Lompat ke isi

Buddhisme dan ilmu pengetahuan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Agama Buddha dan ilmu pengetahuan telah semakin diperbincangkan sebagai dua hal yang serasi, dan agama Buddha telah memasuki dialog ilmu pengetahuan dan agama.[1] Hal tersebut didorong bahwa ajaran-ajaran filosofis dan psikologis dalam agama Buddha berbagi kesamaan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis modern. Misalnya, agama Buddha mendorong penyelidikan terhadap esensi yang netral (suatu tindakan yang disebut sebagai Dhamma-Vicaya dalam Kanon Pāli), objek utama penelitian adalah diri sendiri. Pada tahun 1993 sebuah model yang disimpulkan dari teori perkembangan kognitif Jean Piaget diterbitkan berpendapat bahwa Buddhisme merupakan suatu cara berpikir keempat[2] di luar kekuatan gaib, ilmu pengetahuan, dan agama.[3]

Agama Buddha telah digambarkan oleh beberapa kalangan sebagai rasional dan nondogmatis, dan terdapat bukti bahwa ini merupakan argumen dari periode paling awal dalam sejarahnya,[4] meskipun beberapa kalangan mengemukakan aspek ini diberi penekanan yang lebih besar di zaman modern dan sebagian merupakan penafsiran ulang.[5] Tidak semua bentuk agama Buddha menghindari dogma, tetap netral pada subjek supranatural, atau terbuka untuk penyingkapan-penyingkapan ilmiah. Agama Buddha merupakan sebuah tradisi dan aspek-aspek yang bervariasi mencakup fundamentalisme,[6] tradisi kebaktian,[7] dan permohonan kepada spirit lokal.[8] Namun demikian, beberapa kesamaan telah disebutkan antara penyelidikan ilmiah dan pemikiran Buddhis. Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14, dalam pidatonya pada pertemuan Society for Neuroscience,[9] mencantumkan "kecurigaan absolut" dan ketergantungan pada kausalitas dan empirisme sebagai prinsip filosofis umum yang dimiliki bersama antara agama Buddha dan ilmu pengetahuan.[10]

Agama Buddha dan psikologi

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1974, guru Buddhis Kagyu Chögyam Trungpa meramalkan bahwa "agama Buddha akan datang ke Barat sebagai psikologi". Pandangan ini tampaknya dianggap dengan skeptisisme yang besar pada saat itu, tetapi konsep-konsep Buddhis memang membuat sebagian besar penerobosan dalam ilmu-ilmu psikologis. Beberapa teori ilmiah modern, seperti psikologi Rogerian, menunjukkan kemiripan yang kuat dengan pemikiran Buddhis. Beberapa karya paling menarik tentang hubungan antara agama Buddha dan ilmu pengetahuan sedang dilakukan dalam bidang perbandingan antara teori-teori Yogacara teori mengenai gudang kesadaran dan biologi evolusioner modern, terutama DNA. Hal ini karena teori Yogacara tentang benih-benih karma bekerja dengan baik dalam menjelaskan masalah watak bawaan/pembinaan diri.[11][12][13]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Yong, Amos. (2005) Buddhism and Science: Breaking New Ground (review) Buddhist-Christian Studies - Volume 25, 2005, pp. 176-180
  2. ^ Kress, Oliver. "Oliver Kress - A new approach to cognitive development: ontogenesis and the process of initiation" – via www.academia.edu. 
  3. ^ Tambiah, Stanley Jeyaraja "Magic, Science and Religion and the Scope of Rationality" (Cambridge University Press 1990)
  4. ^ "Buddhist Scriptures: Kalama Sutta". Buddhanet.net. Diakses tanggal 2013-03-04. 
  5. ^ Snodgrass, Judith. (2007) Defining Modern Buddhism: Mr. and Mrs. Rhys Davids and the Pāli Text Society Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East - Volume 27, Number 1, 2007, pp. 186-202
  6. ^ "Journal of Buddhist Ethics ''A Review of Buddhist Fundamentalism and Minority Identities in Sri Lanka''". Buddhistethics.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 16, 2009. Diakses tanggal 2013-03-04. 
  7. ^ Safire, William (2007) The New York Times Guide to Essential Knowledge ISBN 0-312-37659-6 p.718
  8. ^ Deegalle, Mahinda (2006) Popularizing Buddhism: Preaching as Performance in Sri Lanka ISBN 0-7914-6897-6 p.131
  9. ^ "Talking Up Enlightenment." Christina Reed Scientific American, 6 February 2006
  10. ^ "The Neuroscience of Meditation." November 12, 2005 speech given by the Dalai Lama
  11. ^ Waldron, William S. (1995). How Innovative is the Ālayavijñāna?: The ālayavijñāna in the context of canonical and Abhidharma vijñāna theory. (accessed: Wednesday April 21, 2010).
  12. ^ Waldron, William S. (2002). Buddhist Steps to an Ecology of Mind: Thinking about 'Thoughts without a Thinker'. Source: [1] (accessed: Wednesday April 21, 2010).
  13. ^ Waldron, William S. (2003). The Buddhist unconscious: the ālaya-vijñāna in the context of Indian Buddhist thought. RoutledgeCurzon critical studies in Buddhism. Routledge. ISBN 0-415-29809-1, ISBN 978-0-415-29809-4

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]
  • Sarunya Prasopchingchana & Dana Sugu, 'Distinctiveness of the Unseen Buddhist Identity' (International Journal of Humanistic Ideology, Cluj-Napoca, Romania, vol. 4, 2010)
  • Donald S. Lopez Jr., Buddhism and Science: A Guide for the Perplexed (University of Chicago Press 2008)
  • Matthieu Ricard, Trinh Xuan Thuan, The Quantum and the Lotus (Three Rivers Press 2004)
  • Tenzin Gyatso, The Dalai Lama XIV, The Universe in a Single Atom: The Convergence of Science and Spirituality, (Morgan Road Books 2005)
  • McMahan, David, “Modernity and the Discourse of Scientific Buddhism.” Journal of the American Academy of Religion, Vol. 72, No. 4 (2004), 897-933.
  • B. Alan Wallace, Hidden Dimensions: The Unification of Physics and Consciousness (Columbia Univ Press 2007)
  • B. Alan Wallace (ed), Buddhism and Science: breaking new ground (Columbia Univ Press 2003)
  • B. Alan Wallace, Choosing Reality: A Buddhist Perspective of Physics and the Mind, (Snow Lion 1996)
  • Robin Cooper, The Evolving Mind: Buddhism, Biology and Consciousness, Windhorse (Birmingham UK 1996)
  • Daniel Goleman (in collaboration with The Dalai Lama), Destructive Emotions, Bloomsbury (London UK 2003)
  • Rapgay L, Rinpoche VL, Jessum R, Exploring the nature and functions of the mind: a Tibetan Buddhist meditative perspective, Prog. Brain Res. 2000 vol 122 pp 507–15

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]