Lompat ke isi

Seni rupa Kristen

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Para bidan memandikan bayi Yesus, mosaik di Biara Dafni, Yunani, dari sekitar tahun 1100

Seni rupa Kristen adalah seni rupa agamawi yang menggarap tema-tema dan citraan-citraan dari agama Kristen. Kebanyakan denominasi Kristen memanfaatkan atau pernah memanfaatkan seni rupa sampai taraf tertentu, meskipun ada denominasi-denominasi yang sangat menentang pemanfaatan beberapa bentuk citra agamawi, dan ikonoklasme pernah beberapa kali mengemuka dalam perjalanan sejarah agama Kristen.

Citra-citra Yesus dan adegan-adegan naratif dari riwayat hidup Kristus merupakan subjek-subjek yang paling umum dijumpai. Adegan-adegan dari Kitab Suci Perjanjian Lama juga mendapat tempat di dalam kekayaan seni rupa kebanyakan denominasi Kristen. Citra-citra Perawan Maria dan orang-orang kudus lebih lazim dijumpai di dalam seni rupa Kristen Katolik dan Kristen Ortodoks daripada seni rupa Kristen Protestan.

Agama Kristen jauh lebih banyak memanfaatkan citra dibanding agama-agama kerabatnya yang mengharamkan representasi figuratif, misalnya agama Islam dan agama Yahudi. Meskipun demikian, anikonisme juga pernah mewarnai sejarah agama Kristen.

Permulaan

[sunting | sunting sumber]
Perawan dan Kanak-Kanak, lukisan dinding dari abad ke-4 di katakombe, Roma

Karya-karya seni rupa Kristen purba yang masih lestari sampai sekarang dihasilkan tidak lama sesudah kemunculan perdana agama Kristen. Karya seni pahat Kristen tertua ditemukan pada sarkofagus-sarkofagus yang diperkirakan berasal dari abad ke-2, sementara karya-karya seni lukis Kristen tertua ditemukan pada dinding makam di katakombe-katakombe kota Roma. Lukisan-lukisan tersebut memperlihatkan evolusi penggambaran sosok Yesus, suatu proses yang baru rampung pada abad ke-6, yakni abad ketika citraan sosok Yesus yang konvensional mulai ditampilkan lewat seni rupa secara sangat konsisten.

Sebelum Kaisar Konstantinus Agung menerima agama Kristen, langgam dan ikonografi seni rupa Kristen masih mengikuti langgam dan ikonografi seni rupa Romawi yang populer ketika itu. Sesudah sang kaisar masuk Kristen, gedung-gedung Kristen yang dibangun megah dengan dukungannya memunculkan kebutuhan akan versi-versi Kristen dari seni rupa yang berkembang di kalangan elit dan pejabat negara Kekaisaran Romawi. Mosaik-mosaik di dalam gereja-gereja kota Roma merupakan contoh-contohnya yang paling menonjol. Seni rupa Kristen memang terlibat, tetapi bukan penyebab peralihan dari langgam klasik warisan seni rupa Yunani Kuno ke langgam hieratis dengan ciri kurang realis dan tak-membumi yang menjadi awal dari seni rupa Gothik.

Abad Pertengahan

[sunting | sunting sumber]
Kristus Pantokrator, mosaik berlanggam Bizantin dari akhir abad ke-13 di Haya Sofia

Sebagian besar karya seni Abad Kuno yang terlestarikan di Eropa sesudah tumbangnya Kekaisaran Romawi Barat adalah karya-karya seni Kristen. Kesinambungan kepemilikan bangunan gereja adalah adalah faktor utama di balik terselamatkannya karya-karya seni gerejawi dalam jumlah yang lebih besar daripada karya-karya seni sekuler. Sekalipun struktur politik Kekaisaran Romawi Barat porak poranda sesudah Roma didaulat bangsa barbar, hierarki Gereja di kota itu, yang sekarang lazim disebut Gereja Katolik Roma, masih terus memesan dan mendanai pembuatan karya-karya seni agamawi.

