Lompat ke isi

Teh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Daun teh)
Teh
JenisInfusi, hot beverage (en) Terjemahkan, stimulant foodstuff (en) Terjemahkan, tea (en) Terjemahkan dan minuman tak beralkohol Edit nilai pada Wikidata
KomposisiTannin, air dan kafeina Edit nilai pada Wikidata
Penyiapanseduh dan direbus hingga mendidih Edit nilai pada Wikidata
Bagian dariSuutei tsai Edit nilai pada Wikidata
Daun teh di dalam mangkuk teh gaiwan
Tanaman teh
Perkebunan teh di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor

Teh (bahasa Inggris: tea, bahasa Belanda: thee) (Hanzi: ; Pinyin: chá; Pe̍h-ōe-jī: ) adalah minuman yang mengandung kafeina, sebuah infusi yang dibuat dengan cara menyeduh daun, pucuk daun, atau tangkai daun yang dikeringkan dari tanaman Camellia sinensis dengan air panas.[1] Teh yang berasal dari tanaman teh dibagi menjadi empat kelompok: teh hitam, teh oolong, teh hijau, dan teh putih.

Istilah "teh" juga digunakan untuk minuman yang dibuat dari buah, rempah-rempah atau tanaman obat lain yang diseduh, misalnya teh rosehip, camomile, krisan, dan jiaogulan. Teh yang tidak mengandung daun teh disebut teh herbal.

Teh merupakan sumber alami kafeina, teofilin, dan antioksidan dengan kadar lemak, karbohidrat atau protein mendekati nol persen. Cita rasa agak pahit dari teh merupakan kenikmatan tersendiri dari teh.

Teh bunga dengan campuran kuncup bunga melati yang disebut teh melati atau teh wangi melati merupakan jenis teh yang paling populer di Indonesia.[2] Konsumsi teh di Indonesia sebesar 0,8 kilogram per kapita per tahun, masih jauh di bawah negara-negara lain di dunia, walaupun Indonesia merupakan negara penghasil teh terbesar nomor lima di dunia.[3]

Negeri Tiongkok adalah tempat lahir teh. Di sanalah pohon teh Tiongkok (Camellia sinensis) ditemukan dan berasal, tepatnya di provinsi Yunnan, bagian barat daya Tiongkok. Iklim Yunnan yang tropis dan subtropis, yaitu hangat dan lembap menjadi tempat yang sangat cocok bagi tanaman teh. Yunnan memiliki banyak hutan purba, bahkan ada tanaman teh liar yang berumur 2.700 tahun. Selebihnya tanaman teh yang ditanam yang mencapai usia 800 tahun juga ditemukan di tempat ini.

Sebuah legenda, salah satu bentuk dokumentasi yang paling tua, menceritakan bahwa Shennong yang menjadi cikal bakal pertanian dan ramuan obat-obatan, juga yang menjadi penemu teh. Dikatakan dalam bukunya bahwa dia secara langsung mencoba banyak ramuan herbal dan menggunakan teh sebagai obat pemunah bila ia terkena racun dari ramuan yang dicoba. Hidupnya berakhir karena ia meminum ramuan yang beracun dan tidak sempat meminum teh pemunah racun menyebabkan organ dalam tubuhnya meradang.

Teh Cina pada awalnya memang digunakan untuk bahan obat-obatan (abad ke-8 SM). Orang-orang Tiongkok pada waktu itu mengunyah teh (770 SM–476 SM) mereka menikmati rasa yang menyenangkan dari sari daun teh. Teh juga sering kali dipadukan dengan ragam jenis makanan dan racikan sup.

Pada zaman pemerintahan Dinasti Han (221 SM–8 M), teh mulai diolah dengan pemrosesan yang terbilang sederhana (dibentuk membulat, dikeringkan, dan disimpan) dan dijadikan sebagai minuman dengan cara diseduh dan dikombinasikan dengan ramuan lain (misalnya jahe) dan kebiasaan ini melekat kuat dengan kebudayaan masyarakat Tiongkok. Lebih jauh lagi, teh digunakan sebagai tradisi dalam menjamu para tamu. Setelah zaman Dinasti Ming, banyak ragam jenis teh kemudian ditemukan dan ditambahkan. Teh yang populer nantinya ini banyak dikembangkan di daerah Kanton (Guangdong) dan Fukien (Fujian).

