Pertempuran Laut Filipina

artikel daftar Wikimedia

Pertempuran Laut Filipina adalah pertempuran laut yang penting dalam Perang Dunia II yang melumpuhkan kemampuan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang untuk melancarkan serangan kapal induk besar-besaran. Pertempuran ini terjadi dalam penyerbuan Amerika Serikat ke Kepulauan Mariana selama Perang Pasifik. Pertempuran ini adalah yang terakhir dari lima pertempuran kapal induk besar antara Amerika Serikat dan Jepang, melibatkan Armada ke-5 Angkatan Laut Amerika Serikat dan juga kapal dan pesawat berbasis darat dari Armada Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dan garnisun pulau-pulau terdekat.

Babak pertarungan udara dalam pertempuran itu dijuluki Great Marianas Turkey Shoot oleh pilot Amerika karena begitu banyaknya pesawat Jepang yang ditembak jatuh pesawat atau meriam anti pesawat AS. Dalam debriefing setelah dua pertempuran udara pertama, seorang pilot di kapal USS Lexington berujar "Wah, ini seperti menembaki kalkun di kampung dulu!" Hasil tersebut umumnya didapat berkat perkembangan taktik, pelatihan, teknologi (termasuk proximity fuze yang sangat rahasia), serta desain kapal dan pesawat Amerika Serikat. Meskipun waktu itu pertempuran tersebut dianggap lalai menghabisi armada Jepang, AL Kekaisaran Jepang kehilangan sebagian besar kekuatan udara kapal induknya dan tidak pernah pulih lagi. Dalam pertempuran tersebut, kapal selam AS mentorpedo dua kapal induk terbesar Jepang sampai tenggelam.

Pertempuran ini adalah pertempuran antar kapal induk yang terbesar dalam sejarah.

Latar Belakang

sunting

Setelah tewasnya Laksamana Isoroku Yamamoto pada 18 April 1943, Laksamana Mineichi Koga naik pangkat menjadi Panglima Armada Gabungan keesokan harinya. Di bawah komandonya, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang berusaha mengalahkan AL AS dengan satu pertempuran menentukan pada awal 1944.

Sejak awal konflik pada Desember 1941, Jepang berencana meruntuhkan moral Amerika dengan kehancuran militernya secara menyakitkan sehingga rakyatnya muak dengan perang, sehingga pemerintah Amerika terpaksa mengajukan gencatan senjata dan Jepang pun leluasa menguasai Asia Timur Raya. Meskipun kalah jumlah sejak awal, dan semakin lama semakin tertinggal, komando tinggi Jepang masih percaya mereka bisa mengalahkan AL AS dalam satu pertempuran pamungkas yang disebut Kantai Kessen. Tetapi kemampuan mereka semakin menurun. AL Kekaisaran kehabisan penerbang akibat pertempuran-pertempuran sebelumnya di Laut Koral, Midway, dan kampanye Kepulauan Solomon 1942-43, sehingga kekuatan udara kapal induknya semakin lemah. Belum lagi Kampanye Guadalkanal yang hampir sepenuhnya dilakoni AL Kekaisaran membuat banyak pilot berpengalaman tewas. Kerusakan yang dialami AL AS di Solomon bisa cepat diperbaiki dan diganti, tetapi tidak dengan Jepang, yang butuh hampir setahun untuk menyusun kembali kekuatan udaranya pasca Solomon. Sekutu juga sudah melampaui Jepang dalam perkembangan produksi, teknologi dan pelatihan awak sejak akhir 1942.

Setelah membobol garis pertahanan Jepang terluar dalam Pertempuran Tarawa akhir 1943, AL AS meluncurkan Gugus Tugas Kapal Induk Cepat di bawah Laksamana Marc Mitscher (sebagai Gugus Tugas 58 di bawah Armada V Laksamana Raymond Spruance dan Gugus Tugas 38 saat digabung ke Armada III Laksamana William F. Halsey). Dipimpin gugus tugas ini, AL AS terus merangsek ke seantero kepulauan Pasifik Tengah awal 1944. Setelah berhasil mencapai tujuannya dalam Kampanye Kep. Gilbert, AS memulai beberapa misi untuk mencukur pasukan udara Jepang di darat supaya tidak mengganggu invasi amfibi AS. Hanya sedikit yang menyadari betapa kuatnya Gugus Tugas 58. Walaupun awalnya terlalu berhati-hati, keberhasilan serbuan itu melampaui bayangan para ahli strategi AS. Poros perang AL Jepang di Pasifik Tengah benar-benar dinetralisir dan perang pun berubah arah.

