Lompat ke isi

Arat Sabulungan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Arat Sabulungan adalah kepercayaan asli bagi masyarakat suku bangsa Mentawai yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia, teristimewa orang Sakuddei di pulau Siberut.[1][2] Secara bahasa, Arat berarti adat, Sa berarti sekitar, dan bulungan artinya daun. Sebutan Sabulungan lahir karena acara ritualnya selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya bisa menjadi perantara hubungan manusia dengan tuhan yang disebut dengan Ulau Manua.[3]

Awalnya, istilah arat tidak dipergunakan dan nama yang lebih sering dipakai adalah punen yang memiliki arti kegiatan, upacara, atau pesta. Seiring berjalannya waktu, diperkenalkanlah istilah arat pada era 1950-an untuk menyebut kepercayaan ini. Jadi, kata arat mewakili kepercayaan atau ideologi sementara punen lebih sering mengacu pada perayaan seremonial dan upacara.[4]

Dipakainya istilah arat dilatarbelakangi oleh kebutuhan pemerintah dan para misionaris untuk menyebut berbagai agama, termasuk sistem kepercayaan tradisional. Sabulungan kemudian dikategorikan sebagai agama setelah ditambahkan istilah arat. Istilah ini juga diberikan kepada agama yang dibawa dari luar Mentawai seperti arat Katolik, arat Protestan, dan arat Islam.[4]

Kepercayaan Arat Sabulungan mengandung dua keyakinan, yaitu keyakinan mengenai adanya hubungan gaib antara berbagai hal yang berbeda. Kemudian keyakinan kedua adalah adanya kekuatan gaib yang memiliki kesaktian namun tidak berkemauan dalam alam sekitar manusia.[2] Meski mayoritas masyarakat Mentawai sudah menganut agama Katolik di sampung Protestan, Islam, atau Baha'i, kepercayaan Arat Sabulungan masih mampu bertahan bersama sebagian penganutnya,[3]

Arat Sabulungan mengajarkan agar adanya keseimbangan antara alam dan manusia. Artinya, manusia sudah semestinya memperlakukan alam dan seisinya seperti tumbuh-tumbuhan, air, dan hewan seperti mereka memperlakukan dirinya sendiri. Ajaran mengenai keseimbangan manusia dan alam terefleksi dari bagaimana alam dimaknai oleh penganutnya. Alam dianggap sebagai tempat bersemayamnya para dewa sehingga harus dihormati. Jika sikap hormat itu tidak ada, maka manusia akan ditimpa malapetaka.[3] Menurut antropolog Reimar Schefold, wawasan orang Mentawai mengenai alam lingkungan dan jagat raya tidak berasal dari cerita dongeng, melainkan dari kisah yang benar-benar pernah terjadi.[5]

Pada zaman dahulu, Arat Sabulungan menjadi patokan norma untuk mengatur hubungan antara manusia dan alam serta dalam hubungan batin dengan tuhan. Dari sini, kemudian terjalin sikap hormat orang Mentawai terhadap alam. Jika alam dirusak, maka pemiliknya yang memiliki kekuatan sangat besar pun akan mengirim bencana. Pelanggaran terhadap aturan pun akan berakibat hukuman. Hukuman ini ditentukan melalui musyawarah di uma. Jika ada satu orang yang melanggar, maka seluruh anggota masyarakat juga dianggap akan terkena dampaknya.[3]

Mitologi dan Sistem Kepercayaan

[sunting | sunting sumber]

Dalam kepercayaan Arat Sabulungan, diyakini bahwa roh leluhur nenek moyang yang disebut Ketsat adalah zat yang memiliki kesaktian. Selain itu, dipercaya bahwa roh terkandung dalam setiap objek yang ada di dunia, baik itu benda mati maupun makhluk hidup. Roh ini terpisah dari jasad yang berkeliaran secara bebas di alam luas. Pemahaman ini berbeda dengan agama-agama Samawi yang dominan di Indonesia dewasa ini di mana roh diyakini hanya terdapat pada makhluk hidup.[2]

Arat Sabulungan mengajarkan bahwa bukan manusia saja yang memiliki jiwa. Roh setiap objek di dunia dipercaya menempati seluruh ruang di alam semesta, baik itu di darat, laut, dan udara. Perlu diketahui, gagasan mengenai roh dan jiwa adalah hal yang berbeda di mana jiwa dapat berdiam di dalam tubuh manusia yang sudah meninggal dunia meski rohnya sudah pergi.[2]