Kebiasaan minum teh pun menyebar, bahkan melekat erat pada setiap lapisan masyarakat. Pada tahun 800 M, Lu Yu menulis buku berjudul Ch'a Ching yang mendefinisikan tentang teh. Lu Yu adalah seorang anak yatim yang dibesarkan oleh cendekiawan Pendeta Buddha di salah satu biara terbaik di Tiongkok. Sebagai seorang pemuda, dia acap kali melawan disiplin pendidikan kependetaan yang kemudian membuatnya memiliki daya pengamatan yang baik, performasinya pun meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, dia merasa hidupnya hampa dan tidak bermakna.

Setelah setengah perjalan hidupnya, dia pensiun selama 5 tahun untuk mengasingkan diri. Dengan riwayat hidup dan perjalanan yang pernah disinggahinya, dia merekam beragam metode dalam bertanam dan mengelola teh ala Tiongkok Purba.

Perjalanan teh ke Jepang

[sunting | sunting sumber]

Di Jepang, konsumsi teh menyebar melalui kebudayaan Tiongkok yang akhirnya menjangkau setiap aspek masyarakat. Bibit teh dibawa ke Jepang oleh seorang pendeta Buddha bernama Yeisei yang melihat bahwa teh Cina mampu meningkatkan konsentrasi saat bermeditasi. Dia dikenal sebagai bapak teh di Jepang, karena muasal inilah, teh Jepang erat kaitannya dengan Zen Buddhisme. Teh diminati pula dalam kekaisaran Jepang, yang kemudian menyebar dengan cepat di kalangan istana dam masyarakat Jepang. Teh bahkan menjadi budaya dan bagian dari seni yang dituangkan dalam upacara teh Jepang (Cha-no-yu atau air panas untuk teh). Upacara ini membutuhkan latihan yang panjang, bahkan hingga bertahun-tahun. Ritual cha-no-yu adalah menjunjung tinggi kesempurnaan, kesopanan, pesona, dan keanggunan.

Perjalanan teh ke Barat

[sunting | sunting sumber]

Budaya mengonsumsi teh yang sudah dilakukan di Tiongkok dan Jepang ternyata menjadi buah bibir di Eropa. Kelompok kafilah bahkan mendengar bagaimana orang-orang mengonsumsi teh dan mendapatkan informasi yang samar. Lucunya, mereka mendengar bahwa teh diseduh, digarami, diberi mentega, dan kemudian dimakan. Orang Eropa yang secara personal menemukan teh dan kemudian menulis tentangnya adalah biarawan Yesuit Jasper de Cruz pada tahun 1560.

Portugis menjalin hubungan dagang dengan Tiongkok, mengembangkan jalur dagang dengan mengapalkan teh ke Lisbon dan kemudian kapal-kapal Belanda berangkat ke Prancis, Belanda, dan negara-negara Baltik. Teh kemudian makin populer di dunia Barat.

Teh singgah di Eropa pada zaman Elizabeth I dan kemudian menjadi tren dalam masyarakat Belanda. Teh menjadi minuman yang mahal pada waktu itu (lebih dari $100 per pon), sehingga para pedagang teh mendapatkan kemakmuran darinya. Masyarakat Belanda sangat menggemari teh dan konsumsi teh pun meningkat pesat, meskipun demikian banyak yang mempertanyakan manfaat teh dan berbagai dampak negatif lainnya. Apa pun itu, masyarakat pada umunya tidak lagi mempermasalahkan atau terpengaruh dan kembali menikmatinya. Teh menjadi bagian dari masyarakat di Eropa dan ragam kombinasi konsumsi teh pun dicoba, seperti mencampurkannya dengan susu. Pada masa itu pun, teh disajikan pertama kali di restoran. Kedai minuman pun memberikan perkakas teh portabel lengkap disertai alat pemanasnya.

Teh pun sangat populer di Prancis, tetapi tidak berlangsung lama (kurang lebih 15 tahun), dan kemudian digantikan popularitasnya dengan minuman yang memiliki daya tarik yang lebih kuat seperti anggur, kopi, dan coklat.

