Lompat ke isi

Fitrah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Fitrah berasal dari akar kata f-t-r dalam bahasa Arab yang berarti membuka atau menguak. Fitrah sendiri mempunyai makna asal kejadian, keadaan yang suci dan kembali ke asal. Dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain, seperti "penciptaan" dan "kejadian".[1]

Pengertian

[sunting | sunting sumber]

Lane (1863) menyebutkan akar kata triliteral fiṭrah (bahasa Arab: فطرة) adalah فطر f-ṭ-r. F-ṭ-r berarti (A) membelah, (B) menciptakan, (C) mengolah, atau memanggang, adonan menjadi roti tanpa memberi ragi, dan (D) memerah susu [unta, kambing, atau biri-biri betina] dengan ibu jari dan jari telunjuk. Berhubungan dengan makna B, fiṭrah berarti penciptaan: sebab musabab sesuatu terwujud, pembuatannya, pewujudannya, baru, pertama kali; (menyebabkan sesuatu) bermula.[a] Makna yang dipakai dalam Qur'an–dalam Surah Ar-Rum ayat 30, lihat bagian § Fitrah sebagai landasan epistemologis–dan hadis adalah keadaan alami yang dengannya seorang bayi diciptakan dalam rahim ibunya.[2]

Menurut ajaran Islam, manusia terlahir dengan naluri yang sesuai dengan Islam dan meyakini keberadaan Tuhan.[3] Naluri ini disebut fitrah, yang didefinisikan sebagai keadaan asal yang murni dalam diri manusia yang mengarahkannya untuk mengakui kebenaran akan keberadaan Tuhan dan mengikuti petunjuk-Nya.[4] Jika keadaan asal ini kemudian tidak dirusak dengan keyakinan menyimpang dari lingkungannya, manusia bisa melihat kebenaran Islam dan memeluknya.[5]

Fitrah sebagai landasan epistemologis

[sunting | sunting sumber]

Fitrah, akal, dan wahyu adalah tiga landasan dalil yang digunakan untuk membuktikan keberadaan Tuhan.[6] Fitrah manusia membenarkan keberadaan sesuatu yang menciptakannya dan seluruh alam semesta.[4]

(30) Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ 
Qur'an Ar-Rum:30

Manusia membawa potensi untuk beragama yang lurus, yaitu ajaran tauhid, keyakinan tentang keesaan Allah tanpa sekutu.[7] Maksud لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ “Tidak ada perubahan pada fitrah Allah” dari ayat di atas adalah bahwa fitrah itu melekat selamanya pada diri manusia bahkan jika dia mengabaikannya; dia akan terus membawa karakteristik ini.[7]

Alquran menyebutkan bahwa ketika Allah menciptakan manusia, mereka semua bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Dengan begitu, mereka telah membuat perjanjian kepada Allah bahwa mereka akan menyembah dan menaati-Nya. Tujuan perjanjian ini adalah menghilangkan alasan dari manusia yang menolak untuk beriman dan memeluk Islam.[8]

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukanlah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini,” وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ 
Qur'an Al-A'raf:172

Dakwah para Nabi menyasar pada fitrah

[sunting | sunting sumber]

Diskusi moralitas dalam filsafat Barat mendasarkan prinsip-prinsip universal pada akal sehat tanpa mampu mengungkapkan asal prinsip-prinsip moral tersebut.[9] Filsafat Barat tidak memberi barometer baik-buruk dan tidak menjelaskan kenapa manusia harus berbuat baik atau menahan diri dari berbuat jahat.[10] Berbeda dengan hal ini, Al-Qur'an telah mendasarkan nilai-nilai moral dan seluruh ajaran agamanya pada keadaan alami yang diciptakan oleh Pencipta Yang Mahabijaksana.[10] Seluruh nabi dan kitab suci dari Allah memuat penjabaran petunjuk yang berasal dari tabiat manusia tanpa menyisakan kebingungan bagi siapapun.[10] Dengan begitu, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk meraih petunjuk (menuju Islam–ed.) dari keadaan alamiahnya.[10]

Nabi-nabi yang diutus untuk mendakwahkan Islam tidak menggunakan argumen-argumen untuk membuktikan keberadaan Tuhan atau bahwa manusia harus mengetahui terlebih dahulu bahwa ada Tuhan Yang menciptakan alam semesta. Allah mengutus Musa (dan Harun) kepada Fir'aun, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”[Qur'an Ta Ha:44] Maksudnya sadar (ingat) dengan pengetahuan bawaan lahir mengenai Tuhannya dan nikmat-Nya kepadanya.[11]

Bukti ilmiah

[sunting | sunting sumber]

Keadaan asal manusia yang meyakini adanya entitas tinggi yang menciptakannya bisa dibuktikan melalui statistik. Mayoritas orang di dunia mengimani Tuhan dengan konsep tertentu (meskipun ketidakpercayaan dengan Tuhan tampak semakin populer).[12] Sebagian besar agama di dunia memiliki konsep 'wujud yang mahaagung' atau sadar akan keberadaan Tuhan.[12] Alquran menyebutkan hal ini.[12]

(87) Dan jika engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab, Allah; jadi bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah), وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ 
Qur'an Az-Zukhruf:87
(38) Dan sungguh, jika engkau tanyakan kepada mereka, "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Niscaya mereka menjawab, "Allah." Katakanlah, "Kalau begitu tahukah kamu tentang apa yang kamu sembah selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan bencana kepadaku, apakah mereka mampu menghilangkan bencana itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat mencegah rahmat-Nya?" Katakanlah, "Cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nyalah orang-orang yang bertawakal berserah diri." وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ ۚ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ ۖ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ 
Qur'an Az-Zumar:38

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "originating it"

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Miswanto 2012, hlm. 11.
  2. ^ Lane 1863.
  3. ^ Ibn Taymiyyah 2000, hlm. 3; Utz 2011, hlm. 47.
  4. ^ a b Utz 2011, hlm. 47.
  5. ^ Ibn Taymiyyah 2000, hlm. 3.
  6. ^ Miswanto 2012, hlm. 73.
  7. ^ a b Miswanto 2012, hlm. 11; Utz 2011, hlm. 47.
  8. ^ Utz 2011, hlm. 51.
  9. ^ Ishlahi n.d., hlm. 1.
  10. ^ a b c d Ishlahi n.d., hlm. 2.
  11. ^ Ibn Taymiyyah 2000, hlm. 4.
  12. ^ a b c Utz 2011, hlm. 48.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]