Lompat ke isi

Syuaib

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Nabi
Syu'aib
شعيب

'alaihissalam
Kaligrafi Syu'aib khatibul-anbiya'
'alaihis-salam
Makam
  • Wadi Syu'aib, Yordania
  • Makam Nabi Syu'aib di Galilea Hilir
  • Desa Guriyeh, Iran barat daya
  • Semenanjung Sinai
  • Sebelah barat Ka'bah
  • Jabal Nabi Syu'aib, Yaman
Tempat tinggalArab barat laut
Nama lainYitro(?)
GelarKhatibul-anbiya' (juru bicara para nabi)
PendahuluAyyub
Pengganti
KerabatKaum Madyan

Syu'aib (bahasa Arab: شعيب) adalah tokoh dalam Al-Qur'an, yakni seorang rasul yang diutus untuk berdakwah kepada kaum Madyan. Dalam daftar 25 nabi, biasanya dia disebutkan setelah Luth dan sebelum Musa. Syu'aib sering dianggap orang yang sama dengan Yitro, mertua Musa, meski beberapa menolak pandangan tersebut.

Dan kepada penduduk Madyan, (Kami telah mengutus) saudara mereka Syu'aib, dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah, harapkanlah (pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di bumi berbuat kerusakan."

Nama Syu'aib disebutkan dalam Al-Qur'an sebanyak sebelas kali[a] dan kisahnya disebutkan pada Surah Al-A'raf (07): 85-93, Hud (11): 84-95, Al-Hijr (15): 78-79, Asy-Syu'ara' (26): 176-191, dan Al-'Ankabut (29): 36-37. Sebagaimana para nabi yang lain, kisah Syu'aib dalam Al-Qur'an berpusat pada perjuangannya dalam menyeru kaumnya kembali ke jalan Allah.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Al-Qur'an tidak merincikan latar belakang Syu'aib selain menyebutkan bahwa dia berasal dari keluarga yang cukup terhormat di kalangan kaum Madyan,[1] sedangkan terdapat beberapa pendapat dari para ulama terkait masalah ini. Sebagian berpendapat bahwa Syu'aib adalah keturunan Ibrahim, silsilahnya adalah Syu'aib bin Yasyjun bin Lawi bin Shaifur bin 'Abqa bin Tsabit bin Madyan (Midian) bin Ibrahim. Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa silsilahnya adalah Syu'aib bin Maikal bin Yasyjun.[2] Ibnu Asakir berpendapat bahwa Syu'aib hidup sesudah masa Yusuf.[3]

Wahab bin Munabbih menyebutkan bahwa Syu'aib bukanlah keturunan Ibrahim, tapi pengikutnya sejak masih di Mesopotamia, saat itu Ibrahim belum memiliki anak. Dikatakan bahwa Syu'aib ikut hijrah ke Syam bersama kafilah Ibrahim dan menikah dengan anak perempuan Luth. Pendapat lain menyebutkan bahwa anak perempuan Luth adalah ibu Syu'aib, sebagian lain menyebutkan neneknya.[2]

Dalam beberapa ayat Al-Qur'an disebutkan bahwa Syu'aib diutus kepada kaum Madyan,[4][5][6] sedangkan ayat lain menjelaskan bahwa dia diutus pada penduduk Aikah (bahasa Arab: أَصْحَابُ ٱلْأَيْكَة, translit. ʾashḥabul-ʾaykah).[7] Sebagian menyebutkan bahwa penduduk Aikah sama dengan kaum Madyan, sedangkan yang lain berpendapat bahwa keduanya adalah dua kaum yang berbeda dan Syu'aib diutus untuk berdakwah pada dua kaum tersebut.[8]

Syu'aib menyeru agar mereka menyembah Allah semata dan bertakwa kepada-Nya, juga melarang tindakan buruk yang biasa mereka lakukan, yakni curang dalam berdagang dengan memanipulasi takaran dan timbangan, membuat ketakutan di tiap jalur perlintasan, dan menghalang-halangi orang untuk beriman.[9][10][11] Syu'aib juga menegaskan bahwa dia tidak berharap upah dari mereka atas dakwah yang dia lakukan.[12] Dalam Al-Qur'an, disebutkan bahwa Syu'aib mengatakan pada kaumnya, "Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu,"[13] menunjukkan bahwa Syu'aib memiliki mukjizat, tetapi tidak ada keterangan rinci mengenai mukjizat tersebut.[14]