Jepang berusaha menghadang Gugus Tugas ini. Para panglima Jepang menganggap Kepulauan Mariana, termasuk Guam, Tinian dan Saipan, sebagai garis pertahanan terdalamnya. Pesawat tempur dan pembom berbasis darat di kepulauan tersebut mengawasi jalur laut dan melindungi kepulauan Jepang. Saat AS bersiap melancarkan Kampanye Kepulauan Mariana, AL Jepang memutuskan Kantai Kessen tidak bisa ditunda lagi.

Jepang memiliki beberapa keunggulan. Walaupun kalah jumlah kapal dan pesawat, mereka masih punya pesawat berbasis darat untuk mendukung pesawat kapal induknya. Jarak terbang pesawat Jepang juga lebih jauh, sehingga memungkinkan mereka menyerang kapal induk AS tanpa terkejar pesawat tempurnya. Dengan pangkalan di pulau-pulau tersebut, Jepang berharap dapat bolak-balik melancarkan serangan dari jauh tanpa bisa dibalas AS. Selain itu arah angin juga menguntungkan mereka: kapal induk Jepang yang berlayar dari barat akan menghadapi angin dari timur yang membantu pesawatnya lepas landas tanpa harus memutar arah. Artinya Jepang diuntungkan karena dapat memulai serangan terlebih dahulu.

Bulan Maret 1944, Laksamana Koga tewas ketika pesawatnya jatuh diterjang topan. Panglima Armada Gabungan yang baru, Laksamana Soemu Toyoda, ditunjuk. Ia melanjutkan pekerjaan Koga dan merampungkannya dalam bentuk "Rencana A-Go", atau "Operasi A-Go". Rencana tersebut ditetapkan awal Juni 1944, dan dalam beberapa minggu langsung dijalankan begitu mengetahui armada AS sudha bergerak ke Saipan.

Babak awal

sunting

12 Juni 1944, kapal induk AS melancarkan serangan udara ke Mariana, sehingga Laksamana Toyoda yakin AS akan segera menyerbu. Ini mengagetkan Jepang: mereka mengira AS akan menyerang lebih ke selatan, entah ke Kepulauan Caroline atau Palau, karenanya Kepulauan Mariana hanya dijaga 50 pesawat darat. Antara 13–15 Juni, kapal perang AS menyusul dengan membombardir pantai. 15 Juni 1944, pasukan AS pertama mendarat di pantai, memulai invasi Saipan.

Jika Mariana berhasil direbut, kepulauan Jepang masuk dalam jangkauan pembom strategis Amerika yang baru, B-29 Superfortress. AL Jepang memutuskan inilah saatnya Kantai Kessen (pertempuran pamungkas) yang telah lama dinanti. Toyoda segera memerintahkan serangan balasan armada dengan mengerahkan hampir semua kapal Jepang yang dapat beroperasi.

Armada Jepang yang dipimpin Laksamana Madya Jisaburo Ozawa, terdiri dari tiga kapal induk armada yang cepat (Taihō, Shōkaku, dan Zuikaku), dua kapal induk yang lebih lamban hasil modifikasi kapal angkut (Junyō dan Hiyō), empat kapal induk ringan (Ryūhō, Chitose, Chiyoda, dan Zuihō), lima kapal tempur (Yamato, Musashi, Kongō, Haruna dan Nagato), 13 penjelajah berat, 6 penjelajah ringan, 27 kapal perusak, 6 kapal bahan bakar, dan 24 kapal selam. Bagian terbesar armada itu bertemu pada tanggal 16 Juni di sebelah barat Laut Filipina dan selesai mengisi bahan bakar pada 17 Juni.

Ozawa memimpin dari kapal komandonya yang baru, Taihō. Selain fasilitas komando yang lengkap, lambung anti-torpedo yang lebih kuat, dan pesawat yang banyak, Taihō adalah kapal induk Jepang pertama yang mempunyai dek landas pacu berlapis baja, sehingga mampu menahan serangan bom dengan kerusakan minim.