Roh-roh yang banyak dikenal dalam kepercayaan Arat Sabulungan turut kerap dijumpai dalam mitos yang menceritakan asal-usul dunia di mata orang Mentawai. Mitos-mitos ini dirangkum dalam sebuah buku berjudul Mitos dan Legenda Suku Mentawai yang ditulis oleh Bruno Spina. Dicatat bahwa dunia ini diyakini diciptakan oleh roh-roh dengan cara dilempar dari langit hingga terbentuklah pulau-pulau Sumatra dan sekitarnya. Kemudian roh-roh menciptakan pula manusia dan hewan yang menghuni pulau tersebut dan memberikan berbagai bimbingan kepada manusia pertama mengenai cara-cara hidup.[4]

Roh orang yang sudah meninggal dipercaya bisa berkomunikasi dengan manusia yang masih hidup dan tinggal di dunia. Komunikasi ini diperantarai oleh Sikerei alias tabib atau dukun tradisional Mentawai. Roh orang yang meninggal tersebut bahkan bisa menuturkan cerita mengenai kematiannya atau menitipkan pesan kepada keluarga yang ditinggalkan untuk kemudian disampaikan kepada keluarga oleh sikerei.[4]

Jika asal-usul dunia bisa dijelaskan melalui cerita mitologi yang berkaitan dengan roh, gagasan mengenai asal-usul manusia justru sebaliknya karena tidak ada penjelasan apapun yang diyakini orang-orang Mentawai. Menurut Spina, kepercayaan yang dipegang orang Mentawai mengenai asal-usul keberadaan manusia konsepnya berbeda dengan banyak suku bangsa lain di Indonesia. Tidak ada cerita atau konsep mengenai asal-usul eksistensi manusia.[4]

Bagi orang Mentawai, dunia adalah tempat besar di mana mereka bisa hidup dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada di alam. Maka dari itu manusia diwajibkan menjalin hubungan baik dengan roh-roh dengan cara selalu berterima kasih dan tidak menyalahgunakan segala yang bisa didapatkan. Dunia yang dihuni ini dianggap bukanlah milik manusia.[4]

Ada beberapa roh yang dikenal dalam kepercayaan Arat Sabulungan di mana roh-roh tersebut memiliki peran dan karakter yang berbeda satu-sama lain. Konsep pengetahuan akan hal gaib berupa roh yang menyebabkan orang dapat hidup disebut dengan Simagre. Roh yang dikenal di antaranya Sabulungan, yaitu roh yang keluar dari tubuh dan dianggap keluarnya terkadang hanya untuk sesaat, misalnya ketika seseorang sedang terkejut. Selain itu ada pula roh yang tidak pergi jauh dari tempat yang dihuni manusia di bumi, di air, udara, hutan belantara dan pegunungan. Di dalam uma, yaitu rumah yang berfungsi sebagai balai pertemuan dan tempat digelarnya acara-cara adat Mentawai juga bahkan dikenal terdapat roh penunggu. Roh ini disebut dengan nama kina. Tak hanya roh baik, dikenal pula roh yang bersifat jahat yang kerjanya menebarkan penyakit dan menimbulkan gangguan bagi manusia yang disebut sanitu. Roh ini berasal dari roh manusia yang bergentayangan setelah mati dengan cara yang tidak wajar, misalnya mati dibunuh atau bunuh diri.[2]

Sementara itu, istilah magere digunakan untuk merujuk pada jiwa manusia. Magere ini diyakini beerada di bagian ubun-ubun kepala. Magere bisa keluar dari tempatnya berdiam dan melakukan petualangan saat manusia sedang tertidur hingga menimbulkan mimpi. Jika magere bertemu dengan roh jahat ketika sedang keluar, maka tubuh manusia tersebut akan sekit. Sedangkan jika tubuh meminta pertolongan kepada leluhur maka tubuh akan meninggal dengan roh yang telah pergi. Perginya roh sekaligus membuat tubuh hanya ditempat oleh jiwa yang disebut pitok.[2]

Pitok adalah sosok yang ditakuti oleh masyarakat Mentawai. Pitok dipercaya mencari tubuh manusia lain sebagai korban agar ia bisa terus berada di bumi. Karena alasan inilah masyarakat Mentawai kerap menggelar upacara-upacara untuk mengusir pitok.[2]

Selain roh dan jiwa, pengakuan terhadap keberdaaan dewa-dewa juga dikenal dalam Arat Sabulungan. Setidaknya ada tiga dewa yang diposisikan secara terhormat. Pertama Tai Kalelu, yakni dewa hutan dan gunung. Kedua Tai Leubagat, yaitu dewa laut. Yang ketiga adalah dewa langit pemberi hujan dan kehidupan yang disebut Tai Kamanua.[3]