Syu'aib juga memperingatkan supaya jangan sampai ada perselisihan antara dirinya dan mereka karena itu dapat membuat mereka berdosa dan ditimpa azab. Syu'aib juga mengingatkan kaumnya dengan azab yang telah menimpa kaum Nuh, Hud, Shaleh, dan menjelaskan bahwa kaum Luth tidak jauh dari mereka.[15] Terkait perkataan Syu'aib tentang kaum Luth, sebagian ulama menyebutkan maknanya adalah bahwa letak kaum Madyan tidak jauh dari kaum Luth. Pendapat lain menerangkan bahwa yang dimaksud adalah segi waktu, artinya kebinasaan kaum Luth masih belum lama dari zaman hidupnya kaum Madyan. Pendapat lain menyebutkan bahwa watak kaum Luth dan Madyan tidak jauh berbeda, yakni kebiasaan mereka dalam merampok dan merampas harta orang lain. Para ulama juga kerap menggunakan gabungan dari semua pendapat tersebut.[16]

Meski sebagian beriman kepada seruan Syu'aib, banyak juga kaum Madyan yang tidak mengindahkannya. Mereka menolak meninggalkan sesembahan yang telah disembah oleh leluhur mereka, juga bersikukuh untuk tetap mengelola harta sesuai kemauan mereka. Sebagai sindiran, mereka menyebut Syu'aib sebagai sosok yang penyantun dan pandai.[17] Ibnu Katsir menyebutkan bahwa kaum Madyan menyembah sebuah pohon besar yang disebut Aikah.[18]

Para pemuka kaum yang kafir dan pengikut mereka tidak hanya menolak ajakan Syu'aib, tapi juga melayangkan berbagai tekanan kepadanya. Syu'aib dituduh sebagai orang yang kena sihir.[19] Syu'aib dan para pengikutnya juga diancam akan diusir, kecuali jika mereka kembali pada agama kaum Madyan.[20] Para penentangnya menganggap Syu'aib sebagai pendusta dan meremehkannya lantaran dia hanya manusia biasa seperti mereka,[21] juga dianggap orang yang lemah dan tidak punya pengaruh. Mereka menyatakan bahwa jika bukan karena keluarganya, pasti Syu'aib sudah dirajam.[22] Pemuka kaum Madyan yang kafir juga balik menyeru orang-orang supaya jangan mengikuti Syu'aib agar tidak menjadi orang-orang yang rugi.[23] Lebih jauh, mereka meminta Syu'aib mendatangkan gumpalan dari langit untuk mengazab mereka sebagai bukti kebenaran seruan Syu'aib.[24]

Mendapat penentangan yang terus-menerus dari kaumnya, Syu'aib berkata, "Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat pula. Kelak kamu akan mengetahui pihak yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan pihak yang berdusta. Dan tunggulah! Sesungguhnya aku menunggu bersamamu."[25]

Pada akhirnya, kaumnya yang kafir ditimpa azab. Syu'aib sendiri selamat bersama para pengikutnya.[26] Keterangan mengenai azab yang diterima para penentang Syu'aib sebagaimana yang termaktub dalam beberapa ayat Al-Qur'an adalah:

Al-Qur'an menerangkan bahwa mereka mati bergelimpangan di rumah mereka sendiri dan seolah tempat tersebut belum pernah mereka tempati, juga dijelaskan bahwa kaum Madyan binasa sebagaimana kebinasaan kaum Tsamud.[31][32] Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya (1934) menuliskan, "Nasib kaum Madyan dijelaskan dengan istilah yang sama sebagaimana Tsamud pada ayat 78 di atas. Gempa bumi melanda mereka saat malam dan mereka terkubur di rumah mereka sendiri, tidak lagi mengganggu bumi Allah. Namun rincian tambahan disebutkan pada 26: 189, 'Ditimpa azab pada hari yang gelap,' yang mungkin dapat dipahami sebagai mandi abu dan arang yang menyertai letusan gunung berapi. Demikianlah hari kengerian membuat mereka masuk ke rumah mereka, dan gempa bumi menghabisi mereka."[33]