Pukul 18:35 tanggal 15 Juni, sekelompok kapal induk dan kapal tempur Jepang terlihat meninggalkan Selat San Bernardino oleh kapal selam USS Flying Fish. Sejam kemudian USS Seahorse melihat sekelompok kapal tempur dan penjelajah bergerak ke selatan sekitar 200 mil dari Mindanao. Para kapal selam diperintahkan melapor terlebih dahulu, sebelum mencoba menyerang. Karenanya Flying Fish menunggu sampai gelap, baru muncul ke permukaan untuk melapor lewat radio. Laksamana Spruance, komandan Armada V AS yakin akan ada pertempuran besar. Setelah berkonsultasi dengan Laksamana Chester Nimitz di Markas Besar Armada Pasifik di Hawaii, ia memerintahkan Gugus Tugas 58 untuk berkumpul dan bergerak ke Laut Filipina. Gugus Tugas 58 dipimpin Laksamana Madya Marc Mitscher dari kapal komandonya, USS Lexington dari Regu Tugas 58.3. Spruance, yang memegang komando seluruh Armada V AS, mengibarkan benderanya di atas penjelajah berat USS Indianapolis, yang berlayar di garis pertahanan paling luar Regu Tugas 58.3.

Regu lain di bawah komando Laksamana Jesse B. Oldendorf, yang berisi delapan kapal tempur lama dan beberapa kapal induk pengawal, disuruh berjaga di Saipan untuk mendukung pendaratan pasukan invasi.

Gugus Tugas 58 terdiri dari lima regu tugas. Paling depan, bertindak sebagai tameng anti pesawat adalah satuan tempur Laksamana Madya Willis Lee; Regu Tugas 58.7 (TG-58.7), berisi tujuh kapal tempur cepat (Washington (kapal komando), North Carolina, Indiana, Iowa, New Jersey, South Dakota, dan Alabama), dan delapan kapal penjelajah berat (Baltimore, Boston, Canberra, Indianapolis, Wichita, Minneapolis, New Orleans, dan San Francisco). Sebelah utaranya adalah regu kapal induk terlemah pimpinan Laksamana Muda William K. Harrill: Regu Tugas 58.4 berisi satu kapal induk armada (Essex) dan dua kapal induk ringan (Langley dan Cowpens). Sebelah timur, berjajar dari utara ke selatan, ada tiga regu, masing-masing berisi dua kapal induk armada dan dua kapal induk ringan: Laksamana Muda Joseph Clark memimpin Regu Tugas 58.1 (Hornet, Yorktown, Belleau Wood dan Bataan); Laksamana Muda Alfred E. Montgomery dengan Regu Tugas 58.2 (Bunker Hill, Wasp, Cabot, dan Monterey); dan terakhir ada Laksamana Muda John W. Reeves mengepalai Regu Tugas 58.3 (Enterprise, Lexington, San Jacinto, dan Princeton). Kapal-kapal besar ini didukung 13 kapal penjelajah ringan, 58 kapal perusak, dan 28 kapal selam.

Tak lama sebelum tengah malam 18 Juni, Laksamana Chester W. Nimitz mengirim pesan pada Spruance dari markasnya di Hawaii, memberitahukan bahwa ada kapal Jepang yang menyalakan radionya. Pesan itu berisi perintah Ozawa kepada pesawat terbangnya di Guam. Penentuan dengan gelombang radio mendapati asal pesan tersebut ada di sekitar 355 mil (562 km) sebelah barat daya Gugus Tugas 58. Mitscher berpikir jangan-jangan pesan radio itu adalah tipuan Jepang, karena mereka gemar mengirim satu kapal untuk menyalakan radio dan mengecoh kapal musuh ke arah yang dikira lokasi armada Jepang.

 
F6F-3 mendarat di atas Lexington (CV-16) — kapal komando Gugus Tugas 58

Mitscher melihat ada kesempatan menghadang armada Ozawa di malam hari. Arleigh Burke, perwira kepala Mitscher (yang sewaktu memimpin skuadron kapal perusak sudah sering menang melawan Jepang di saat malam hari di Kepulauan Solomon), menganggap Lee yang memimpin kapal tempur akan setuju untuk bertempur malam hari, tetapi ternyata Lee tidak yakin. Karena sudah merasakan sendiri repotnya bertempur malam hari dalam Pertempuran Laut Guadalcanal, Lee agak segan untuk menghadang Jepang dalam gelap, padahal menurutnya awaknya belum cukup terlatih untuk itu. Setelah mendengar pendapat Lee, Mitscher minta izin pada Spruance untuk mengarahkan Gugus Tugas 58 ke barat di malam hari agar mendapat posisi yang paling baik untuk menyerang musuh saat fajar.

