Lompat ke isi

Pemanasan global

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perbandingan suhu permukaan rata-rata selama periode 2011 sampai 2021 dengan suhu rata-rata dari 1956 sampai 1976.

Pemanasan global (bahasa Inggris: global warming; juga disebut perubahan iklim atau krisis iklim[1]) adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata udara, atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Periode perubahan iklim juga pernah terjadi di masa lalu, namun perubahan iklim yang terjadi pada saat ini jauh lebih cepat dan bukanlah dikarenakan oleh sebab-sebab alamiah.[2] Penyebab utama yang menimbulkan pemanasan iklim pada saat ini ialah pencemaran gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2) dan metana. Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, bensin, dan solar untuk produksi energi ialah pemasok terbesar dari pencemaran ini. Beberapa faktor tambahan lainnya ialah seperti sejumlah praktik pertanian tertentu, proses industri, dan penggundulan hutan.[3] Karena sifatnya yang transparan, gas rumah kaca dapat ditembus oleh sinar matahari sehingga memanaskan permukaan Bumi. Namun ketika gelombang ultraviolet dari sinar matahari diserap lalu dipancarkan kembali oleh permukaan bumi menjadi radiasi inframerah, gas-gas rumah kaca tersebut menyerapnya, memerangkap panas di sekitar permukaan bumi dan menyebabkan pemanasan global.

Akibat perubahan iklim, gurun pasir meluas, sementara gelombang panas dan kebakaran liar menjadi lebih umum.[4] Peningkatan pemanasan di Kutub Utara telah berkontribusi pada mencairnya tanah es yang sebelumnya selalu membeku, mundurnya glasial, dan hilangnya es laut.[5] Suhu yang lebih tinggi juga menyebabkan badai yang lebih intens, kekeringan, dan cuaca ekstrem lainnya.[6] Perubahan lingkungan yang cepat di pegunungan, terumbu karang, dan Kutub Utara memaksa banyak spesies untuk pindah atau punah.[7] Perubahan iklim mengancam manusia dengan kelangkaan air dan makanan, peningkatan banjir, panas yang ekstrem, lebih banyak penyakit, dan kerugian ekonomi. Migrasi manusia dan konflik dapat terjadi sebagai akibatnya.[8] Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut perubahan iklim sebagai ancaman terbesar bagi kesehatan global di abad ke-21.[9] Bahkan jika upaya untuk meminimalisir pemanasan di masa depan berhasil, beberapa efek akan terus berlanjut selama berabad-abad. Ini termasuk kenaikan permukaan laut, dan lautan yang lebih hangat dan dengan pH yang lebih asam.[10]

Banyak dari dampak-dampak ini telah dirasakan pada tingkat pemanasan 1,2 °C saat ini. Peningkatan pemanasan lebih lanjut akan memperbesar dampak-dampak ini dan dapat memicu terjadinya titik kritis, seperti mencairnya lapisan es Greenland.[11] Di bawah Persetujuan Paris pada tahun 2015, negara-negara secara kolektif sepakat untuk menjaga agar pemanasan tetap "berada di bawah 2 °C". Namun, dengan komitmen yang dibuat di bawah persetujuan tersebut, pemanasan global masih akan mencapai sekitar 2,7 °C pada akhir abad ini.[12] Membatasi pemanasan hingga 1,5 °C akan membutuhkan pengurangan separuh dari tingkat emisi karbon pada tahun 2030 dan mencapai netralitas karbon pada tahun 2050.[13]

Melakukan pengurangan emisi secara signifikan akan memerlukan peralihan dari pembakaran bahan bakar fosil dan menuju penggunaan listrik yang dihasilkan dari sumber rendah karbon. Hal ini termasuk menghentikan secara bertahap pembangkit listrik tenaga batu bara, meningkatkan penggunaan angin, matahari, dan jenis energi terbarukan lainnya, serta mengambil langkah-langkah untuk mengurangi penggunaan energi. Listrik perlu menggantikan bahan bakar fosil untuk menggerakkan transportasi, memanaskan ataupun mendinginkan bangunan, dan mengoperasikan fasilitas industri.[14][15] Karbon juga dapat dihilangkan dari atmosfer, misalnya dengan meningkatkan cakupan hutan dan dengan bertani dengan metode menangkap karbon dalam tanah.[16] Meskipun umat manusia dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim melalui upaya-upaya seperti perlindungan garis pantai yang lebih baik, namun langkah-langkah tersebut tidak dapat mencegah risiko dari dampak yang parah, meluas, dan permanen.[17]

Penyebab pemanasan global

Pemaksaan radiasi (radiative forcing) dari beberapa senyawa kimia yang berkontribusi kepada peningkatan suhu rata-rata dunia menurut Laporan Penilaian Keenam IPCC.