Ritual dan Upacara

[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa ritual yang biasa dilakukan masyarakat Mentawai penganut kepercayaan Arat Sabulungan. Misalnya ada masa nyepi di mana oang-orang akan menghentikan aktivitas rutinnya untuk sementara. Masa nyepi ini ada dua macam, aitu Lia dan Punen. Lia adalah menghentikan akfitas karena adanya peristiwa-peristiwa hidup yang dianggap penting seperti kelahiran, kematian, atau ada anggota keluarga yang sakit. Kegiatan pembuatan perahu pun termasuk masa-masa yang perlu diiringi dengan lia.[2]

Sementara itu, punen adalah nyepi yang dilakukan oleh masyarakat secara keseluruhan di mana pelaksanannya menyangkut masa pembangunan uma, kecelakaan, merebaknya wabah penyakit, atau adanya pembunuhan. Selama pelaksanaan lia dan punen, masyarakat tidak diperbolehkan bekerja. Sedangkan kegiatan makan dan minum masih diizinkan untuk dilakukan.[2] Lia tergolong sebagai upacara kecil yang dalam perayaannya tidak disertai acara seperti berburu hewan atau pementasan tari-tarian. Lia dan punen pun ada beragam macamnya, misalnya lia sagu dan lia sapuo, kemudian untuk punen di antaranya ada punen matutu, punen, lalai angalou, punen pangambok, dan punen abinen.[6]

Bagi orang Mentawai penganut Arat Sabulungan, ritual dalam daur hidupnya sudah dilakukan sejak seseorang baru dilahirkan ke dunia. Pangabela adalah ritual pertama yang dilakukan oleh seseorang sesaat setelah lahir sebagai bayi. Tujuannya, memperkenalkan sang bayi dengan alam serta roh-roh di dalamnya. Dengan pangabela seorang bayi diharapkan terhindar dari penyakit dan keberadaannya tidak menimbulkan gangguan bagi roh-roh. Pangabela dilakukan tiga hari setelah kelahiran dengan memberi sang bayi makanan dan memandikannya di sungai hingga kulitnya memucat karena kedinginan. Setelahnya, dibawakanlah api di suluh dan tanaman-tanaman jenis tertentu untuk ditanam. Ibu sang bayi kemudian membawa anaknya pulang ke rumah sambil menuangkan air sungai di sepanjang jalan. Tak lupa, api yang dibawa dengan suluh juga ikut dibawa. Untuk memberikan nama untuk bayi pun diperlukan ritual khusus yang disebut pangambok. Ritual yang disertai penyembelihan hewan kurban berupa ayam atau babu ini si bayi akan mendapatkan nama Mentawainya.[4]

Seiring waktu dengan bertambah usia orang Mentawai, ritual akan kembali diadakan untuk menjadikan seseorang yang beranjak remaja memiliki kemampuan untuk menang hewan, baik itu lewat berburu di hutan atau menangkap ikan di sungai. Bagi anak laki-laki, upacara ini disebut eneget sementara untu perempuan adalah sogunei.[4]

Jika orang Mentawai anak menikah, ritual khusus kembali digelar dengan nama pangurei yang beruapa acara makan bersama antara mempelai pria dan perempuan. Dilakukan pula pemberian persembahan berupa seekor ayam dan telur serta babi. Pelaksanaan pangurei ini mengalami perubahan setelah dianutnya agama-agama dari luar. Pangurei dewasa ini disertai dengan doa-doa dari agama yang dianut dan terkadang digelar setelah pernikahan digelar, bahkansaat kedua mempelai sudah memiliki anak.[4]

Dalam kematian sebagai tahap terakhir dari daur hidup manusia di dunia, kepercayaan Arat Sabulungan memiliki ritual untuk membersihkan rumah dari pengaruh roh orang yang meninggal itu. Ritual tersebut berupa acara memercikkan rumah orang yang meninggal dengan air. Selain itu, barang-barang milik orang yang meninggal juga dikeluarkan dari rumah dengan harapan roh orang yang meninggal tidak datang lagi untuk mengambilnya. Seperti beragam ritual Arat Sabulungan lain, ritual kematian ini juga sudah dipengaruhi pengaruh agama yang datang dari luar. Air yang dipercikkan misalnya, digunakan air suci yang telah diberkati oleh imam. Doa-doa yang dibacakan pun juga berupa doa katolik.[4]

