Lompat ke isi

Kritik sejarah (Alkitab)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kritik sejarah salah satu cara penafsiran Alkitab yang menggunakan perspektif sejarah sebagai alat utama untuk menemukan makna yang terkandung dalam suatu teks Alkitab.[1] Metode ini juga dikenal sebagai Metode kritikal-historikal (the historical-critical method) atau Kritisisme tinggi (higher criticism), sebagai suatu cabang kritisisme pustaka yang meneliti asal usul suatu teks kuno untuk memahami "dunia di balik teks itu" ("the world behind the text").[2] Dalam hal tafsiran alkitabiah Semitik, kritikus sejarah dapat menafsirkan sastra Israel sebagai sejarah Israel.[3]

Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan cara penafsiran ini, yaitu: Sejarah di dalam teks dan sejarah di luar teks.[1]

Sejarah di dalam teks

[sunting | sunting sumber]

Sejarah di dalam teks merupakan sejarah yang diceritakan dalam Alkitab itu sendiri atau dengan kata lain, sejarah ini merupakan sejarah yang diceritakan melalui Alkitab.[1] Contoh: Sejarah kelahiran Yesus Kristus yang diceritakan dalam Injil Matius.[1]

Sejarah di luar teks

[sunting | sunting sumber]

Sejarah di luar teks berarti kondisi sejarah yang melingkupi pembuatan suatu bagian dari Alkitab.[1]

Diagram Hipotesis dokumenter.
* meliputi sebagian besar Kitab Imamat
meliputi sebagian besar Kitab Ulangan
"Sejarah kitab Ulangan": Yosua, Hakim-hakim, 1&2 Samuel, 1&2 Raja-raja

Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam kritik sejarah

[sunting | sunting sumber]

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang penafsir Alkitab, pertama, seorang penafsir harus menyadari dan meyakini bahwa sebuah teks merupakan hasil tulisan tempat dan waktu tertentu, dan pasti ada pengarangnya.[1] Prinsip ini berlaku pada kitab yang berkaitan dengan soal-soal sejarah (II Raja-raja, I dan II Tawarikh, Ezra, Nehemia, kitab-kitab Injil, Kisah Para Rasul, maupun kitab-kitab yang tidak memuat sejarah di dalam teksnya sendiri (Kitab Mazmur,Kitab Amsal).[1] Seorang penafsir yang baik harus mencari tahu konteks sosial dan sejarah di balik teks itu untuk mengetahui pesan Alkitab secara lebih baik.[1] Kedua, seorang penafsir harus menyadari keterbatasan waktu para pemakai teks pada masa lalu, misalnya orang Yahudi dan Kristen perdana memandang teks Perjanjian Lama secara berbeda. Orang Yahudi misalnya percaya bahwa Musa menulis sendiri kitab Taurat.[1] Sementara orang Kristen mempertanyakan Musa yang menulis kitab Taurat sendiri karena di dalamnya terdapat kematian Musa.[1] Hieronimus dan Jerome (mati tahun 420) melaprkan bahwa pernah menerima surat dari perempuan yang mempertanyakan kehandalan data mengenai kitab-kitab Injil yang menuliskan kebangkitan Yesus.[1] Dalam hal ini, pencarian pengarang kitab-kitab mempunyai peran untuk menemukan kapan dan di mana kitab-kitab itu ditulis.[1] Menjadi penting upaya semacam ini untuk menemukan juga kronologi, nama-nama dan peristiwa-peristiwa yang dapat mempengaruhi hasil tafsir seseorang dan akhirnya mempengaruhi pesan yang didapat dari dan dalam Alkitab.[1]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m (Inggris) John H. Hayes & Carl R. Holladay. Biblical Exegesis, Atlanta: John Knox Press, 1982
  2. ^ Soulen, Richard N.; Soulen, R. Kendall (2001). Handbook of biblical criticism (edisi ke-3rd ed., rev. and expanded.). Louisville, Ky.: Westminster John Knox Press. hlm. 78. ISBN 0-664-22314-1. 
  3. ^ Soulen, Richard N. (2001). Handbook of Biblical Criticism. John Knox. hlm. 79. 
  • Gerald P. Fogarty, S.J. American Catholic Biblical Scholarship: A History from the Early Republic to Vatican II, Harper & Row, San Francisco, 1989, ISBN 0-06-062666-6. Nihil obstat by Raymond E. Brown, S.S., and Joseph A. Fitzmyer, S.J.
  • Robert Dick Wilson, "Is the Higher Criticism Scholarly? Clearly Attested Facts Showing That the Destructive 'Assured Results of Modern Scholarship' Are Indefensible, reprinted in Christian News, vol. 29, no. 9 (4 March 1991), p. 11-14.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]