Lompat ke isi

Kartu pers

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kartu Pers adalah kartu tanda pengenal yg diberikan kepada wartawan oleh badan resmi yg berwenang untuk itu.[1] Pers atau media massa adalah suatu lembaga sosial dan sebuah sarana untuk melakukan komunikasi massa yang melakukan beebrapa kegiatan terkait dunia jurnalisme diantaranya adalah meliputi mencari, mengolah, menyimpan, memiliki, serta menyampaikan informasi baik dalam bentuk berupa tulisan. Selain tulisan informasi yang disampaikan juga dapat berupa suara, gambar atau suara dan gambar, serta data- data, grafik ataupun hal-hal lainnya menggunakan media cetak, media elektronik. Dalam mencari, mengolah dan menyajikan sebuah informasi, tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Ada aturan- aturan dalam melakukan semua hal itu, mereka haruslah orang yang sudah terlatih karena setiap hal yang dibuat haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dalam melaksanakan tugasnya pers sudah dilindungi, dan mereka juga sudah memiliki tanda pengenal yang harus selalu mereka kenakan setiap kali mereka bertugas. Tanda pengenal pers itulah yang dikenal masyarakat awam sebagai kartu pers.

Larangan Dewan Pers

[sunting | sunting sumber]

Dewan pers selaku lembaga independen di Indonesia yang berfungsi untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia sangat selektif dalam tugasnya yang berkaitan dengan dunia kejurnalistikan terutama dalam pemberian kartu pers. Dewan Pers mulai memberikan larangan kepada semua perusahaan - perusahaan pers. Larangan tersebut yaitu perusahaan pers agar tidak sembarangan atau asal-asalan dalam mengeluarkan dan memberikan kartu pers terutama kepada yang mereka yang bukan berprofesi sebagai wartawan. Larangan tersebut bertujuan agar kartu pers tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Larangan tersebut dikeluarkan karena dimasa teknologi yang telah berkembang dengan pesat dan canggih menimbulkan berbagai hal dalam masyarakat. Kecanggihan teknologi mulai dari telpon genggam yang bisa langsung merekam, mengedit, dan mempublikasikan sebuah informasi di media sosial menyebabkan banyaknya masyarakat yang tiba-tiba menjadi wartawan dadakan atau lebih dikenal dengan istilah wartawan bodrex. Padahal tidak semua informasi itu bisa di sebarluaskan dengan sesuka hati, terutama hal hal yang menyangkut SARA karena pemerintah telah mengeluarkan Undang Undang ITE, yaitu sebuh undang-undang yang mampu membatasi setiap orang dalam mencari, mengolah, menyimpan, memiliki, serta menyampaikan informasi baik dalam bentuk berupa tulisan di media sosial.[2] Orang-orang yang mempunyai hak untuk mencari, mengolah, menyimpan, memiliki, serta menyampaikan informasi baik dalam bentuk berupa tulisan haruslah orang-orang yang sudah terlatih, mengetahui etika jurnalistik dan telah memiliki sertifikat yang berkaitan dengan semua itu, karena tidak semua orang bisa lolos untuk mendapatkan sertifikat tersebut.

Tindakan Pemalsuan Kartu Pers

[sunting | sunting sumber]

Kartu pers adalah kartu yang digunakan untuk menunjukkan bahwa orang tersebut berhak untuk meliput sebuah berita. Informasi yang merebak dimasyarakat adalah menyangkut praktik pemberian kartu pers kepada orang yang bukan wartawan, seperti kepada pejabat, pengusaha, aparat hukum, dan anggota intelijen yang hampir terjadi disemua daerah di Indonesia. Karena tindakan pemalsuan kartu pers tersebut, polisi menangkap 2 orang tersangka yang berprofesi sebagai wartawan dan guru honorer. Mereka sudah terbukti melakukan pemalsuan kartu pers dan menjual kartu pers tersebut sebanyak 40 buah kepada masyarakat dengan harga Rp. 100.000,00. Akibat dari perbuatan tersebut, saat keduanya sudah ditangkap oleh pihak kepolisian Medan.[3] Kejadian itu bukanlah yang pertama kali terjadi, seorang wartawan gadungan Aldo Hendra Putra berhasil ditangkap. Aldo mengaku sebagai wartawan harian Media Indonesia dan meminta uang dengan cara melakukan pemerasan kepada anggota DPR/MPR. Akan tetapi belum berhasil ia melakukan aksinya, ia keburu dicurigai oleh sekretaris Rully Chaerul Azwar, anggota DPR dari Fraksi Golkar .Akibat dari pemalsuan itu Aldo Hendra Putra ditangkap dan disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuduhan memalsukan kartu identitas dan surat tugas dari harian Media Indonesia. Sesuai pasal 263 KUHP tentang penggunaan surat palsu sehingga menimbulkan kerugian, Aldo diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Selain pelanggaran itu, ia juga didakwaan dengan dakwaan kedua yaitu pasal 378 KUHP dengan ancaman pidana paling lama empat tahun.