Pantangan Sehari-hari

[sunting | sunting sumber]

Pantangan atau keikei juga lekat sekali dengan kehidupan orang Mentawai yang memegang kepercayaan Arat Sabulungan. Ada banyak pantangan yang dikenal dan tidak boleh dilakukan dalam aktivitas sehari-hari mulai dari menyagu, beterna babi, berburu, membuat obat, dan membuat sampan. Jika akfitas itu diwarnai sebuah insiden atau nasib kurang baik seseorang, adahal hal biasa jika orang Mentawai menganggap penyebabnya adalah adanya pantangan yang dilanggar.[4]

Pantangan ini masih terkait dengan keyakinan terhadap roh-roh dan keharusan untuk hidup selaras dengannya di dunia. Nasib kurang baik bermula dari pantangan yang dilanggar sehingga roh-roh merasa terganggu oleh tindakan yang mencelakai mereka. Begitupun jika nasib baik menghampiri, itu dianggap karena roh-roh menunjukkan sikap yang menguntungkan mereka.[4]

Saat berburu di hutan contohnya, orang Mentawai perlu meminta izin kepada roh penjaga hutan agar roh-roh hewan buruan tidak taut dan mau menunjukkan dirinya kepada menusia. Mereka juga harus pergi diam-diam agar kegiatannya tidak diketahui roh jahat yang bisa mencelakai mereka. Di tengah perburuan pun tidak diperbolehkan adanya pertengkaran, orang yang marah-marah, atau pemukulan terhadap anjing yang dibawa berburu. Setelah mendapatkan hasil buruan, daging hewan disisihkan sebagian sebagai persembahan kepada roh-roh nenek moyang. Tulang tengkorak hewan buruan juga digantung di beranda uma agar roh-roh hewan ini bisa memanggil kawan-kawannya dan manusia bisa mendapat hewan buruan kembali.[4]

Tidak hanya bagi orang Mentawai yang sepenuhnya menganut Arat Sabulungan, prinsip untuk tidak melanggar pantangan juga tetap dipegang orang yang sudah menganut agama dari luar seperti Katolik, Protestan, dan Islam. Mereka tetap beribadah menurut agama-agama Samawi, namun di sisi lain pantangan-pantangan yang ada pun tetap dijaga. Bahkan akibat yang muncul dari pelanggaran atas pantangan dirasa lebih menakutkan ketimbang pelanggaran ajaran agama.[4]

Tradisi lain yang lekat dengan kepercayaan Arat Sabulungan adalah tato. Penganutnya meyakini bahwa tato tidak boleh lepas dari kehidupan orang Mentawai. Tato yang disebut titi memiliki berbagai ragam motif yang menunjukkan identitas klan. Cara membuatnya mengandalkan tinta dari arang kayu atau bekas pembakaran yang dihaluskan lalu dicampur perasan tebu. Duri atau jarum kemudian dicelupkan pada tinta tadi lalu ditusukkan ke lapisan kulit.[7]

Motif tato yang digambar pada tubuh seseorang tidak bisa dipilih sembarangan karena setiap gambar memiliki maknanya sendiri. Gambar tato bisa berarti banyak hal mulai dari tempat asal, status sosial, hingga penanda seberapa hebat seseorang dalam berburu. Selain itu, orang Mentawai juga percaya tato merupakan pencaran roh dari kehidupan mereka. Orang Mentawai bisa membuat tato di sekujur tubuhnya, mulai dari mata kaki, jari, dada rusuk, leher, hingga pipi. Tato Mentawai dianggap sebagai tato tertua di dunia mendahului tato Mesir yang sudah ada pada tahun 1300 sebelum masehi.[7]

Bukan sekadar kebiasaan, tato bagi orang Mentawai bisa dibilang sebagai pakaian abadi yang dibawa hingga mati. Ada pula yang menyebut tato akan berguna untuk orang yang sudah meninggal agar bisa saling mengenal leluhur mereka. Untuk menato tubuh juga tidak bisa sembarangan karena ada proses adat yang harus diikuti.[8]

Seseorang baru boleh menato tubuh ketika anak berusia 11 sampai 12 tahun. Sikerei dan rimata (kepala suku) akan dipanggil oleh orang tua untuk menentukan waktu penentuan dilakukannya proses penatoan. Setelah waktu disepakati, langkah berikutnya adalah memilih sipatiti alias seniman tato yang akan menjalankan prosesnya dengan imbalan seekor babi.[8]