Al-Qur'an tidak menjelaskan mengenai kehidupan Syu'aib setelahnya. Wahab bin Munabbih berpendapat bahwa Syu'aib meninggal di Makkah.[3]

Kedudukan

[sunting | sunting sumber]
Kompleks makam Nabi Syu'aib di dekat Hittin, Galilea Hilir

Syu'aib termasuk nabi dan rasul dalam Islam. Sebagaimana para rasul yang lain, Syu'aib menyerukan agar kaumnya mengesakan Allah dan menghentikan perbuatan-perbuatan buruk mereka. Dia juga merupakan satu dari empat nabi yang berasal dari bangsa Arab.[34]

Dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda terkait Syu'aib, "Dia adalah juru bicara para nabi." Sebagian ulama menyebutkan Syu'aib disebut demikian lantaran kefasihan, tingkat bahasa, dan gaya bahasanya sangat tinggi dalam menyeru kaumnya agar beriman.[18]

Oleh umat Druze, Syu'aib dipandang orang yang sama dengan Yitro, mertua Musa. Dia dipandang sebagai pimpinan para nabi[35][36][37] dan leluhur umat Druze.[38][39] Makam Nabi Syu'aib di dekat Hittin di Galilea Hilir merupakan tempat paling suci dan tempat ziarah penting bagi umat Druze.[40][41] Setiap tahun tanggal 25 April, umat Druze berkumpul di tempat tersebut pada hari raya Ziyarat an-Nabi Syu'aib untuk membahas urusan masyarakat dan memperingati haul (peringatan kematian) Syu'aib dengan bernyanyi, menari, dan pesta.[42][43] Tempat ziarah kaum Druze yang lain berada di Ein Qiniyye yang dipandang sebagai makam dari saudari Syu'aib, Sit Syahwana.[44]

Menurut Tanakh (kitab suci Yahudi) dan Alkitab (kitab suci Kristen), kaum Madyan adalah keturunan dari Midian, putra dari Ibrahim dan Ketura.[45] Terdapat beberapa pendapat terkait kaum Madyan dan Aikah. Sebagian menyatakan bahwa mereka adalah sama, sedangkan pendapat lain menyebutkan bahwa mereka adalah dua kaum yang berbeda.

Sebagian ulama dan ahli tafsir, di antaranya adalah Qatadah, menyebutkan bahwa penduduk Aikah bukanlah kaum Madyan. Alasan yang dikemukakan:[46]

  • Saat menjelaskan bahwa Syu'aib diutus pada penduduk Aikah, Al-Qur'an tidak menjelaskan bahwa Syu'aib adalah saudara mereka. Saat berbicara terkait kaum Madyan, Syu'aib selalu disebutkan sebagai saudara mereka.
  • Keterangan mengenai azab yang menimpa kedua kaum tersebut berbeda. Disebutkan bahwa penduduk Aikah diazab pada hari yang gelap gulita, sedangkan siksaan yang menimpa kaum Madyan adalah keguncangan dan suara yang sangat keras.

Ibnu Katsir berpendapat bahwa kaum Madyan sama dengan penduduk Aikah. Alasannya:[8]

  • Terkait Syu'aib yang tidak disebutkan sebagai saudara penduduk Aikah, disebutkan bahwa ayat yang berbicara tentang penduduk Aikah membahas mengenai peribadatan penduduk Aikah, sehingga tidak tepat jika kata "saudara" disebut di sini.
  • Jenis aib dari penduduk Aikah yang disebutkan dalam Al-Qur'an sama dengan yang disebutkan pada kaum Madyan, seperti mengurangi timbangan dan takaran. Mereka kemudian dibinasakan dengan azab yang beraneka macam.

Arkeologi

[sunting | sunting sumber]

Arkeolog Amerika William G. Dever menyatakan bahwa Madyan berada di Semenanjung Arab barat laut, di pantai timur Teluk Aqaba di Laut Merah, sebuah wilayah yang menurutnya tidak pernah didiami secara luas sampai abad ke 8-7 SM.[47] Beberapa ahli berpendapat bahwa Madyan tidak merujuk pada satu tempat atau suku tertentu,[48][49] tetapi lebih kepada persekutuan suku-suku yang disatukan dengan tujuan peribadahan. Paul Haupt yang pertama berpendapat demikian pada tahun 1909,[50] menggambarkan Madyan sebagai "kultus bersama" atau perserikatan dari suku-suku yang berbeda di sekitar tempat kudus.