Pada tahun 1650, orang-orang Belanda sangat aktif dalam perdagangan sampai pada dunia Barat. Peter Stuyvesant yang membawa teh Cina ke Amerika pertama kali untuk koloninya (kini New York).

Pengenalan teh ke Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Teh dikenalkankan lewat masuknya biji tanaman teh (camellia sinensis) dari Jepang oleh orang Jerman, Andreas Cleyer pada 1664 dan ditanam sebagai tanaman hias di Jakarta. Teh baru mendapatkan perhatian pemerintah kolonial pada tahun 1728 dengan mendatangkan biji teh dari Tiongkok dalam jumlah banyak, meskipun kurang berhasil usahanya. Hingga pda 1827, teh dibudidayakan dalam skala besar di Kebun Percobaan Cisurupan (Garut) dan Wanayasa (Purwakarta), Jawa Barat. [4]

Tertarik dengan keberjasilan perdagangan teh dari Tiongkok, Jepang, dan Taiwan di pasar Eropa, pemerintal kolonial Belanda mengirimkan Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson untuk belajar pengolahan teh di Tiongkok. Ahli dan pakar penguji teh dari Nederlandsche Handel Maatschappij dan 15 orang Tionghoa Makau sebagai buruh perkebunan yang direncanakan. Wilayah Priangan tengah dipilih menjadi perkebunan teh. Hingga pada 1835 [4]

Selanjutnya, teh mulai berkembang di Jawa. Setelah itu Camellia sinensis var. assamica (Masters) tipe Chang dibawa oleh Rudolf Edward Kerkhoven pada 1877 ke Jawa dari Sri Lanka (Ceylon) dan ditanam di Gambung, bagian selatan Kabupaten Bandung, Jawa Barat (sekarang menjadi Pusat Penelitian Teh dan Kina Indonesia) (Sriyadi et al., 2012[5]).

Pengolahan dan pengelompokan

[sunting | sunting sumber]

Setelah dipetik, daun teh segera layu dan mengalami oksidasi kalau tidak segera dikeringkan. Proses pengeringan membuat daun menjadi berwarna gelap, karena terjadi pemecahan klorofil dan terlepasnya unsur tanin. Proses selanjutnya berupa pemanasan basah dengan uap panas agar kandungan air pada daun menguap dan proses oksidasi bisa dihentikan pada tahap yang sudah ditentukan.

Pengolahan daun teh sering disebut sebagai fermentasi, walaupun sebenarnya penggunaan istilah ini tidak tepat. Pemrosesan teh tidak menggunakan ragi dan tidak ada etanol yang dihasilkan seperti layaknya proses fermentasi yang sebenarnya. Pengolahan teh yang tidak benar memang bisa menyebabkan teh ditumbuhi jamur yang mengakibatkan terjadinya proses fermentasi. Teh yang sudah mengalami fermentasi dengan jamur harus dibuang, karena mengandung unsur racun dan unsur bersifat karsinogenik.

Berikut ini pengelompokan teh berdasarkan tingkat oksidasi:

