Kingston dan Montreal: McGill-Queen's Press 
  • Maršálek, Hans (2006), Die Geschichte des Konzentrationslagers Mauthausen: Dokumentation (edisi ke-4), Wina: Mauthausen-Komitee Österreich 
  • Shirer, William L. (1990), Le IIIe Reich : des origines à la chute, Paris: Stock 
  • Stern, Fritz (1990), Politique et désespoir : les ressentiments contre la modernité dans l'Allemagne préhitlérienne, diterjemahkan oleh Catherine Malamound, Paris: A. Colin 

Bab buku

  • Botz, Gerhard (1989), "La persécution des Juifs en Autriche : de l'exclusion à l'extermination", dalam François Bédarida, La Politique nazie d'extermination, Paris: Albin Michel 
  • Bruchmüller, Ernst (1998), "The Development of Austrian National Identity", dalam Kurt Richard Luther; Pieter Pulzer, Austria 1945-95: Fifty Years of the Second Republic, London: Ashgate 
  • Lassner, Alexander (2003), "The Foreign Policy of the Schuschnigg Government, 1934-1938: The Quest for Security", dalam Günter Bischof; Anton Pelinka; Alexander Lassner, The Dollfuss/Schuschnigg Era in Austria: A Reassesment, New Brunswick dan London: Transaction Publishers 
  • Pasteur, Paul (1991), "Le populaire et la presse de la SFIO face à lAnschluss", dalam Félix Kreissler, L'Anschluss, une affaire européenne, Rouen: Publications de l'Université de Rouen 
  • Schumacher, Aloysius (1991), "La France et la question de l'Anschluss", dalam Félix Kreissler, L'Anschluss, une affaire européenne, Rouen: Publications de l'Université de Rouen 
  • Timms, Edward (1998), "Austrian Identity in a Schizophrenic Age: Hilde Spiel and the Literary Politics of Exile and Reintegration", dalam Kurt Richard Luther; Pieter Pulzer, Austria 1945-95: Fifty Years of the Second Republic, London: Ashgate 

Jurnal

Sumber daring

Pranala luar