Lompat ke isi

Kerajaan Sumedang Larang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Sumedang Larang

ᮊᮛᮏᮃᮔ᮪ ᮞᮥᮙᮨᮓᮀ ᮜᮛᮀ (Aksara Sunda)
721–1620
Ibu kotaCitembong Girang (721–980)
Ciguling (980–1529)
Kutamaya (sekarang Sumedang) (1529–1585)
Dayeuh Luhur (1585–1610)
Tegal Kalong (1610–1620)
Bahasa yang umum digunakanSunda Kuno, Sunda Klasik
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Prabu 
• 900
Prabu Guru Adji Putih
• 1529
Ratu Pucuk Umun/Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata/Nyimas Setyasih
• 15791601
Prabu Geusan Ulun
• 16011620
Prabu Suriadiwangsa (anak Prabu Geusan Ulun dengan Putri Harisbaya)
Sejarah 
• Berdiri sebagai bagian dari Kerajaan Sunda dan Galuh
721
• Menjadi bagian Kesultanan Cirebon
1530
• Peristiwa Harisbaya, menjadi negara berdaulat
1585
• Bergabung dengan Kesultanan Mataram[1]
1620
Mata uangUang emas dan perak
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Sunda
kslKesultanan
Cirebon
kslKesultanan
Mataram
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Sumedang Larang (aksara Sunda: ᮊᮛᮏᮃᮔ᮪ ᮞᮥᮙᮨᮓᮀ ᮜᮛᮀ) adalah salah satu kerajaan Islam di pulau Jawa bagian barat yang berdiri pada tahun 721 M. Kerajaan ini sudah berdiri sejak abad ke-8 Masehi, tetapi baru menjadi sebuah negara berdaulat di abad ke-16 Masehi.[2][3] Popularitas kerajaan ini tidak menonjol sebagaimana kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Namun keberadaan kerajaan ini memberikan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya di kalangan orang Sunda dalam proses penyebaran agama Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kesultanan Banten.[4][5]

Kerajaan ini didirikan pada tahun 721 M oleh Prabu Tajimalela, keturunan dari raja Wretikandayun dari Kerajaan Galuh, di wilayah bekas dari Kerajaan Tembong Agung.[2][6] Kerajaan ini juga pernah dikenal dengan nama Kerajaan Himbar Buana sebelum berganti nama menjadi Sumedang Larang.[7][8] Sumedang Larang berstatus sebagai bagian dari Kerajaan Sunda dan Galuh antara abad ke-8 sampai abad ke-16 M, dimana penguasanya berada di bawah penguasa kedua kerajaan tersebut.[9][10] Ibu kota Sumedang Larang di saat pendiriannya berada di Citembong Girang, yang saat ini masuk dalam wilayah desa Cikeusi, Kec. Darmaraja, Kab. Sumedang.[2][11]

Agama Islam mulai berkembang di wilayah ini pada masa pemerintahan Pangeran Santri (1530-1578 M).[12][13] Di masa pemerintahannya Sumedang Larang bergabung dengan Kesultanan Cirebon. Pada tahun 1578 M, anaknya yang bernama Pangeran Angkawijaya menerima pusaka Pajajaran dan dinobatkan sebagai Raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun, dimana pusaka pemberian ini menandakan Sumedang Larang sebagai penerus sah trah Kerajaan Sunda.[14][15] Menurut Babad Sumedang, wilayah Sumedang Larang dibatasi oleh Laut Jawa di utara, Sungai Cipamugas di barat, Samudra Hindia di selatan, dan Sungai Cipamali di timur.[16][17] Kerajaan Sunda sendiri runtuh pada tahun 1579 M setelah Pulasari ditaklukan oleh Maulana Yusuf dari Banten (Burak Pajajaran).[18][19]

Runtuhnya Kerajaan Sunda menjadikan bekas wilayahnya terbagi antara Kesultanan Banten di barat dan Kesultanan Cirebon di timur. Dikarenakan terjadinya Peristiwa Harisbaya, Sumedang Larang dibawah Prabu Geusan Ulun pada tahun 1585 menyatakan diri sebagai negara berdaulat dan terlepas dari Cirebon.[20][21] Kemerdekaan Sumedang Larang tidaklah berlangsung lama, hanya berkisar 35 tahun. Dikarenakan keadaannya saat itu yang relatif lemah dan terjepit antara tiga kekuatan besar (Banten, Cirebon, dan Kesultanan Mataram), Prabu Aria Suriadiwangsa pada tahun 1620 M memutuskan untuk bergabung dengan Mataram, dimana status Sumedang Larang diturunkan dari kerajaan menjadi Kabupaten dibawah Mataram.[11][22][23]