Teh putih
Teh yang dibuat dari pucuk daun yang tidak mengalami proses oksidasi dan sewaktu belum dipetik dilindungi dari sinar matahari untuk menghalangi pembentukan klorofil. Teh putih diproduksi dalam jumlah lebih sedikit dibandingkan teh jenis lain sehingga harga menjadi lebih mahal. Teh putih kurang terkenal di luar Tiongkok, walaupun secara perlahan-lahan teh putih dalam kemasan teh celup juga mulai populer.
Teh hijau
Daun teh yang dijadikan teh hijau biasanya langsung diproses setelah dipetik. Setelah daun mengalami oksidasi dalam jumlah minimal, proses oksidasi dihentikan dengan pemanasan (cara tradisional Jepang dengan menggunakan uap atau cara tradisional Tiongkok dengan menggongseng di atas wajan panas). Teh yang sudah dikeringkan bisa dijual dalam bentuk lembaran daun teh atau digulung rapat berbentuk seperti bola-bola kecil (teh yang disebut gun powder).
Oolong
Proses oksidasi dihentikan di tengah-tengah antara teh hijau dan teh hitam yang biasanya memakan waktu 2–3 hari.
Teh hitam
Daun teh dibiarkan teroksidasi secara penuh sekitar 2 minggu hingga 1 bulan. Teh hitam merupakan jenis teh yang paling umum di Asia Selatan (India, Sri Lanka, Bangladesh) dan sebagian besar negara-negara di Afrika seperti Kenya, Burundi, Rwanda, Malawi, dan Zimbabwe. Terjemahan harafiah dari aksara Hanzi untuk teh bahasa Tionghoa (红茶) atau (紅茶) dalam bahasa Jepang adalah teh merah karena air teh sebenarnya berwarna merah. Barat menyebutnya teh hitam karena daun teh berwarna hitam. Di Afrika Selatan, teh merah adalah sebutan untuk teh rooibos yang termasuk golongan teh herbal. Teh hitam masih dibagi menjadi dua jenis: ortodoks (teh diolah dengan metode pengolahan tradisional) atau CTC (metode produksi teh crush, tear, curl yang berkembang sejak tahun 1932). Teh hitam yang belum diramu (unblended) dikelompokkan berdasarkan asal perkebunan, tahun produksi, dan periode pemetikan (awal musim semi, pemetikan kedua, atau musim gugur). Teh jenis ortodoks dan CTS masih dibagi-bagi lagi menurut kualitas daun pascaproduksi sesuai standar Orange Pekoe.
Pu-erh (Póu léi dalam bahasa Kantonis)
Teh pu-erh terdiri dari dua jenis: mentah dan matang. Teh pu-erh mentah bisa langsung digunakan untuk dibuat teh atau disimpan beberapa waktu hingga matang. Selama penyimpanan, teh pu-erh mengalami oksidasi mikrobiologi tahap kedua. Teh pu-erh matang dibuat dari daun teh yang mengalami oksidasi secara artifisial supaya menyerupai rasa teh pu-erh mentah yang telah lama disimpan dan mengalami proses penuaan alami. Teh pu-erh matang dibuat dengan mengontrol kelembapan dan temperatur daun teh mirip dengan proses pengomposan. Teh pu-erh biasanya dijual dalam bentuk padat setelah dipres menjadi seperti batu bata, piring kecil, atau mangkuk. Teh pu-erh dipres agar proses oksidasi tahap kedua bisa berjalan, karena teh pu-erh yang tidak dipres tidak akan mengalami proses pematangan. Makin lama disimpan, aroma teh pu-erh menjadi makin enak. Teh pu-erh mentah kadang-kadang disimpan sampai 30 tahun bahkan 50 tahun supaya matang. Pakar bidang teh dan penggemar teh belum menemui kesepakatan soal lama penyimpanan yang dianggap optimal. Penyimpanan selama 10 hingga 15 tahun sering dianggap cukup, walaupun teh pu-erh bisa saja diminum setelah disimpan kurang dari setahun. Minuman teh pu-erh dibuat dengan merebus daun teh pu-erh di dalam air mendidih sering kali hingga 5 menit. Orang Tibet mempunyai kebiasaan minum teh pu-erh yang dicampur dengan mentega dari lemak yak, gula, dan garam.

Teh juga sering dikaitkan dengan kegunaannya untuk kesehatan. Teh hijau dan teh pu-erh sering digunakan untuk diet. Orang juga sering menghubung-hubungkan teh dengan keseimbangan yin yang. Teh hijau cenderung yin, teh hitam cenderung yang, sedangkan teh oolong dianggap seimbang. Teh pu-erh yang berwarna cokelat dianggap mengandung energi yang dan sering dicampur bunga seruni yang memiliki energi yin agar seimbang.

Ramuan teh

[sunting | sunting sumber]

Sebagian besar merek teh yang dijual di pasaran merupakan hasil ramuan ahli teh yang membuat campuran (blend) yang unik untuk merek tersebut dari berbagai daun teh yang berbeda. Rasa enak dari teh berkualitas tinggi dan berharga mahal biasanya bisa menutupi rasa teh yang berkualitas rendah, sehingga kualitas teh bisa meningkat dan dapat dijual dengan harga yang lebih pantas. Teh hasil ramuan juga menjaga agar rasa teh yang dimiliki merek tertentu tetap stabil sepanjang masa.