Gereja Ortodoks di Konstantinopel, yang lebih stabil keadaannya karena berkiprah di wilayah Kekaisaran Romawi Timur, adalah pihak yang berjasa memprakarsai pembuatan citra-citra khas Kristen dan menegakkan syiar agama Kristen di kawasan itu. Ketika tatanan kemasyarakatan yang stabil terbina di kawasan barat Eropa pada Abad Pertengahan, Gereja Katolik pun tampil menjadi pelopor di bidang seni rupa dengan menggunakan sumber-sumber dayanya untuk mendanai pembuatan karya-karya seni lukis dan seni pahat.

Dalam perkembangan seni rupa Kristen di Kekaisaran Romawi Timur, cita rasa seni yang lebih mujarad muncul menggeser kaidah-kaidah naturalisme peninggalan seni rupa Helenistik. Langgam baru ini bersifat hieratis, yang berarti tujuan utamanya adalah menyampaikan makna agamawi alih-alih menampilkan sosok manusia atau objek secara akurat. Perspektif, proporsi, pencahayaan, dan warna naturalisme diabaikan demi simplifikasi geometris bentuk-bentuk, perspektif terbalik, dan konvensi-konvensi baku dalam menghadirkan citra manusia maupun gambaran peristiwa. Kontroversi seputar pemanfaatan citra-citra pahatan, tafsir atas butir kedua dari Dasatitah, dan krisis Ikonoklasme Romawi Timur bermuara pada pembakuan citraan-citraan agamawi di kalangan Kristen Ortodoks Timur.

Renaisans dan awal zaman modern

[sunting | sunting sumber]
Perjamuan Terakhir, karya Leonardo da Vinci, 1498

Kejatuhan Konstantinopel pada tahun 1453 menghentikan peningkatan mutu karya seni rupa Romawi Timur yang diproduksi sanggar-sanggar perupa kekaisaran di kota itu. Seni rupa Kristen Ortodoks, yang disebut seni ikon tanpa membedakan media yang digunakan, tetap lestari sampai sekarang, nyaris tanpa perubahan subjek maupun gaya. Rusia lambat laun menjadi pusat produksi karya seni rupa Kristen Ortodoks yang terkemuka.

Di belahan Dunia Barat, jumlah karya seni rupa sekuler mengalami peningkatan pada masa Renaisans, meskipun karya-karya seni rupa Kristen masih tetap diproduksi dalam jumlah besar atas pesanan gereja-gereja, kaum rohaniwan, dan para menak. Reformasi Protestan berdampak besar terhadap seni rupa Kristen. Di Jerman, Martin Luther mengizinkan dan menganjurkan pemasangan citra-citra agamawi di gereja-gereja, meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit daripada yang sudah-sudah, karena ia berpandangan bahwa gereja Lutheran yang berasaskan Injil adalah kelanjutan dari "Gereja rasuli purba".[1] Karya-karya seni altar Lutheran (misalnya lukisan Perjamuan Terakhir dari tahun 1565, karya Lucas Cranach Muda) dihasilkan di Jerman, khususnya oleh Lucas Cranach, sahabat Martin Luther, untuk menggantikan karya-karya seni altar Katolik. Karya seni altar Lutheran sering kali menampilkan potret para tokoh Reformasi Protestan. Tokoh-tokoh tersebut ditampilkan sebagai para rasul maupun sebagai protagonis lain. Meskipun demikian, karya-karya seni altar Lutheran tetap menampilkan penggambaran sosok Yesus yang tradisional. Dengan demikian, "ibadat Lutheran menjadi suatu koreografi ritual kompleks yang dipentaskan di dalam ruangan gereja berinterior mewah."[2] Umat Lutheran menggunakan krusifiks dengan bangga demi menonjolkan Teologi Salib yang mereka usung.[1][3] Jadi bagi umat Lutheran, "Reformasi Protestan itu memperbaharui, bukannya menyingkirkan citra agamawi."[4] Di lain pihak, umat Kristen yang berlatar belakang Kalvinis pada umumnya ikonoklastis. Umat Kalvinis menghancurkan citra-citra agamawi yang sudah ada, dan biasanya cuma menghasilkan lebih banyak citra agamawi dalam bentuk ilustrasi buku.[1]