Pemerintahan di Wilayah Sumedang dan sekitarnya

[sunting | sunting sumber]
No. Masa[24] Tahun
1 Kerajaan Sumedang Larang (bagian dari kerajaan Pajajaran) 721 – 1530
2 Kerajaan Sumedang Larang (bagian dari kesultanan Cirebon) masa pangeran Santri hingga pangeran Geusan Ulun 1530 – 1585
3 Kerajaan Sumedang Larang (berdaulat penuh setelah mendeklarasikan diri berpisah dengan Cirebon pasca peristiwa Harisbaya) masa prabu Geusan Ulun hingga prabu Suryadiwangsa 1585 – 1620
4 Bergabung dengan Kesultanan Mataram terkait penyerangan ke Batavia 1620 – 1706
5 Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) 1706 – 1811
6 Pemerintahan Inggris 1811 – 1816
7 Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie 1816 – 1942
8 Pemerintahan Jepang 1942 – 1945
9 Pemerintahan Republik Indonesia 1945 – 1947
10 Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda 1947 – 1949
11 Pemerintahan Negara Pasundan 1949 – 1950
12 Pemerintahan Republik Indonesia 1950 – sekarang


Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang bercorak Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya tampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Adji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

Pemerintahan berdaulat

[sunting | sunting sumber]
No. Nama[24] Tahun
1 Raja Kerajaan Sumedang Larang pra-Islam
a Prabu Guru Adji Putih 900
b Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela 950
c Prabu Gajah Agung 980
d Sunan Guling 1000
e Sunan Tuakan 1200
f Nyi Mas Ratu Patuakan 1450
g Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata / Nyimas Setyasih 1529
2 Penguasa Sumedang Larang Islam di bawah Kesultanan Cirebon
a Prabu Kusumadinata I atau Pangeran Santri (Pangeran Soleh cucu dari Pangeran Panjunan, Cirebon) suami dari Nyimas Setyasih 1530 - 1579
b Pangeran Angkawijaya atau Geusan Ulun 1579 - 1585
3 Raja Kerajaan Sumedang Larang merdeka
a Prabu Kusumadinata II atau Geusan Ulun 1579 - 1601
b Prabu Kusumadinata III atau Suriadiwangsa (anak tiri Geusan Ulun dengan Harisbaya) 1601 - 1620
4 Bupati wedana Parahyangan di bawah Kesultanan Mataram
a Pangeran Suriadiwangsa atau Rangga Gempol I 1620 - 1624
b Rangga Gede (anak sulung Geusan Ulun) 1624 - 1633
c Rangga Gempol II 1633 - 1656
d Rangga Gempol III atau Pangeran Panembahan 1656 - 1706
5 Bupati Sumedang di bawah VOC, Inggris, Belanda dan Jepang
a Dalem Adipati Tanumaja 1706 - 1709
b Pangeran Karuhun 1709 - 1744
c Dalem Istri Rajaningrat 1744 - 1759
d Dalem Anom 1759 - 1761
e Dalem Adipati Surianagara 1761 - 1765
f Dalem Adipati Surialaga 1765 - 1773
g Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) 1773 - 1775
h Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) 1775 - 1789
i Dalem Aria Sacapati 1789 - 1791
j Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata 1791 - 1800
k Bupati Republik Batavia Nederland 1800 - 1810
l Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte 1805 - 1810
m Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte 1810 - 1811
n Bupati Masa Pemerintahan Inggris 1811 - 1815
o Bupati Kerajaan Nederland 1815 - 1828
p Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung 1828 - 1833
q Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit 1833 - 1834
r Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 - 1836
s Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih 1836 - 1882
t Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah 1882 - 1919
u Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang 1919 - 1937
v Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri 1937 - 1942
w Bupati Masa Pemerintahan Jepang 1942 - 1945
x Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia 1945 - 1946
6 Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1946 - 1947
7 Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia
a Raden Tumenggung M. Singer 1947 - 1949
8 Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan
a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1949 - 1950
9 Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) 1950
b Raden Abdurachman Kartadipura 1950 - 1951
c Sulaeman Suwita Kusumah 1951 - 1958
d Antan Sastradipura 1958 - 1960
e Muhammad Hafil 1960 - 1966
f Adang Kartaman 1966 - 1970
g Drs. Supian Iskandar 1970 - 1972
h Drs. Supian Iskandar 1972 - 1977
i Drs. Kustandi Abdurahman 1977 - 1983
j Drs. Sutarja 1983 - 1988
k Drs. Sutarja 1988 - 1993
l Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra 1993 - 1998
m Drs. H. Misbach 1998 - 2003
n H. Don Murdono,SH. Msi 2003 - 2008
o H. Don Murdono,SH. Msi 2008 - 2013
p Drs. H. Endang Sukandar, M.Si 2013
q Drs. H. Ade Irawan, M.Si 2013
r Ir. H. Eka Setiawan, Dipl., S.E., M.M. 2016
s H. Dony Ahmad Munir, S.T., M.M. 2018

Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)

[sunting | sunting sumber]

Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibu kota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.

Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan dia membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga dia dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekadar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.

Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamelekaran, Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri

[sunting | sunting sumber]

Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Nyimas Setyasih (Ratu Pucuk Umum), anak dari Raja Tirtakusumah (raja Sumedang Larang) yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi pangeran Soleh (Pangeran Santri) (diperkirakan hidup pada tahun 1505-1579 M). Pada 21 Okober 1530 (13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka) Pangeran Soleh tidak diserahi kekuasaan atas kerajaan Sumedang Larang dari istrinya dan kemudian dia tidak dinobatkan menjadi penguasa Sumedang Larang (bahasa Cirebon: hanya mendapat Gelar Ki Gede Sumedang): keduanya tidak memerintah kerajaan Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Soleh (Pangeran Santri) adalah Putra Pangeran Pamelekaran atau Pangeran Muhammad, cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan atau Pangeran Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda, tiga bulan setelahnya (12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 Saka) diadakan syukuran di kesultanan Cirebon tepatnya di Dalem Agung Pakungwati atas diangkatnya Pangeran Soleh sebagai penguasa kerajaan Sumedang Larang juga keberhasilan Cirebon menguasai wilayah kerajaan Pajajaran sebelah timur (Galuh)[25]

Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibu kota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.

Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu:

  1. Pangeran Angkawijaya (yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
  2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
  3. Kiyai Demang Watang di Walakung.
  4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
  5. Santowaan Cikeruh.
  6. Santowaan Awiluar.

Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

Prabu Geusan Ulun

[sunting | sunting sumber]
Mahkota Binokasih, Mahkota Kerajaan Pajajaran yang diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun disimpan di Museum Prabu Geusan Ulun oleh para Kandaga Lante Kerajaan Pajajaran sebagai legitimasi untuk meneruskan trah Siliwangi
Keris Panunggul Naga adalah Keris milik Prabu Geusan Ulun yang merupakan raja Kerajaan Sumedang Larang yang terakhir
Keris Naga Sasra yang digunakan oleh Pangeran Kornel (Pangeran Kusumahdinata IX) saat bersalaman menggunakan tangan kiri (pertanda adanya perlawanan terhadap kebijakan Belanda dalam pembangunan Jalan Raya Pos dengan Gubernur Jenderal Daendels pada peristiwa Cadas Pangeran

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibu kota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.

Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton dia mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante.

Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja Palangka Sriman Sriwacana direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.

Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten.

Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan dia pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang Larang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.

Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang Larang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga hampir terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang Larang.

Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang Larang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peristiwa tersebut pula ibu kota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:

  1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
  2. Raden Aria Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi
  3. Kiyai Kadu Rangga Gede
  4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
  5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
  6. Raden Ngabehi Watang
  7. Nyi Mas Demang Cipaku
  8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
  9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
  10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
  11. Nyi Mas Rangga Pamade
  12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
  13. Pangeran Suriadiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu.
  14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
  15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.

Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).