Efek rumah kaca

Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar.

Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer Bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, metana dan dinitrogen monoksida yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.

Gas-gas rumah kaca berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Namun, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar 15 °C, bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C dari suhunya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan perubahan iklim yang sangat mengancam.

Efek umpan balik

Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembapan relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[18] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.

Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke empat.[18]

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[19] Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku abadi (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.

Peningkatan keasaman air laut disebabkan penyerapan CO2 dari atmosfer mengakibatkan pemutihan karang dan merupakan salah satu efek pemanasan global pada laut. Kemampuan lautan untuk menyerap karbon berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunnya tingkat nutrien pada zona mesopelagik sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[20]

Variasi Matahari

Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa variasi dari matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[21] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[22] yang tidak akan terjadi bila aktivitas matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an. Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[23][24]

Mengukur pemanasan global

Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa

Pada awal 1896, para ilmuwan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.

Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.

Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran suhu akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang tepercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.

Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa suhu udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 °C antara tahun 1990 dan 2100.

IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. Karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.[25]

Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan risiko populasi yang sangat besar.

Model iklim

Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.

Para ilmuwan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamika fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat.[26] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca pada masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada suatu rentang tertentu.

Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1,1 °C hingga 6,4 °C antara tahun 1990 dan 2100.[27] Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.

Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan suhu global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim.[28] Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.

Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim pada masa depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari laporan Khusus terhadap skenario emisi (Special Report on Emissions Scenarios/SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.[29][30][31]

Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini.[32] Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.

Dampak pemanasan global

Para ilmuwan menggunakan model komputer dari suhu, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuwan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.

Iklim mulai tidak stabil

Para ilmuwan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.

Daerah yang hangat akan menjadi lebih lembap karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuwan belum begitu yakin apakah kelembapan tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya Matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembapan yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini.[33] Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.

Peningkatan permukaan laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.

Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10–25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuwan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9–88 cm pada abad ke-21.

Efek rumah kaca berperan dalam meningkatkan pemanasan global. Efek rumah kaca ialah suatu kondisi ketika panas matahari terjebak di dalam atmosfer bumi dan menyebabkan suhu bumi menjadi hangat. Gas–gas di atmosfer yang dapat menangkap panas nya matahari disebut gas rumah kaca. Contoh gas rumah kaca adalah karbon dioksida, nitrogen dioksida, dan metana.[34]

Perubahan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai. Lebih dari 46 juta orang di dunia tinggal di wilayah dengan ketinggian tidak lebih dari satu meter di atas permukaan laut. Oleh karena itu, permukaan air laut akan terus meningkat apabila tidak ada kesadaran dari manusia untuk mengurangi, memperlambat, atau mengatasi jejak karbon mereka.[35]

Menurut Jurnal Nature Climate Change bahwa naiknya permukaan air laut yang ekstrim ini akan lebih sering dan meluas di seluruh dunia akibat pemanasan global. Perubahan tersebut kemungkinan besar akan terjadi lebih cepat di akhir abad ini, dan lokasi yang paling terdampak ialah orang-orang yang bermukim di negara beriklim tropis.[36]

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Everglades, Florida. Wilayah pantai terutama di daerah luar dan daerah perbatasan yang telah ditetapkan dari garis pangkal pantai, ketika kenaikan permukaan air laut terjadi, sedikit atau banyak akan mengalami pergeseran dan perubahan pada letak ketetapan perbatasannya. Oleh karena itu, hal ini memerlukan perhatian lebih agar tidak menimbulkan berbagai konflik di antara negara akibat kerancuan dalam perbatasan di laut.[37]

Kenaikan permukaan air laut yang dialami para negara pantai akan berpengaruh pada menyempitnya wilayah daratan bahkan potensi tenggelamnya pulau atau negara, terutama kepada pulau-pulau kecil. Kenaikan permukaan air laut diperkirakan oleh para peneliti akan terus meningkat terutama di akhir abad 21 ini. Fenomena naiknya permukaan air laut ini juga nantinya akan berdampak pada berkurangnya mangrove di pesisir pantai. Jika pohon mangrove ini terus berkurang, maka pantai akan semakin sering terjadi abrasi karna tidak ada penangkalnya yaitu pohon mangrove.[38]

Suhu global cenderung meningkat

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

Gangguan ekologis

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

Dampak sosial dan politik

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malagizi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malagizi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.

Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian demam berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adanya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq aedes aegypti), virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adalah organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (climate change) yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang/kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)

Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernapasan seperti asma, alergi, coccidioidomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.

Pengendalian pemanasan global

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global pada masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim pada masa depan.

Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.

Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

Menghilangkan karbon

Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.

Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.

Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, tetapi tidak melepas karbon dioksida sama sekali.

Persetujuan internasional

Kerja sama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Pada tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brasil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.

Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.

Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan emisi karbon dioksida ini. Protokol Kyoto tidak berpengaruh apabila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.

Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 miliar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 miliar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih efisien.

Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.

Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan penalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem dimana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Sindo, Koran (2019-08-14). "Gas Rumah Kaca Capai Rekor Tertinggi". today.line.me. Diakses tanggal 2022-04-14. 
  2. ^ IPCC SR15 Ch1 2018, hlm. 54
  3. ^ Our World in Data, 18 September 2020
  4. ^ IPCC SRCCL 2019, hlm. 7; IPCC SRCCL 2019, hlm. 45
  5. ^ IPCC SROCC 2019, hlm. 16
  6. ^ IPCC AR6 WG1 Ch11 2021, hlm. 1517
  7. ^ EPA (19 January 2017). "Climate Impacts on Ecosystems". Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 January 2018. Diakses tanggal 5 February 2019. Mountain and arctic ecosystems and species are particularly sensitive to climate change... As ocean temperatures warm and the acidity of the ocean increases, bleaching and coral die-offs are likely to become more frequent. 
  8. ^ Cattaneo et al. 2019; UN Environment, 25 October 2018.
  9. ^ IPCC AR5 SYR 2014, hlm. 13–16; WHO, Nov 2015: "Climate change is the greatest threat to global health in the 21st century. Health professionals have a duty of care to current and future generations. You are on the front line in protecting people from climate impacts – from more heat-waves and other extreme weather events; from outbreaks of infectious diseases such as malaria, dengue and cholera; from the effects of malnutrition; as well as treating people that are affected by cancer, respiratory, cardiovascular and other non-communicable diseases caused by environmental pollution."
  10. ^ IPCC SR15 Ch1 2018, hlm. 64
  11. ^ IPCC AR6 WG1 Technical Summary 2021, hlm. 71
  12. ^ United Nations Environment Programme 2021, hlm. 36
  13. ^ IPCC SR15 Ch2 2018, hlm. 95–96; IPCC SR15 2018, hlm. 17, SPM C.3; Rogelj et al. Riahi; Hilaire et al. 2019
  14. ^ United Nations Environment Programme 2019, hlm. xxiii, Table ES.3; Teske, ed. 2019, hlm. xxvii, Fig.5.
  15. ^ United Nations Environment Programme 2019, Table ES.3 & p. 49; NREL 2017, hlm. vi, 12
  16. ^ IPCC SRCCL Summary for Policymakers 2019, hlm. 18
  17. ^ IPCC AR5 SYR 2014, hlm. 17, SPM 3.2
  18. ^ a b Soden, Brian J. (01-11-2005). "An Assessment of Climate Feedbacks in Coupled Ocean-Atmosphere Models" (PDF). Journal of Climate. 19 (14): 3354-3360. Diakses tanggal 21-04-2007. Interestingly, the true feedback is consistently weaker than the constant relative humidity value, implying a small but robust reduction in relative humidity in all models on average" "clouds appear to provide a positive feedback in all models 
  19. ^ Stocker, Thomas F. (20-01-2001). "7.5.2 Sea Ice". Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-19. Diakses tanggal 11-02-2007. 