Para perupa menerima lebih banyak pesanan karya-karya seni bergenre sekuler seperti potret, lukisan pemandangan, dan subjek-subjek dari Mitologi Klasik (karena kebangkitan Neoplatonisme). Di negeri-negeri Katolik, produksi seni rupa agamawi terus berlanjut, bahkan meningkat semasa Kontra Reformasi. Meskipun demikian, seni rupa Katolik mulai dikekang hierarki Gereja dengan pengawasan yang lebih ketat daripada yang sudah-sudah. Sejak abad ke-18, jumlah karya seni agamawi yang dihasilkan perupa terkemuka merosot tajam, sekalipun para perupa masih menerima pesanan-pesanan penting, dan sejumlah perupa masih terus menghasilkan karya-karya seni rupa agamawi dalam jumlah yang banyak atas inisiatif pribadi.

Zaman modern

[sunting | sunting sumber]

Ketika gagasan tentang seni rupa yang bersifat sekuler, nonsektarian, dan universal muncul di Eropa Barat pada abad ke-19, karya-karya seni rupa Kristen dari Abad Kuno dan Abad Pertengahan mulai dikumpulkan untuk diapresiasi alih-alih untuk digunakan sebagai sarana ibadat, sementara karya-karya seni rupa Kristen kontemporer dianggap marginal. Adakalanya para perupa sekuler menggarap tema-tema Kristen (Bouguereau, Manet), tetapi jarang ada perupa Kristen yang masuk dalam jajaran perupa terkemuka dalam sejarah seni rupa (misalnya Rouault atau Stanley Spencer). Meskipun demikian, banyak perupa modern seperti Eric Gill, Marc Chagall, Henri Matisse, Jacob Epstein, Elizabeth Frink dan Graham Sutherland telah menghasilkan karya-karya seni yang terkenal untuk gereja-gereja.[5] Salvador Dali adalah salah seorang perupa yang turut menghasilkan karya-karya seni terkemuka dan populer dengan tema-tema Kristen.[6] Perupa kontemporer seperti Makoto Fujimura memiliki pengaruh yang signifikan di bidang seni rupa agamawi maupun seni rupa sekuler. Perupa-perupa lain yang juga menonjol adalah Larry D. Alexander dan John August Swanson. Sejumlah penulis, misalnya Gregory Wolfe, memandang kenyataan ini sebagai bagian dari kelahiran kembali humanisme Kristen.[7]

Seni rupa devosional populer

[sunting | sunting sumber]

Sejak mesin cetak diciptakan, penjualan reproduksi karya-karya seni agamawi menjadi salah satu unsur penting dari budaya populer Kristen. Pada abad ke-19, reproduksi karya-karya seni agamawi yang diperdagangkan mencakup karya pelukis-pelukis genre seperti Mihály Munkácsy. Penemuan litografi berwarna menjadi pangkal dari meluasnya peredaran kartu doa. Pada zaman modern, perusahaan-perusahaan yang khusus memperdagangkan karya-karya perupa Kristen komersial seperti Thomas Blackshear dan Thomas Kinkade, kendati karya-karya tersebut secara luas dianggap sebagai kitsch di dunia seni rupa murni,[8] telah menjadi perusahan-perusahaan yang sangat sukses.

Contoh langka arca Ortodoks Abad Pertengahan dari Rusia

Subjek-subjek yang sering dijumpai dalam seni rupa Kristen adalah sebagai berikut:

Baca juga

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c Lamport, Mark A. (31 Agustus 2017). Encyclopedia of Martin Luther and the Reformation (dalam bahasa English). Rowman & Littlefield Publishers. hlm. 138. ISBN 9781442271593. Umat Lutheran masih tetap beribadat di dalam gereja-gereja pra-Reformasi, pada umumnya dengan segelintir perubahan pada interior. Bahkan pernah muncul pernyataan bahwa di Jerman, sampai hari ini, orang lebih banyak mendapati karya-karya seni altar kuno bertema Bunda Maria di dalam gereja-gereja ketimbang di dalam gereja-gereja Katolik. Jadi di Jerman dan Skandinavia, banyak karya seni rupa dan arsitektur Abad Pertengahan yang terlestarikan. Joseph Leo Koerner pernah mengemukakan bahwa umat Lutheran, karena memandang dirinya berada di dalam tradisi Gereja rasuli purba, berusaha mempertahankan sekaligus mereformasi pemanfaatan citra-citra. "Gereja yang kosong terputihbersihkan dinyatakan sebagai kultus yang sepenuhnya terohanikan, bertentangan dengan doktrin Martin Luther tentang kehadiran nyata Kristus di dalam sakramen-sakramen" (Koerner 2004, 58). Nyatanya, pada abad ke-16, sejumlah penentangan paling keras terhadap perusakan citra-citra justru bukan berasal dari umat Katolik melain dari umat Lutheran terhadap umat Kalvinis. "Wahai kamu sekalian Kalvinis hitam, kamu mengizinkan orang meremukkan citra-citra kami dan menetak salib-salib kami, kami akan balas meremukkan kamu dan imam-imam Kalvinis kamu" (Koerner 2004, 58). Karya-karya seni masih tetap dipajang di dalam gereja-gereja Lutheran, sering kali disertai sebuah krusifiks yang besar dan megah di area panti imam, jelas merujuk kepada theologia crucis Martin Luther. ... Sebaliknya, gereja-gereja Reformed (Kalvinis) sangat jauh berbeda. Lazimnya tidak dihiasi dan terkesan tidak berestetika. Nyaris tidak ada gambar-gambar, arca-arca, dan karya-karya seni altar yang indah-indah. Hanya ada satu dua buah lilin, bahkan tidak ada lilin sama sekali. Nyaris tidak ada juga krusifiks maupun salib. 
  2. ^ Spicer, Andrew (5 Desember 2016). Lutheran Churches in Early Modern Europe (dalam bahasa English). Taylor & Francis. hlm. 237. ISBN 9781351921169. Ketika tumbuh dan berkembang di kawasan timur laut Jerman, ibadat Lutheran menjadi suatu koreografi ritual kompleks yang dipentaskan di dalam ruangan gereja berinterior mewah. Hal ini sangat terbukti dari lukisan latar belakang sebuah epitaf yang dikerjakan pada tahun 1615 oleh Martin Schulz untuk Nikolaikirche di Berlin (lihat gambar 5.5.). 
  3. ^ Marquardt, Janet T.; Jordan, Alyce A. (14 Januari 2009). Medieval Art and Architecture after the Middle Ages (dalam bahasa English). Cambridge Scholars Publishing. hlm. 71. ISBN 9781443803984. Nyatanya umat Lutheran kerap membenarkan tindakan meneruskan pemanfaatan krusifiks-krusifiks Abad Pertengahan dengan dalil-dalil yang sudah dipakai sejak Abad Pertengahan, terbukti dari krusifiks pada altar Salib Suci di gereja Sistersien Doberan. 
  4. ^ Dixon, C. Scott (9 Maret 2012). Contesting the Reformation (dalam bahasa English). John Wiley & Sons. hlm. 146. ISBN 9781118272305. Menurut Koerner, yang menggeluti seni rupa Lutheran, Reformasi Protestan sesungguhnya memperbaharui alih-alih menyingkirkan citra agamawi. 
  5. ^ Beth Williamson, Christian Art: A Very Short Introduction, Lembaga Pers Universitas Oxford (2004), page 110.
  6. ^ "Dali and Religion" (PDF). National Gallery of Victoria, Australia. 
  7. ^ Wolfe, Gregory (2011). Beauty Will Save the World: Recovering the Human in an Ideological Age. Intercollegiate Studies Institute. hlm. 278. ISBN 978-1-933859-88-0. 
  8. ^ Cynthia A. Freeland, But Is It Art?: An Introduction to Art Theory, Lembaga Pers Universitas Oxford (2001), hlm. 95

Sumber rujukan

[sunting | sunting sumber]
  • Grabar, André (1968). Christian iconography, a study of its origins. Lembaga Pers Universitas Princeton. ISBN 0-691-01830-8. 
  • Régamey, Pie-Raymond (1952). Art sacré au XXe siècle? Éditions du Cerf.
  • Jean Soldini, Storia, memoria, arte sacra tra passato e futuro, dalam Sacre Arti, oleh Flaminio Gualdoni (penyunting), Tristan Tzara, S. Yanagi, Titus Burckhardt, Bologna, FMR, 2008, hlmn. 166–233.

Bahan bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]