Pemerintahan saat penggabungan dengan Mataram

[sunting | sunting sumber]

Dipati Rangga Gempol

[sunting | sunting sumber]

Pada saat Prabu Suriadiwangsa (Rangga Gempol) memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang bergabung dengan Mataram dalam rangka memerangi Belanda dan menyerang Batavia, disepakai oleh keduanya bahwa hanya akan ada satu komando dalam upaya memerangi Belanda di Batavia dan dipegang oleh Mataram sehingga untuk menunjang teraturnya rantai komando maka wilayah Sumedang Larang statusnya kabupaten wedana (luas wilayah kerajaan Sumedang Larang tidak berubah pada saat bergabung dengan Mataram dalam rangka penyerangan ke Batavia). Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan dan persiapan penyerangan kepada Belanda. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Pangeran Suriadiwangsa (Rangga Gempol) beserta pasukannya untuk merebut Sampang di Madura dan berhasil tanpa jalan peperangan (hal tersebut dikarenakan ibunya yang bernama Harisbaya adalah keturunan Madura) Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada saudaranya, Dipati Rangga Gede.

Dipati Rangga Gede

[sunting | sunting sumber]

Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Dipati Ukur

[sunting | sunting sumber]

Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia.

Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa.

Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.

Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon (putri Prabu Geusan Ulun) yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.

Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.

Dalam ‘Negara Kerta Bhumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur.

Sultan Agung pun murka karena bagaimanapun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.

Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.

Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus Sutapura, salah satu pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya (dikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya.

Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat.[26][27][28]

Pembagian wilayah kerajaan

[sunting | sunting sumber]

Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian:[29]

Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk oleh Kesultanan Mataram sebagai Wedana Bupati (kepala para bupati) Priangan.

Peninggalan budaya

[sunting | sunting sumber]

Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Henry, Spiller (Routledge; 2 edition April 13, 2008). Focus: Gamelan Music of Indonesia (Focus on World Music Series) 2nd Edition. Routledge. ISBN 978-0415960687. Diakses tanggal 15 April 202. 
  2. ^ a b c Ciburuan, Sinatria Kampung. "Sejarah Ringkas Kabupaten Sumedang". Kabupaten Sumedang. Diakses tanggal 2019-08-07. 
  3. ^ "Mengenal Sejarah Sumedang Larang". www.sinarpaginews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-07. Diakses tanggal 2019-08-07. 
  4. ^ Visualisasi tinggalan sejarah Islam di Tatar Sunda, 1600-1942: edisi Priangan. Kerjasama Pusat Kajian Lintas Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2011. 
  5. ^ Politik & postkolonialitas di Indonesia. Kanisius. 2003. ISBN 9789792108507. [pranala nonaktif permanen]
  6. ^ West Java Miracle Sight: A Mass of Verb and Scene Information. MPI Foundation. 2005. 
  7. ^ "Kirab Panji Sumedanglarang, Jejak Historis 441 Tahun Kabupaten Sumedang". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-07. Diakses tanggal 2019-08-07. 
  8. ^ "Hari Ini Kerajaan Sumedang Larang Berdiri". Republika Online. 2013-04-22. Diakses tanggal 2019-08-07. 
  9. ^ Proceedings Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran. Diterbitkan oleh Universitas Pakuan Bogor dan Yayasan Pembangunan Jawa Barat. 1993. 
  10. ^ Wiradiredja, Yus (2014). Tembang Sunda Cianjuran di Priangan (1834-2009): dari seni kalangenan sampai seni pertunjukan. Sunan Ambu Press. ISBN 9789798967306. 
  11. ^ a b S, Euis Thresnawaty (2011-03-01). "SEJARAH KERAJAAN SUMEDANG LARANG". Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya. 3 (1): 154–168. doi:10.30959/patanjala.v3i1.276. ISSN 2598-1242. 
  12. ^ Widyasancaya. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2006. ISBN 9789799557995. 
  13. ^ Sejarah Daerah Jawa Barat. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  14. ^ N, Intan Mardiana; Sriwigati, Endang; Ibrahim, Yuni Astuti; Perdana, Andini (2009-01-01). Koleksi Pilihan 25 Museum di Indonesia. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  15. ^ West Java Miracle Sight: A Mass of Verb and Scene Information. MPI Foundation. 2005. 
  16. ^ Abdurachman (1986). Naskah Sunda lama di Kabupaten Sumedang. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  17. ^ Penyebaran Islam Di Daerah Galuh Sampai Dengan Abad Ke-17. Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI. 2010. ISBN 9789797973025. 
  18. ^ Danasasmita, Saleh; Bogor (Indonesia) (1983). Sejarah Bogor. Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor. 
  19. ^ Buletin kebudayaan Jawa Barat. Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat. 1974. 
  20. ^ "Ratu Harisbaya, Si Cantik Pemicu Perang Sumedang versus Cirebon". radarcirebon.com. 2018-12-12. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-07. Diakses tanggal 2019-08-07. 
  21. ^ "Dipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Pasundan [16]: Penculikan Ratu Harisbaya". BaleBandung (dalam bahasa Inggris). 2019-05-09. Diakses tanggal 2019-08-07. 
  22. ^ Rosyad, Ulul. "Sumedang Larang dalam Lintasan Sejarah Tatar Sunda". Akarasa. Diakses tanggal 2019-08-07. 
  23. ^ Sejarah Purwakarta. Pemerintah Kabupaten Purwakarta, Badan Pariwisata. 2008. 
  24. ^ a b Kartadibrata, R.M. Abdullah. 1989. Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang, Brosur cetakan ke-2. Sumedang: Yayasan Pangeran Sumedang, Museum Prabu Geusan Ulun.
  25. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama permana1
  26. ^ Ekajati, Edi Suhardi. (1979, 1982). "Carita Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda". Disertasi. Seri pustaka sarjana, no. 5. Jakarta: Pustaka Jaya.
  27. ^ Hermansumantri, Emuch. 1979. "Sejarah Sukapura, Sebuah Telaah Filologis Diarsipkan 2022-03-14 di Wayback Machine.". Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
  28. ^ Atja, Saleh Danasasmita dan Ayat Rohaedi dalam "Naskah Pangeran Wangsakerta (Nagara Kerta Bumi 1.5)"
  29. ^ Anonim. Tanpa tahun. Sajarah Sukapura. Pemegang naskah Raden Sulaeman Anggapradja. Kota Kulon, Garut Kota.