Beberapa literatur Muslim kerap menyamakan Syu'aib dengan mertua Musa yang berasal dari Madyan. Mertua Musa bernama Yitro dalam Tanakh dan Alkitab.[51] Dalam Al-Qur'an sendiri hanya dijelaskan bahwa ayah mertua Musa tinggal di Madyan, tanpa menjabarkan nama dan jati dirinya selain bahwa dia adalah penggembala yang telah berusia lanjut.[52]

Di antara ulama yang berpendapat bahwa Syu'aib dan mertua Musa merupakan orang yang sama adalah Hasan Al-Bashri dan Malik bin Anas.[53] Disebutkan bahwa Syu'aib hidup sangat lama setelah kaumnya yang kafir dihancurkan hingga dia berjumpa dengan Musa dan menikahkannya dengan putrinya. Pendapat lain menyebutkan bahwa mertua Musa adalah keponakan Syu'aib, sebagian mengatakan sepupunya, sebagian lain menyebutkan bahwa dia adalah salah satu orang yang beriman di kalangan kaum Syu'aib.[54]

Para penafsir modern menolak pandangan yang menyamakan kedua tokoh tersebut lantaran tidak adanya landasan kuat. Selain tidak adanya kesamaan nama, terdapat perbedaan dalam kronologi waktu. Syu'aib dipandang hidup tidak jauh dari masa Luth dan Luth hidup sezaman dengan Ibrahim. Yitro hidup sezaman dengan Musa dan Musa adalah keturunan Ibrahim. Ibrahim dan Musa terpisah jarak ratusan tahun.[55] Ibnu Katsir dalam tafsirnya berpendapat bahwa Syu'aib dan ayah mertua Musa adalah dua orang yang berbeda.[56]

Wadi Syuʿaib, Yordania

Terdapat beberapa tempat yang diyakini sebagai makam Syu'aib, di antaranya:

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Dalam Al-Qur'an, nama Syu'aib disebutkan sebelas kali, yakni pada surah:
    1. Al-A'raf (07): 85, 88, 90, 92 (2 kali)
    2. Hud (11): 84, 87, 91, 94
    3. Asy-Syu'ara' (26): 117
    4. Al-'Ankabut (29): 36
  1. ^ Hud (11): 91-92
  2. ^ a b Ibnu Katsir 2014, hlm. 300.
  3. ^ a b c Ibnu Katsir 2014, hlm. 316.
  4. ^ Al-A'raf (07): 85
  5. ^ Hud (11): 84
  6. ^ Al-'Ankabut (29): 36
  7. ^ Asy-Syu'ara' (26): 176-178
  8. ^ a b Ibnu Katsir 2014, hlm. 313-314.
  9. ^ Al-A'raf (07): 85-86
  10. ^ Hud (11): 84-86
  11. ^ Asy-Syu'ara' (26): 181-184
  12. ^ Asy-Syu'ara' (26): 180
  13. ^ Al-A'raf (07): 85
  14. ^ Ibnu Katsir 2014, hlm. 302.
  15. ^ Hud (11): 89
  16. ^ Ibnu Katsir 2014, hlm. 307.
  17. ^ Hud (11): 87
  18. ^ a b Ibnu Katsir 2014, hlm. 301.
  19. ^ Asy-Syu'ara' (26): 185
  20. ^ Al-A'raf (07): 88
  21. ^ Asy-Syu'ara' (26): 186
  22. ^ Hud (11): 91
  23. ^ Al-A'raf (07): 90
  24. ^ Asy-Syu'ara' (26): 187
  25. ^ Hud (11): 93
  26. ^ Hud (11): 94
  27. ^ Al-A'raf (07): 91
  28. ^ Al-'Ankabut (29): 37
  29. ^ Hud (11): 94
  30. ^ Asy-Syu'ara' (26): 189
  31. ^ Al-A'raf (07): 91-92
  32. ^ Hud (11): 94-95
  33. ^ Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Quran – English Translation of the Meaning and Commentary. King Fahd Holy Qur-an Printing Complex. Diakses tanggal 4 March 2017. 
  34. ^ Shahih Ibnu Hibban no. 361
  35. ^ Timothy Hogan (1 Mar 2012). Entering the Chain of Union. hlm. 213–14. ISBN 9781105594236. 
  36. ^ Sol Scharfstein (1 Jan 1994). Understanding IsraelPerlu mendaftar (gratis) (edisi ke-illustrated). KTAV Publishing House, Inc. hlm. 22. ISBN 9780881254280. 
  37. ^ Sandra Mackey (16 Mar 2009). Mirror of the Arab World: Lebanon in Conflict (edisi ke-illustrated, reprint). W. W. Norton & Company. hlm. 28. ISBN 9780393333749. 
  38. ^ Blumberg, Arnold (1985). Zion Before Zionism: 1838–1880. Syracuse, NY: Syracuse University Press. hlm. 201. ISBN 0-8156-2336-4. 
  39. ^ Rosenfeld, Judy (1952). Ticket to Israel: An Informative Guide. hlm. 290. 
  40. ^ Phil Karber (18 Jun 2012). Fear and Faith in Paradise: Exploring Conflict and Religion in the Middle East. Rowman & Littlefield Publishers. hlm. 86. ISBN 9781442214798. 
  41. ^ Norbert C. Brockman (13 Sep 2011). Encyclopedia of Sacred Places [2 volumes] (edisi ke-2, reprint, revised). ABC-CLIO. hlm. 259. ISBN 9781598846553. 
  42. ^ "Historical Sites". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-05-10. 
  43. ^ Rivka Gonen (2000). Biblical Holy Places: An Illustrated Guide (edisi ke-illustrated, reprint). Paulist Press. hlm. 212. ISBN 9780809139743. 
  44. ^ Rivka Gonen (2000). Biblical Holy Places: An Illustrated Guide (edisi ke-illustrated, reprint). Paulist Press. hlm. 85. ISBN 9780809139743. 
  45. ^ Kejadian 25: 1–2
  46. ^ Ibnu Katsir 2014, hlm. 313.
  47. ^ Dever, W. G. (2006), Who Were the Early Israelites and Where Did They Come From?, William B. Eerdmans Publishing Co., hlm. 34, ISBN 978-0-8028-4416-3 
  48. ^ William J. Dumbrell, Midian: A Land or a League?, Vetus Testamentum, Vol. 25, Fasc. 2, No. 2a. Jubilee Number (May, 1975), hlm. 323–337
  49. ^ Bromiley Geoffrey W. The International Standard Bible Encyclopedia. Wm. B. Eerdmans, 1996. ISBN 978-0-8028-3783-7. hlm. 350.
  50. ^ Paul Haupt, Midian und Sinai, Zeitschrift der Deutschen Morgenländischen Gesellschaft 63, 1909, hlm. 56, in German, quoted in Dumbrell accessed 1 August 2015
  51. ^ Keluaran 3: 1
  52. ^ Al-Qashash (24): 27-28
  53. ^ Tafsir Ath-Thabari (20/62)
  54. ^ Ibnu Katsir 2014, hlm. 442-443.
  55. ^ Abdullah Yusuf Ali: Holy Quran: Text, Translation and Commentary
  56. ^ Tafsir Ibnu Katsir, 6/228-229.
  57. ^ "Tomb of the Prophet Shoaib". Google Maps. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-12-28. Diakses tanggal 2007-04-27.  (31°57′35″N 35°42′57″E / 31.95972°N 35.71583°E / 31.95972; 35.71583)
  58. ^ Firro, K. M. (1999). The Druzes in the Jewish State: A Brief History. Leiden, The Netherlands: Brill Publishers. hlm. 22–240. ISBN 90-04-11251-0. 
  59. ^ Dana, N. (2003). The Druze in the Middle East: Their Faith, Leadership, Identity and Status. Sussex Academic Press. hlm. 28–30. 
  60. ^ Documents, Asare-Sabti web.archive.org Retrieved 17 Nov 2018
  61. ^ "Shuayb". The United States Naval Academy. Diakses tanggal 2006-10-30. 
  62. ^ Robert D. Burrowes (2010). Historical Dictionary of Yemen. Rowman & Littlefield. hlm. 5–340. ISBN 0-8108-5528-3. 
  63. ^ McLaughlin, Daniel (2008). "1: Background". Yemen. Bradt Travel Guides. hlm. 3. ISBN 978-1-8416-2212-5. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]