Setelah menimbang-nimbang selama sejam, permintaan Mitscher's ditolak. Perwira Mitscher kecewa dengan keputusan Spruance. Kapten Burke berkomentar di kemudian hari: "Kami tahu kalau kami bisa menghajar mereka besok pagi. Kami tahu kami tidak bisa menjagkau mereka, tetapi mereka bisa." Spruance menjawab "Kalau kita melakukan sesuatu yang begitu penting sampai menarik musuh ke arah kita, silakan saja mereka datang - dan langsung kita bereskan begitu mereka sampai." Ini bertolak belakang dengan Pertempuran Midway tahun 1942, ketika Spruance langsung memerintahkan serangan meskipun armadanya belum lengkap berkumpul, karena untuk menjaga keselamatan kapal induknya ia harus menetralisir kapal induk musuh secepatnya sebelum pesawat mereka keburu terbang.

Keputusan Spruance didasari perintah Nimitz, bahwa tugas utama Gugus Tugas 58 adalah melindungi armada invasi Mariana. Spruance kuatir bahwa Jepang berusaha mengalihkan armada utamnya menjauh dari Mariana dengan satuan pengecoh, lalu meluncurkan satuan tempur untuk menghabisi pasukan AS yang mendarat. Menemukan dan menghancurkan armada Jepang bukanlah tugas utamanya, dan ia tidak mau satuan tempur utamanya menjauh dari pasukan amfibi. Mitscher menerima keputusan itu tanpa berkomentar. Keputusan Spruance, walau kemudian banyak dikritik, jelas beralasan; pada saat itu Jepang sudah dikenal sangat tergantung pada satuan pengecoh dan penipu. Tetapi kali ini (bertolak belakang dengan Pertempuran Teluk Leyte sesudahnya), Jepang tidak menggunakannya sama sekali.

Sebelum fajar, Spruance menyarankan kalau tim pengintai tidak menemukan apa-apa, para bomber bisa diarahkan untuk menghancurkan pangkalan di Rota dan Guam. Karena amunisi dengan pemicu kontak di armada itu sudah banyak dipakai, Mitscher hanya punya amunisi penembus baja yang ia butuhkan untuk menghancurkan armada Jepang. Ia melapor pada Spruance bahwa serangan semacam itu tidak bisa dilakukan. Saat fajar menyingsing, Gugus Tugas 58 meluncurkan pesawat intai, patroli tempur udara (CAP), dan patroli anti kapal selam, dan berputar menghadap barat untuk memudahkan manuver. AL AS sudah mengembangkan taktik komando yang canggih dengan mengarahkan pesawat tempur CAP lewat radar untuk mencegat pembom musuh jauh sebelum mereka mencapai sasarannya. Kalau sampai ada yang lolos, para penyerang itu harus berhadapan dengan tirai berondongan peluru dari kapal tempur dan penjelajah.

Pertempuran

sunting
 
Peta Pertempuran Laut Filipina

Pertarungan pembuka

sunting

Jepang sudah meluncurkan patroli intainya di pagi hari dengan sekitar 50 pesawat dari Guam, dan pada pukul 05:50, salah satunya, sebuah Mitsubishi Zero, menemukan TF-58. Setelah melaporkan penemuannya, sang pilot menyerang salah satu kapal perusak yang tengah berjaga, tetapi berhasil ditembak jatuh.[butuh rujukan]