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]
  • "Maharadja Cri Djajabhoepathi, Soenda's Oudst Bekende Vorst", TBG, 57. Batavia: BGKW, page 201-219, 1915)
  • Ekajati, Edi S. (2005). Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran. Bandung: Pustaka Jaya.
  • Zahorka, Herwig. (20 Mei 2007). The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
  • Uka Tjandrasasmita. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • E. Rokajat Asura. (September 2011). Harisbaya bersuami 2 raja - Kemelut cinta di antara dua kerajaan Sumedang Larang dan Cirebon. Penerbit Edelweiss.
  • Atja, Drs. (1970). Ratu Pakuan. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah Unpad.
  • Atmamihardja, Mamun, Drs. Raden. (1958). Sadjarah Sunda. Bandung: Ganaco Nv.
  • Joedawikarta (1933). Sadjarah Soekapoera, Parakan Moencang sareng Gadjah. Bandoeng: Pengharepan
  • Lubis, Nina Herlina., Dr. MSi, dkk. (2003). Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II. Bandung: Satya Historica.
  • Herman Soemantri Emuch. (1979). Sajarah Sukapura, sebuah telaah filologis. Jakarta: Universitas Indonesia.
  • Zamhir, Drs. (1996). Mengenal Museum Prabu Geusan Ulun serta Riwayat Leluhur Sumedang. Sumedang: Yayasan Pangeran Sumedang.
  • Sukardja, Djadja. (2003). Kanjeng Prebu R.A.A. Kusumadiningrat Bupati Galuh Ciamis th. 1839 s / d 1886. Ciamis: Sanggar SGB.
  • Sulendraningrat P.S. (1975). Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah. Cirebon: Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon.
  • Sunardjo, Unang, R. H., Drs. (1983). Kerajaan Carbon 1479-1809. Bandung: Tarsito.
  • Suparman, Tjetje, R. H., (1981). Sajarah Sukapura. Bandung
  • Surianingrat, Bayu., Drs. (1983). Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950. Bandung: Rapico.
  • Soekardi, Yuliadi. (2004). Kian Santang. Bandung: Pustaka Setia.
  • Soekardi, Yuliadi. (2004). Prabu Siliwangi. Bandung: Pustaka Setia.
  • Tjangker Soedradjat, Ade. (1996). Silsilah Wargi Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri alias Pangeran Koesoemadinata I Penguasa Sumedang Larang 1530-1578. Sumedang: Yayasan Pangeran Sumedang.
  • Widjajakusuma, Djenal Asikin., Raden Dr. (1960). Babad Pasundan, Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan Pdjadjaran Dina Taun 1580. Bandung: Kujang.
  • Winarno, F. G. (1990). Bogor Hari Esok Masa Lampau. Bogor: Bina Hati.
  • Olthof, W.L. (cetakan IV 2008). Babad Tanah Jawi - mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647. Yogyakarta: Buku Kita Bagikan.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]