  20. ^ Buesseler, K.O., C.H. Lamborg, P.W. Boyd, P.J. Lam, T.W. Trull, R.R. Bidigare, J.K.B. Bishop, K.L. Casciotti, F. Dehairs, M. Elskens, M. Honda, D.M. Karl, D.A. Siegel, M.W. Silver, D.K. Steinberg, J. Valdes, B. Van Mooy, S. Wilson. (2007) "Revisiting carbon flux through the ocean's twilight zone." Science 316: 567-570.
  21. ^ Marsh, Nigel (2000). "Cosmic Rays, Clouds, and Climate" (PDF). Space Science Reviews. 94 (1-2): 215–230. doi:10.1023/A:1026723423896. ISSN 0038-6308. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2008-05-27. Diakses tanggal 17-04-2007. 
  22. ^ "Climate Change 2001:Working Group I: The Scientific Basis (Fig. 2.12)". 2001. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-02. Diakses tanggal 08-05-2007. 
  23. ^ Hegerl, Gabriele C. (07-05-2007). "Understanding and Attributing Climate Change" (PDF). Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. hlm. 690. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-05-08. Diakses tanggal 20-05-2007. Recent estimates (Figure 9.9) indicate a relatively small combined effect of natural forcings on the global mean temperature evolution of the seconds half of the 20th century, with a small net cooling from the combined effects of solar and volcanic forcings 
  24. ^ Ammann, Caspar (06-04-2007). "Solar influence on climate during the past millennium: Results from ransient simulations with the NCAR Climate Simulation Model". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 104 (10): 3713–3718. However, because of a lack of interactive ozone, the model cannot fully simulate features discussed in (44)." "While the NH temperatures of the high-scaled experiment are often colder than the lower bound from proxy data, the modeled decadal-scale NH surface temperature for the medium-scaled case falls within the uncertainty range of the available temperature reconstructions. The medium-scaled simulation also broadly reproduces the main features seen in the proxy records." "Without anthropogenic forcing, the 20th century warming is small. The simulations with only natural forcing components included yield an early 20th century peak warming of ≈0.2 °C (≈1950 AD), which is reduced to about half by the end of the century because of increased volcanism. 
  25. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-17. Diakses tanggal 2009-06-05. 
  26. ^ Hansen, James (2000). "Climatic Change: Understanding Global Warming". One World: The Health & Survival of the Human Species in the 21st Century. Health Press. Diakses tanggal 2007-08-18. 
  27. ^ "Summary for Policymakers" (PDF). Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. 05-02-2007. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2007-02-03. Diakses tanggal 02-02-2007. 
  28. ^ "Summary for Policymakers". Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. 20-01-2001]]. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-17. Diakses tanggal 28-04-2007. 
  29. ^ Torn, Margaret (26-05-2006). "Missing feedbacks, asymmetric uncertainties, and the underestimation of future warming". Geophysical Research Letters. 33 (10). L10703. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-02-28. Diakses tanggal 04-03-2007. 
  30. ^ Harte, John (30-10-2006). "Shifts in plant dominance control carbon-cycle responses to experimental warming and widespread drought". Environmental Research Letters. 1 (1). 014001. Diakses tanggal 02-05-2007. 
  31. ^ Scheffer, Marten (26-05-2006]]). "Positive feedback between global warming and atmospheric CO2 concentration inferred from past climate change" (PDF). Geophysical Research Letters. 33. doi:10.1029/2005gl025044. Diakses tanggal 04-05-2007. 
  32. ^ Stocker, Thomas F. (20-01-2001). "7.2.2 Cloud Processes and Feedbacks". Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2005-04-04. Diakses tanggal 04-03-2007. 
  33. ^ Hart, John. "Global Warming." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.
  34. ^ Ulfa, Maria. "Apa Itu Gas Rumah Kaca, Emisi Karbon & Dampaknya untuk Lingkungan". tirto.id. Diakses tanggal 2022-06-01. 
  35. ^ Winastya, Khulafa Pinta (2020-07-14). Winastya, Khulafa Pinta, ed. "Proses Terjadinya Pemanasan Global, Perlu Diketahui". Merdeka.com. Diakses tanggal 2022-06-01. 
  36. ^ "Kenaikan Air Laut Paling Parah Landa Negara Tropis Macam RI". CNN Indonesia. 2021-09-07. Diakses tanggal 2022-06-01. 
  37. ^ Karlina Rainnisa, Widya; Viana Silvino, Abilio (2020). "PENGARUH NAIKNYA PERMUKAAN AIR LAUT TERHADAP PERUBAHAN GARIS PANGKAL PANTAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM". ResearchGate. Vol.6 (No.2): 575–586. doi:10.23887/jkh.v6i2.28203. 
  38. ^ "Kenaikan Permukaan Laut Pada 2100 Lebih Buruk dari yang Diperkirakan - National Geographic". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2022-06-01. 

Pranala luar