Jepang langsung menerbangkan pesawatnya dari Guam untuk menyerang. Mereka berhasil tertangkap oleh radar kapal AS. Tiga puluh F6F Hellcat diluncurkan dari Belleau Wood untuk menghadang ancaman itu. Para Hellcat sudah tiba ketika pesawat musuh masih tengah lepas landas dari pangkalan Orote. Beberapa menit kemudian, radar menangkap beberapa pesawat lagi, yang ternyata adalah pesawat pendukung dari pulau lain. Pertempuran hebat pun pecah; 35 pesawat Jepang ditembak jatuh, sementara AS hanya kehilangan satu Hellcat. Hal itu masih akan terjadi lagi seharian penuh. Pukul At 09:57 rombongan besar pesawat musuh terdeteksi mendekati armada. Mitscher berkata pada Burke "Suruh pesawat tempur yang ke Guam kembali segera". Panggilan "Hey, Rube!" dikirimkan. Armada menunggu sampai pukul 10:23, ketika Mitscher memerintahkan Gugus Tugas 58 berputar menghadang angin, dan memerintahkan semua pesawat tempur terbang, dikelompokkan dalam beberapa lapis CAP untuk menunggu Jepang. Pesawat pembom juga disuruhnya terbang dan berputar di perairan sebelah timur untuk menghindari kehilangan pesawat kalau-kalau Jepang berhasil membom hangar kapal induknya.

Serangan Jepang

sunting
 
Asap pesawat tempur menghiasi langit di atas Gugus Tugas 58, 19 Juni 1944

Pesawat tempur dipanggil ketika TF-58 menangkap kontak radar 150 mil (240 km) arah barat sekitar pukul 10:00. Ini adalah serangan pertama dari kapal induk Jepang, dengan 68 pesawat. TF-58 langsung meluncurkan pesawat tempur sebanyak mungkin, dan setelah mereka semua mengudara, pesawat Jepang tinggal 70 mil (110 km) jauhnya. Namun, Jepang malah berputar untuk menyusun formasi menyerang. Jeda 10 menit ini berakibat fatal, dan rombongan pertama Hellcat mencegat serangan itu masih pada jarak 70 mil (110 km) pada pukul 10:36. Kelompok lain segera bergabung. Hanya dalam beberapa menit, 25 pesawat Jepang ditembak jatuh, dan AS lagi-lagi hanya kehilangan satu pesawat.

Pesawat Jepang yang lolos dicegat oleh pesawat tempur lain, dan 16 lagi ditembak jatuh. Dari 27 yang tersisa, beberapa berusaha menyerang kapal perusak USS Yarnall dan USS Stockham tetapi hasilnya nihil. Antara 3-6 pembom menerobos deretan kapal tempur Lee dan salah satunya berhasil menjatuhkan bom ke geladak USS South Dakota, dan mencederai atau menewaskan 50 orang, tetapi gagal melumpuhkannya; USS South Dakota adalah satu-satunya kapal Amerika yang rusak dalam serangan ini. Tak satupun pesawat Ozawa dalam gelombang pertama ini yang mencapai kapal induk AS.

 
USS Bunker Hill nyaris terkena bom Jepang dalam serangan udara 19 Juni 1944.

Pukul 11:07, radar meangkap serangan yang lebih besar. Gelombang kedua ini berisi 107 pesawat. Mereka dicegat saat masih berjarak 60 mil (97 km), dan setidaknya 70 pesawat ditembak jatuh sebelum mencapai armada AS. Enam pesawat menyerang regu Montgomery, nyaris mengenai dua kapal induk dan memakan korban di keduanya. Empat dari enam pesawat itu ditembak jatuh. Sekelompok kecil pembom torpedo menyerang Enterprise, dan satu torpedo meledak terkena ombak dari kapal itu. Tiga pembom torpedo lainnya menyerang kapal induk ringan Princeton tetapi semuanya ditembak jatuh. Total 97 dari 107 pesawat penyerang berhasil dihancurkan.

Gelombang ketiga berisi 47 pesawat, datang dari utara. Mereka dicegat 40 pesawat tempur pukul 13:00, pada jarak 50 mil (80 km) dari gugus tugas. Tujuh pesawat Jepang ditembak jatuh. Beberapa berhasil lolos dan melancarkan serangan yang gagal terhadap regu Enterprise. Yang lain melarikan diri. Karena itu serangan ini tidak banyak memakan korban, dan 40 pesawat Jepang berhasil kembali ke kapal induk.

