Lompat ke isi

Nasionalisme teknologi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Nasionalisme teknologi adalah cara untuk memahami dampak teknologi terhadap masyarakat dan budaya sebuah bangsa. Salah satu contoh yang paling umum adalah pemanfaatan teknologi dalam proyek nasionalis dengan tujuan mendorong hubungan erat dan identitas bangsa yang kuat. Menurut paham ini, kesuksesan sebuah bangsa dapat ditentukan oleh seberapa baik bangsa tersebut berinovasi dan menyebarkan teknologi ke seluruh lapisan masyarakat. Para nasionalis teknologi percaya bahwa upaya penelitian dan pengembangan nasional beserta keefektifannya adalah penggerak utama pertumbuhan, keberlanjutan, dan kemakmuran bangsa.[1][2]

Pemimpin inovasi

[sunting | sunting sumber]

Nasionalisme teknologi erat kaitannya dengan negara-negara tertentu yang dikenal sangat inovatif. Britania Raya, Jerman, dan Amerika Utara dikenal sebagai pemimpin pengembangan teknologi. Saat mengidentifikasi pemimpin inovasi teknologi, para peneliti mengakui bahwa "teknologi berkaitan dengan negara-negara tertentu. Kain katun dan tenaga uap adalah ciri khas Britania Raya, bahan kimia adalah ciri khas Jerman, produksi massal adalah ciri khas Amerika Utara, barang elektronik konsumen adalah ciri khas Jepang." Negara-negara ini sejahtera karena ekonomi mereka berkaitan erat dengan pertumbuhan teknologi. Para sejarawan berpendapat bahwa Jerman dan Amerika tumbuh pesat pada permulaan abad ke-20 berkat inovasi nasional yang cepat. Karena efek teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi, ada hubungan tersirat antara pertumbuhan ekonomi dan nasionalisme. Britania menjadi contoh hubungan kesejahteraan ekonomi dengan inovasi teknologi ketika pemerintahnya menanamkan modal dalam jumlah besar untuk penelitian dan pengembangan teknologi supaya sejajar dengan standar inovasi negara-negara lain.[1]

Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Indonesia jarang dianggap sebagai negara yang banyak inovasi. Namun demikian, Indonesia adalah contoh terbaik nasionalisme teknologi. Pada tahun 1976, Indonesia mendirikan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), badan usaha pemerintah yang bergerak di sektor perjalanan udara dan angkasa. IPTN menerima suntikan dana sebesar US$2 miliar dari pemerintah dan menjadi salah satu perusahaan terbesar sekaligus salah satu produsen pesawat di dunia ketiga. Atas keberhasilan IPTN, masyarakat Indonesia mulai menganggap dirinya "sejajar dengan bangsa Barat". Ini menunjukkan bahwa kebanggaan terhadap negara merupakan efek langsung investasi teknologi.[3]

Tantangan terbesar Kanada pada abad ke-19 adalah menyatukan negara seluas benua ini. Pembangunan Canadian Pacific Railway (1881–1885) adalah kebijakan politik dan ekonomi yang bertujuan menyatukan provinsi-provinsi Kanada dan menghubungkan Kanada Timur (kawasan inti) dan Barat (kawasan pinggir). Maurice Charland menulis bahwa proyek ini didasarkan pada kepercayaan bangsa terhadap kemampuan teknologi untuk melampaui segala hambatan fisik. Ketika teknologi disesuaikan dengan kebutuhan Kanada, teknologi memperkuat pandangan bangsa bahwa rel kereta adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan bangsa. Semangat nasionalisme teknologi ini mendorong pengembangan sektor penyiaran di Kanada yang membantu pembentukan identitas bangsa. Masalahnya, teknologi-teknologi yang dianggap "mengikat ruang" oleh Harold Innis membantu sekaligus menghambat pembentukan bangsa Kanada. Karena didasarkan pada hubungan alih-alih manfaat, teknologi ini tidak berpihak pada nilai-nilai tertentu, kecuali teknologi yang muncul berkat perdagangan dan komunikasi. Karena itu, teknologi mendorong integrasi Kanada dengan negara lain, awalnya Britania Raya, lalu Amerika Serikat.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]