Perkembangan dan Dinamika

[sunting | sunting sumber]

Masuknya pengaruh dari luar ke Mentawai turut berpengaruh terhadap keberadaan Arat Sabulungan. Pada perkembangannya, Arat Sabulungan tidak lagi dilaksanakan secara formal. Terlebih setelah hadirnya agama-agama baru, posisi Arat Sabulungan menjadi semakin terpojok pada tahun 1950-an.[3] Agama-agam baru punya pengaruh besar di Mentawai, terutama Protestan yang memiliki jumlah penganut terbanyak. Berdasarkan Data Sensus Penduduk Kabupaten Mentawai tahun 2010, agama Protestan menjadi yang terbanyak dianut oleh masyarakat dengan persentase 50,32 persen, disusul oleh Katolik (36,62 persen), dan Islam (16,57 persen).[4]

Program pengenalan agama baru dari luar Mentawai sudah tercatat ada sejak awal abad ke-20. Adalah R.M.G (Reinise Zending Mission Geselschaft) yang sudah mulai bekerja menyebarkan agama Kristen di Mentawai sejak tahun 1901. Upaya pengkristenan ini semakin masif hingga bergulirnya Perang Dunia Kedua. Selain agama Kriten, Islam juga disebarkan olah mualim-mualim Muslim yang menjalankan misi memualafkan orang Mentawai sejak masa pendudukan Jepang.[9]

Selepas kemerdekaan Indonesia, giliran Zending Batak yang menjalankan misi perluasan agama pada akhir tahun 1951.[9] Awalnya, kehadiran agama baru menuai pertentangan dari masyarakat Mentawai. Perlawanan fisik bahkan tidak terhindarkan karena mereka merasa sudah punya agama yang dijadikan pegangan hidup. Meski demikian, kemudian yang terjadi adalah sejumlah penduduk ditangkap dan dipaksa meninggalkan Arat Sabulungan lalu memeluk agama baru. Arat Sabulungan yang dianggap sebagai kepercayaan sesat pun harus rela segala atributnya dihancurkan. Ancaman dan pemaksaan yang ada sempat membuat masyarakat takut untuk melaksanakan ritual. Namun, Mentawai bagian Siberut masih mempertahankan kepercayaannya dengan gigih sementara di wilayah lain tradisinya telah meluntur.[3]

Pemberangusan Arat Sabulungan mencapai puncaknya pada tahun 1954. Kala itu digelar Rapat Tiga Agama yang melibatkan pihak Kristen Protestan, Islam, dan Arat Sabulungan. Rapat digelar di tiap-tiap kecamatan menjelang lahirnya tiga keputusan yang sekaligus semakin membenamkan Arat Sabulungan. Ketiga keputusan tersebut adalah sebagai berikut:[9]

  • Agama Sabulungan harus dihapuskan dengan paksa dengan pertolongan polisi.
  • Dalam tempo tiga bulan masyarakat diberi kebebasan untuk memilih agama Kristen Protestan atau Islam bagi penduduk asli atau penganut Arat Sabulungan.
  • Kalau dalam tempo tersebut tidak juga memilih, maka semua alat-alat pujaan agama Sabulungan harus dibakar polisi dan diancam dijatuhi hukuman.

Adalah Surat Keputusan No. 167/PROMOSI/1954 tentang pembentukan Panitia Interdepartemental Peninjauan Kepercayaan-kepercayaan di dalam Masyarakat (Panitia Interdep Pakem) yang menjadi dasar pemerintah menyatakan Arat Sabulungan sebagai kepercayaan terlarang pada tahun 1954. SK itu berisi aturan yang bertujuan untuk menertibkan macam-macam adat perkawinan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama resmi negara dan dikeluarkan oleh Perdana Menteri Republik Indonesia, Ali Sastroamidjojo. Tidak hanya Arat Sabulungan, SK itu juga berlaku untuk banyak aliran kepercayaan lain di Indonesia.[10]

Pada 1955, orang Mentawai dihadapkan keharusan untuk memeluk satu dari agar, yang diajukan. Tradisi Arat Sabulungan pun tidak bisa dilakukan lagi, misalnya ritual yang melibatkan sikerei, pemakaian tato tradisional, atau meruncingkan gigi sebagai bagian dari ritus. Untuk semakin menghapus budaya Arat Sabulungan, pemerintah juga menggerakan program transmigrasi lokal. Penganut Arat Sabulungan pun hanya tersisa di Pulau Siberut karena pulau yang menjadi pusat kebudayaan lokal itu sulit untuk dijangkau.[10]