Teh melati dibuat dengan mencampur kuncup melati yang siap mekar. Sebelum dicampur dengan kuncup melati, daun teh mengalami proses pelembapan agar harum melati dapat menempel pada daun teh.

Komposisi

[sunting | sunting sumber]

Teh mengandung sejenis antioksidan yang bernama katekin. Pada daun teh segar, kadar katekin bisa mencapai 30% dari berat kering. Teh hijau dan teh putih mengandung katekin yang tinggi, sedangkan teh hitam mengandung lebih sedikit katekin karena katekin hilang dalam proses oksidasi. Teh juga mengandung kafeina (sekitar 3% dari berat kering atau sekitar 40 mg per cangkir), teofilin, dan teobromin dalam jumlah sedikit.[6]

Teh dalam berbagai bahasa

[sunting | sunting sumber]
Rumah teh di Melaka, Malaysia.

Aksara Hanzi untuk teh adalah 茶, tetapi diucapkan berbeda-beda dalam berbagai dialek bahasa Tionghoa. Penutur bahasa Hokkien asal Xiamen menyebutnya sebagai te, sedangkan penutur bahasa Kantonis di Guangzhou dan Hong Kong menyebutnya sebagai cha. Penutur dialek Wu di Shanghai dan sekitarnya menyebutnya sebagai zoo.

Berikut ini istilah-istilah teh: bahasa Afrikaans (tee), bahasa Armenia, bahasa Katalan (te), bahasa Denmark (te), bahasa Belanda (thee), bahasa Inggris (tea), bahasa Esperanto (teo), bahasa Estonia (tee), bahasa Faroe (te), bahasa Finlandia (tee), bahasa Prancis (thé), bahasa Frisia (tee), bahasa Galicia (), bahasa Jerman (Tee), bahasa Indonesia(teh), bahasa Ibrani (תה, /te/ atau /tei/), bahasa Hungaria (tea), bahasa Islandia (te), bahasa Irlandia (tae), bahasa Italia (), bahasa Latin (thea), bahasa Latvia (tēja), bahasa Melayu (teh), bahasa Norwegia (te), bahasa Polandia (herbata dari bahasa Latin herba thea), bahasa Gaelik-Skotlandia (, teatha), bahasa Sinhala, bahasa Spanyol (), bahasa Swedia (te), bahasa Tamil (thè), bahasa Wales (te), dan bahasa Yiddish (טיי, /tei/).

Bahasa yang menyebut "teh" mengikuti sebutan cha atau chai: bahasa Albania (çaj), bahasa Arab (شَاي), bahasa Bengali (চা), bahasa Bosnia (čaj), bahasa Bulgaria (чай), bahasa Kapampangan (cha), bahasa Cebuano (tsa), bahasa Kroasia (čaj), Bahasa Ceko (čaj), bahasa Yunani (τσάι), bahasa Hindi (चाय), bahasa Inggris Britania (char, chai, sudah jarang dipakai)*, bahasa Jepang (茶, ちゃ, cha), bahasa Korea (차), bahasa Makedonia (čaj), bahasa Malayalam, bahasa Nepal (chai), bahasa Persia (چاى), bahasa Punjabi (ਚਾਹ), bahasa Portugis (chá), bahasa Rumania (ceai), bahasa Rusia, (чай, chai), bahasa Serbia (чај), bahasa Slowakia (čaj), bahasa Slovenia (čaj), bahasa Swahili (chai), bahasa Tagalog (tsaa), bahasa Thai (ชา), bahasa Tibet (ja), bahasa Turki (çay), Bahasa Ukraina (чай), bahasa Urdu (چاى), dan bahasa Vietnam (trà atau chè).