Serangan Jepang keempat diluncurkan antara pukul 11:00 dan 11:30, tetapi para pilot mendapat informasi posisi armada AS yang salah, dan tidak ketemu. Mereka berpencar menjadi dua ke arah Guam dan Rota untuk mengisi bahan bakar. Kelompok yang terbang ke Rota menemukan regu Montgomery. 18 pesawat bertempur melawan pesawat tempur Amerika dan kehilangan separuh jumlahnya. 9 pembom tukik Jepang lolos dan menyerang USS Wasp dan USS Bunker Hill, tetapi gagal. Delapan diantaranya malah ditembak jatuh. Kelompok lebih besar yang pergi ke Guam dicegat di atas pangkalan Orote oleh 27 Hellcat saat akan mendarat. 30 dari 49 pesawat Jepang ditembak jatuh, dan sisanya rusak berat. Setelah itu di atas Lexington, seorang pilot berujar "Wah, ini seperti menembaki kalkun di kampung dulu!"[1]

Ditambah pembantaian udara di atas pangkalan Orote, total ada lebih dari 350 pesawat Jepang yang hancur pada hari pertama saja. Korban di pihak AS relatif ringan, hanya kehilangan sekitar 30 pesawat. Kerusakan kapal juga sedikit, bahkan South Dakota yang rusak masih bertahan dalam formasi dan meneruskan tugas pertahanan udaranya.

Pilot Jepang yang berhasil menghindar pesawat tempur AS umumya adalah veteran berpengalaman yang pernah bertempur di Midway dan Guadalcanal.

Serangan kapal selam

sunting

Sepanjang hari, pesawat intai Amerika Serikat gagal menemukan armada Jepang. Namun, dua kapal selam AS sudah lebih dahulu menemukan kapal induk Ozawa di pagi harinya, dan akan memberikan bantuan besar bagi Gugus Tugas Kapal Induk Cepat.

 
Japanese aircraft carrier Taihō

Pukl 08:16 kapal selam USS Albacore, yang sudah menemukan regu kapal induk Ozawa, memasang posisi menyerang; Mayor Laut James W. Blanchard memilih yang paling dekat, tak lain dan tak bukan adalah Taihō, kapal induk Jepang yang terbesar dan terbaru, juga sebagai kapal komando Ozawa. Saat Albacore akan menembak, komputer pembidiknya rusak, dan terpaksalah torpedonya diluncurkan "dengan mata". Berniat tetap menyerang, Blanchard memerintahkan keenam torpedo ditembak menyebar untuk memperbesar kemungkinan kena sasaran.

 
USS Albacore

Taihō baru saja meluncurkan 42 pesawat sebagai gelombang serangan kedua saat Albacore menembakkan torpedonya. Dari enam torpedo, empat melenceng; Sakio Komatsu, pilot salah satu pesawat yang lepas landas, melihat satu torpedo yang mengarah ke Taihō dan menukik ke arah torpedo itu, sehingga meledak lebih awal. Tetapi torpedo keenam berhasil menghantam sisi kanan, merobek dua tangki bahan bakar pesawat. Setelah diserang bom laut dari kapal perusak pengawal, Albacore berhasil lolos hanya dengan kerusakan kecil.

Awalnya, kerusakan Taihō tampak ringan; air yang membanjir bisa dibendung dengan cepat, sementara mesin dan kemudi tidak terpengaruh. Taihō tetap bertugas seperti biasa; tetapi, uap bensin dari tangki bahan bakar yang robek mulai memenuhi dek hangar dan mulai membahayakan kapal.

Kapal selam lain, USS Cavalla, mampu bermanuver menuju posisi menyerang menghadapi kapal induk Shōkaku (25.675 ton) sekitar tengah hari. Kapal selam itu menembakkan enam torpedo, tiga diantaranya menghajar sisi kanan Shōkaku.[2]:329–331Kapal itu rusak parah dan mogok. Satu torpedo menghantam tangki bahan bakar pesawat di bagian depan, dekat hangar utama, dan pesawat yang baru mendarat dan mengisi bahan bakar ikut meledak. Bom, amunisi, selang bahan bakar yang sobek ikut meledak dan terbakar. Saat lunasnya mulai miring dan kebakaran tidak terkendali, kapten memerintahkan meninggalkan kapal. Dalam beberapa menit kapal itu hancur. Uap bensin yang mudah terbakar sudah memenuhi kapal, dan ketika sebuah bom meledak di dek hangar, serentetan ledakan mengerikan memecahkan kapal itu sekitar 140 mil (230 km) sebelah utara pulau Yap. Kapal itu terguling dan tenggelam bersama 887 awak dan perwira AL ditambah 376 awak Wing Udara 601, total 1.263 orang, ke dasar laut. Ada 570 orang yang selamat, termasuk komandannya, Kapten Hiroshi Matsubara. Kapal perusak Urakaze dengan sia-sia berusaha menghancurkan Cavalla, tetapi kapal selam itu lolos hanya dengan kerusakan kecil dari bom laut.[2]:330