Kebebasan orang Mentawai untuk melaksanakan ritual dan mempraktikkan tradisi Arat Sabulungan baru didapat lagi pada tahun 1980-an setelah perwakilan masyarakat menemui pemerintah provinsi Sumatera Barat di Padang untuk menanyakan perihal pelarangan yang sebelumnya diterapkan. Pihak pemerintah provinsi Sumatera Barat kemudian justru menyatakan bahwa mereka tidak pernah menerapkan larangan tersebut. Akhirnya, orang Mentawai bisa menjalani kembali tradisi budayanya tanpa takut dengan tekanan.[10]

Kini, orang Mentawai telah banyak yang menganut agama-agama yang berasal dari luar. Agama itu pula yang secara formal tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk masyarakat. Meski demikian, adat dan tradisi Arat Sabulungan masih tetap ada dengan berbagai perubahannya sebagai sebuah kearifan lokal. Masyarakat mengenal tuhan sesuai dengan ajaran agama yang dianut, namun di sisi lain kepercayaan terhadap roh-roh seperti di masa lalu juga tetap dipegang.

Selain karena masuknya agama-agama dari luar, perubahan dalam tradisi Arat Sabulungan juga dipengaruhi oleh faktor pariwisata. Beberapa aspek budaya mengalami perubahan karena menyesuaikan diri dengan kebutuhan pariwisata bagi para pelancong yang datang ke Mentawai. Salah satunya adalah kesenian Turuk Langgai. Dulunya, turuk langgai biasa diadakan dalam pesta-pesta seperti pernikahan atau pendirian uma, namun kini tarian itu biasa diadakan untuk menyambut wisatawan yang datang.[4]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Schefold 1980; Schefold 1988, hlm. 5–22.
  2. ^ a b c d e f g h i "Arat Sabulungan; Kepercayaan Orang Mentawai". WACANA (dalam bahasa Inggris). 2013-05-16. Diakses tanggal 2019-04-09. [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ a b c d e f g "Arat Sabulungan, Agama Asli Mentawai yang Nyaris Punah". Sportourism.id. Diakses tanggal 2019-04-09. [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Kornelius Glossanto, (2019), Sabulungan dalam Tegangan Identitas Budaya: Kajian atas Religi Orang Mentawai di Siberut Selatan,Tesis Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Hal.39-101.
  5. ^ "Kisah Penggulungan Arat Sabulungan, Agama Asli Mentawai | Padangkita.com". Berita Sumatera Barat Terkini. 2017-11-08. Diakses tanggal 2019-04-09. 
  6. ^ Tresno, (2017), Ute' Simegre (Tengkorak bagi Roh): Hubungan Masyarakat dengan Primata Endemik di Mentawai, Jurnal Antropologi: Isu-isu Sosial Budaya, Juni 2017. Vol. 19 (1), Hal. 73-74.
  7. ^ a b Noviyanti, Sri (ed.). "Mengenal Tato Mentawai, Seni Rajah Tertua di Dunia - pesonaindonesia.kompas.com". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-04-10. 
  8. ^ a b Subhanie, Dzikry. "Mengenal Sejarah dan Keunikan Tato Mentawai". Sindonews.com. Diakses tanggal 2019-04-14. 
  9. ^ a b c "Kisah Penggulungan Arat Sabulungan, Agama Asli Mentawai | Padangkita.com". Berita Sumatera Barat Terkini. 2017-11-08. Diakses tanggal 2019-04-10. 
  10. ^ a b c Febrianti - (2018-08-12). "Aman Boroi Ogok berdamai dengan agama" Diarsipkan 2019-04-10 di Wayback Machine.. https://beritagar.id/. Diakses tanggal 2019-04-10.

Kepustakaan

[sunting | sunting sumber]
  • Schefold, Reimar (1980). Spielzeug für die Seelen — Kunst und Kultur der Mentawai-Inseln (Indonesien) (dalam bahasa Jerman). Zürich: Museum Rietberg. 
  • Schefold, Reimar (1988). "De wildernis als cultuur van gene ziijde: tribale concepten van "natuur" in Indonesiο". Antropologische verkenningen (dalam bahasa Belanda). 7 (4): 5–22. 
  • Tresno (2017). Ute' Simegre (Tengkorak bagi Roh): Hubungan Masyarakat dengan Primata Endemik di Mentawai. Jurnal Antropologi: Isu-isu Sosial Budaya. Juni 2017. 19 (1): 73-74.