Teh celup
Teh celup
Teh dikemas dalam kantong kecil yang biasanya dibuat dari kertas dengan tali. Teh celup sangat populer karena praktis untuk membuat teh, tetapi pencinta teh kelas berat biasanya tidak menyukai rasa teh celup.
Teh saring
Teh dikemas dalam kantong kecil yang biasanya dibuat dari kertas tanpa tali. Teh saring sangat populer karena praktis untuk membuat teh dalam kuantitas banyak dan menghasilkan lebih pekat dibandingkan teh celup.
Teh seduh (daun teh)
Teh dikemas dalam kaleng atau dibungkus dengan pembungkus dari plastik atau kertas. Takaran teh dapat diatur sesuai dengan selera dan sering dianggap tidak praktis. Saringan teh dipakai agar teh yang mengambang tidak ikut terminum. Selain itu, teh juga bisa dimasukkan dalam kantong teh sebelum diseduh. Mangkuk teh bertutup asal Tiongkok yang disebut gaiwan dapat digunakan untuk menyaring daun teh sewaktu menuang teh ke mangkuk teh yang lain.
Teh yang dipres
Teh dipres agar padat untuk keperluan penyimpanan dan pematangan. Teh pu erh dijual dalam bentuk padat dan diambil sedikit demi sedikit sewaktu mau diminum. Teh yang sudah dipres mempunyai masa simpan yang lebih lama dibandingkan daun teh biasa.
Teh stik
Teh dikemas di dalam stik dari lembaran aluminium tipis yang mempunyai lubang-lubang kecil yang berfungsi sebagai saringan teh.
Teh instan
Teh berbentuk bubuk yang tinggal dilarutkan dalam air panas atau air dingin. Pertama kali diciptakan pada tahun 1930-an tetapi tidak diproduksi hingga akhir tahun 1950-an. Teh instan ada yang mempunyai rasa vanila, madu, buah-buahan, atau dicampur susu bubuk.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ antaranews.com. "Asal mula munculnya istilah "teh"". Antara News. Diakses tanggal 2023-11-13. 
  2. ^ "Minum Teh Juga Memiliki Manfaat Kesehatan". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-12. Diakses tanggal 29 November 2008. 
  3. ^ "4. Sugar and beverages". FAO. Diakses tanggal 29 November 2008. Major producers are: India, which accounts for about 29 percent of global production; China, 23 percent; Sri Lanka, 9 percent; Kenya, 8 percent; and Indonesia, 6 percent. 
  4. ^ a b Setiawati, Ita (1991). Teh: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media. 
  5. ^ Sriyadi, B., R. Suprihatini, and H.S. Khomaeni. 2012. The development of high yielding tea clones to Increase Indonesian Tea Production. In: Chen, L., Z. Apostolides, and Z. Chen (Eds.). Global Tea Breeding: Achievements, Challenges, and Prespectives. Zhejiang University Press, p: 299–307.
  6. ^ Graham H. N.; Green tea composition, consumption, and polyphenol chemistry; Preventive Medicine 21(3):334-50 (1992).

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Jana Arcimovičová, Pavel Valíček (1998): Vůně čaje, Start Benešov. ISBN 80-902005-9-1 (in Czech)
  • T. Yamamoto, M Kim, L R Juneja (editors): Chemistry and Applications of Green Tea, CRC Press, ISBN 0-8493-4006-3
  • Lu Yu (陆羽): Cha Jing (茶经) (The classical book on tea). References are to Czech translation of modern-day editon (1987) by Olga Lomová (translator): Kniha o čaji. Spolek milců čaje, Praha, 2002. (in Czech)
  • John C. Evans (1992): Tea in China: The History of China's National Drink,Greenwood Press. ISBN 0-313-28049-5
  • Kit Chow, Ione Kramer (1990): All the Tea in China, China Books & Periodicals Inc. ISBN 0-8351-2194-1 References are to Czech translation by Michal Synek (1998): Všechny čaje Číny, DharmaGaia Praha. ISBN 80-85905-48-5
  • Stephan Reimertz (1998): Vom Genuß des Tees: Eine eine heitere Reise durch alte Landschaften, ehrwürdige Traditionen und moderne Verhältnisse, inklusive einer kleinen Teeschule (In German)
  • Jane Pettigrew (2002), A Social History of Tea
  • Roy Moxham (2003), Tea: Addiction, Exploitation, and Empire

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]