Tindak lanjut

[sunting | sunting sumber]

Pers merupakan media massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik dalam berbagai bentuk. Kegiatan jurnalistik yang dihasilkan bisa berbentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik dengan memanfaatkan media elektronik dan media cetak.[4] Kegiatan jurnalistik tersebut dilakukan oleh wartawan. Mereka juga adalah orang yang yang secara aktif dan teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dimuat di media massa secara teratur untuk dipublikasi seperti koran, televisi, radio, majalah, film dokumentasi, dan internet. Wartawan mencari sumber informasi dari berbagai tempat, informasi tersebut mereka olah untuk kemudian ditulis dalam laporan. Dalam kegiatan menulis mereka harus melakukan dengan seobjektif mungkin dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat. Dalam melaksanakan pekerjaannya biasanya seorang wartawan dilengkapi dengan kartu pers tujuannya adalah agar ia memiliki akses untuk mencari informasi lebih mendalam. Saat ini marak muncul masyarakat yang tiba-tiba berubah profesi menjadi wartawan dadakan yang meresahkan banyak pihak. Modus penipuan berkedok sebagai wartawan semakin berani. Bahkan tak hanya menjiplak ID Card Pers, namun sudah berani memalsukan seragam media yang bersangkutan.[5] Kejadian ini membuat Dewan pers mengingatkan kepada kalangan pers bahwa praktek tersebut tidak dapat dibenarkan dan merupakan pelanggaran etika jurnalistik serta dapat mengancam kemerdekaan pers. Selain fenomena wartawan abal-abal, ada banyak hal yang saat ini terjadi, salah satunya adalah pelaku media mengganggap beritanya harus laku terjual dan dibaca orang sehingga terkadang media cenderung berlomba-lomba untuk menampilkan sesuatu yang justru melanggar kode etik jurnalistik. Pada akhirnya muncul banyak komplain dari masyarakat.[6] Untuk menindak lanjuti segala kejadian tersebut maka Dewan Pers saat ini sudah membentuk satgas media online yang akan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memberantas segala macam bentuk media online abal-abal. JIka ditemukan maka satgas itu akan menutup langsung media atau website yang dinilai sudah melanggar kode etik jurnalistik.[7] Agar hal itu tidak sampai terjadi Dewan Pers terus mengingatkan agar komunitas pers dan perusahaan pers menjaga profesionalitas wartawan dan menjunjung kemerdekaan pers dengan tidak memberikan kartu pers kepada pihak-pihak lain di luar wartawan. Penghormatan terhadap profesi wartawan harus dimulai dari kalangan pers sendiri. Tanpa penghormatan dari kalangan sendiri, profesi jurnalis tidak akan dihormati dari pihak lain.[8] Meski belum tertulis secara resmi, satgas itu sudah bekerja sudah mendapatkan banyak media online yang kena penindakan. Media tersebut kebanyakan media yang belum terverifikasi dan menyiarkan konten sewenang-wenang atau tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik. Selain dibentuknya satgas media online, Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau, Sukhri Fahrial meminta agar organisasi pers dan Dewan Pers mencegah kehadiran jurnalis palsu atau yang kerap disebut wartawan bodrex yang merugikan masyarakat dan pemerintah dengan cara agar prosedur mencetak kartu pers diperketat dan untuk sementara waktu, kartu pers hanya diperbolehkan dicetak di organisasi pers yang menyelenggarakan uji kompetensi wartawan atau jurnalis. Kebijakan ini dilakukan untuk mencegah orang-orang yang tidak berkompeten menjadi wartawan.[9]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "kartu pers | Arti Kata kartu pers". www.kamusbesar.com. Diakses tanggal 2020-02-03. 
  2. ^ "UU 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU 11 tahun 2008 tentang ITE | Jogloabang". www.jogloabang.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-05. Diakses tanggal 2020-02-05. 
  3. ^ "Guru Honorer dan Wartawan Ini Lakoni Pemalsuan SIM dan Kartu Pers". Tribun Medan. Diakses tanggal 2020-02-11. 
  4. ^ Liputan6.com (2019-03-21). "5 Fungsi Pers Selain Sebagai Media Informasi, Kamu Perlu Tahu". liputan6.com. Diakses tanggal 2020-02-05. 
  5. ^ "Waspadai Jurnalis-jurnalis Palsu". detiknews. Diakses tanggal 2020-02-05. 
  6. ^ "Dewan Pers". dewanpers.or.id. Diakses tanggal 2020-02-04. 
  7. ^ Safitri, Eva. "Berantas Jurnalis Abal-abal, Dewan Pers Bentuk Satgas Media Online". detiknews. Diakses tanggal 2020-02-05. 
  8. ^ "Dewan Pers". dewanpers.or.id. Diakses tanggal 2020-02-04. 
  9. ^ "DPRD Kepri Keluhkan Aktivitas Wartawan Palsu". Republika Online. 2016-10-11. Diakses tanggal 2020-02-05.