Sementara itu, Taihō menjadi korban pengendalian kerusakan yang buruk. Dengan maksud membuang uap yang mudah terbakar, seorang perwira pengendalian kerusakan yang belum berpengalaman memerintahkan menyalakan ventilasi dengan kekuatan penuh. Akibatnya, uap tersebut malah tersebar ke seluruh Taihō. Sekitar pukul 14:30, korsleting di salah satu generator dek hangar menyulut uap yang terkumpul, dan memicu serangkaian ledakan hebat. Saat ledakan pertama, sudah jelas bahwa Taihō akan berakhir, dan Ozawa beserta perwiranya dipindahkan keZuikaku.[2]:332 Tak lama kemudian, Taihō diguncang rentetan ledakan kedua dan tenggelam. Dari 2.150 orang awak, 1.650 tewas.

Serangan balik AS

sunting
 
Divisi III Kapal Induk Jepang tengah diserang pesawat Angkatan Laut AS dari Gugus Tugas 58, sore hari tanggal 20 Juni 1944. Penjelajah berat yang sedang berputar di sebelah kanan, paling dekat kamera, mungkin Maya atau Chōkai. Di belakangnya adalah kapal induk ringan Chiyoda.

Task Force 58 berlayar ke barat malam harinya untuk menyerang Jepang saat fajar. Patroli pencari langsung diterbangkan begitu fajar menyingsing.

Laksamana Ozawa sudah pindah ke kapal perusak Wakatsuki setelah Taihō tertembak, tetapi radio di kapal itu tidak mampu mengirim pesan sebanyak yang dibutuhkan, jadi ia pindah lagi ke kapal induk Zuikaku, pukul 13:00. Baru setelah itu ia mengetahui kekalahan telak kemarin dan sekarang ia tinggal punya sekitar 150 pesawat. Toh ia memutuskan tetap melanjutkan serangan, karena mengira masih ada ratusan pesawat di Guam dan Rota, dan merencanakan serangan baru untuk tanggal 21 Juni.

Masalah utama Gugus Tugas 58 adalah mencari operasi musuh, yang beroperasi dalam jarak saling berjauhan. Pencarian di pagi buta tanggal 20 Juni hasilnya nihil. Pilot Hellcat ikut menambah lembur patroli di tengah hari, juga nihil. Akhirnya pukul 15:12 ada pesan berantakan dari pesawat pencari Enterprise menyatakan musuh terlihat. Pukul 15:40 pengelihatan dipastikan, lengkap dengan jarak, arah dan kecepatan. Armada Jepang berjarak 275 mil, bergerak ke barat dengan kecepatan 20 knot. Jepang berada pada batas jangkauan serangan Gugus Tugas 58, dan hari sudah sore. Mitscher memutuskan serangan besar-besaran. Baru setelah regu pertama terbang, pesan ketiga datang, dan ternyata jarak armada Jepang 60 mil lebih jauh dari laporan sebelumnya. Bahan bakar regu pertama pas-pasan, dan kalau mendarat sudah pasti di malam hari. Mitscher membatalkan keberangkatan regu kedua, tetapi yang pertama tidak dipanggil kembali. Dari 240 pesawat yang diberangkatkan, 14 batal karena berbagai sebab dan kembali ke kapal; 226 pesawat yang berangkat terdiri dari 95 pesawat tempur Hellcat (beberapa diantaranya membawa bom 500 pound), 54 pembom torpedo Avenger (hanya beberapa yang membawa torpedo, sisanya bom 500 pound) dan 76 pembom tukik (51 Helldiver dan 26 Dauntless). Pilot Gugus Tugas 58 menjumpai armada Jepang tepat sebelum matahari terbenam.

Jumlah pesawat tempur yang diluncurkan Ozawa sudah bagus untuk ukuran tahun 1942, tetapi pada tahun 1944 sekitar 35 pesawat tempur yang ada untuk mencegat serangan AS jelas kewalahan menghadang hampir 230 pesawat Mitscher. Meskipun pilot-pilotnya terampil dan ditambah gencarnya tembakan senjata anti pesawat Jepang, pesawat AS berhasil menerobos untuk menyerang.

Kapal pertama yang dilihat pilot AS adalah kapal bahan bakar, 30 mil di depan regu kapal induk. Regu penyerang dari Wasp, yang lebih kuatir soal bahan bakar yang sudah mepet daripada mencari kapal induk atau kapal tempur Jepang yang lebih penting, menyerang kapal tanker itu. Dua diantaranya rusak parah sampai harus dikaramkan, sementara yang ketiga berhasil memadamkan apinya dan terus berlayar.

Kapal induk Hiyō diserang dan terkena bom dan torpedo udara dari empat Grumman TBF Avenger dari Belleau Wood. Hiyō terbakar hebat akibat ledakan bahan bakar pesawat yang bocor. Setelah terkatung-katung, ia tenggelam dari buritan terlebih dahulu, bersama 250 perwira dan awaknya. Sekitar 1000 awak yang selamat ditolong oleh kapal perusak Jepang.

Kapal induk Zuikaku, Junyō, dan Chiyoda rusak dihantam bom. Pilot Amerika mencatat kerusakan kapal induk akibat serangan mereka lebih berat dari yang sebenarnya, karena semburan air akibat ledakan bom yang mereka jatuhkan tampak seperti hantaman telak, padahal hanya meleset sedikit. Kapal tempur Haruna juga terkena dua bom, salah satunya tepat di kubah meriam utamanya. Kerusakan bisa dibendung dan ia tetap bisa berlayar, karena sang kapten dengan bijak memutuskan membanjiri ruang amunisi meriam yang terkena bom untuk mencegah ledakan.

Dua puluh pesawat Amerika dijatuhkan dalam serangan itu, baik karena pesawat tempur Jepang maupun rentetan tembakan anti pesawat yang sangat deras, meskipun tidak akurat.

Setelah serangan yang pendek tersebut, sudah jelas bahwa pesawat yang pulang nyaris kehabisan bahan bakar, dan celakanya lagi, malam sudah tiba. Pukul 20:45, pesawat yang pertama kembali ke Task Force 58. Mengingat para pilot bakal kesulitan menemukan kapal induknya, Mitscher memutuskan menyalakan semua lampu kapal induknya, termasuk lampu sorot yang dipancarkan ke atas, meskipun ada bahaya dari kapal selam maupun pesawat terbang malam. Kapal perusak juga menembakkan peluru suar ke udara untuk membantu para pilot menemukan regu tugasnya.

Pesawat diizinkan mendarat di kapal induk manapun yang tersedia, bukan hanya kapal induk asalnya, dan banyak yang begitu. Meskipun begitu mereka tetap kehilangan 80 pesawat karena jatuh di geladak, dan sebagian besar tercebur ke laut. Beberapa pilot sengaja mendarat darurat di laut bersama-sama untuk memudahkan penyelamatan. Ada yang mendarat dengan hati-hati. Kebanyakan kru-nya (sekitar sepertiganya) diangkut dari laut, baik yang dari lokasi kecelakaan, maupun dari korban-korban pada hari berikutnya, seiring para pesawat pencari dan kapal perusak terus melakukan pencarian.[N 1]

Catatan

sunting
  1. ^ Angkatan Laut Amerika Serikat dengan senangnya memberikan hadiah karena sudah mengembalikan para pilot mereka berupa beberapa galon es krim.(Stark, Norman (2002-09-17). "My True Worth – 10 Gallons of Ice Cream". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-11-20. Diakses tanggal 2015-08-26. ) (John, Philip (2004). USS Hancock CV/CVA-19 Fighting Hannah. Turner Publishing Company. hlm. 122. ISBN 1-56311-420-8. )

Referensi

sunting
  1. ^ Navy: An Illustrated History: The U.S. Navy from 1775 to the 21st Century. Chester G. Hearn. Page 80.
  2. ^ a b c Roscoe, T., 1949, Pig Boats, New York: Bantam Books, ISBN 0553130404

Pranala luar

sunting